TIDAK ADA SOEKARNO || CERPEN RISKY AGATO

 

(gambar by pixabay.com)


              Dari depan pintu kamar tidur saya memperhatikan Om Joko. Om Joko serius membaca koran yang beberapa minggu lalu terbit di Harian Kompas. Tepat waktu itu saya tidak bersekolah. Sedangkan di teras rumah Om Joko sedang asyik membaca koran ditemani dengan segelas kopi buatan mama dan sebungkus soemporna yang ia beli di kios Tanta Nita. Ia memegang sebatang rokok dengan kedua jarinya. Ada beberapa tumpukan kertas koran di atas meja. Om Joko tidak memperhatikan mama saya yang sedang sibuk siram bunga sendirian di depan rumah. Tanpa saya sadari ternyata om Joko dari tadi memperhatikan saya “Nono, mari sini” om Joko memanggil saya “Hari ini tidak sekolah?” tambah beliau. Kaki saya melangkah ke arah beliau “Hae om sudah dari tadi?” beliau mengangguk. “Hari ini libur, om” balas saya.

            Itu saja pertanyaan dari mulut om Joko. Setelah itu pandangan beliau tertuju pada koran dari Harian Kompas yang ia pegang dengan tangan kiri dan dengkurnya sedikit membungkuk. Dua bola matanya tidak bergerak sedikitpun. Kedua jarinya tidak juga lelah memegang sebatang soemporna yang sudah dari tadi dimakan api. Memang Om Joko seorang perokok aktif. Sejak SMP beliau sudah kenal rokok. Bibirnya yang tebal dan menggoda itu terdapat belasan bintik-bintik hitam kecil, layaknya penikmat rokok. Bibir yang mungil itu sudah banyak merasakan berbagai jenis rokok. Mulai dari jualan perbatang, perbungkus, bahkan angkut hingga perslot. Dulu teman-temannya mengaku om Joko perokok terbaik. Di sekolah tidak ada yang bisa mengalahkannya. Para guru pun mengaku kalah. Bukan berarti orang tua om Joko mengijinkan om Joko untuk merokok. Bukan, bukan seperti itu. Om Joko yang kepala batu. Om Joko keras kepala. Almarhum kakek, ayah Om Joko sudah beberapa kali menghukum Om Joko karena ketahuan merokok. Pernah suatu pagi Om Joko mendapat tamparan keras dari tangan kakek karena Om Joko mencuri rokok kakek. Namun waktu itu untung ada oma. Oma yang sayang dan tulus dengan anaknya berada di pihak Om Joko. Oma mati-matian membela Om Joko agar tidak mendapat tamparan lagi dari kakek “Jangan salahkan Joko. Joko merokok karena melihat kau yang tidak juga berhenti merokok. Danong laku tae jangan merokok. Merokok membunuhmu, merokok membunuh Joko, buah hatimu” omel Oma Merlinda dengan nada suara yang sedikit tenggelam. Itulah mengapa sekarang Om Joko melarang keras saya supaya jangan pernah merokok “Nanti kau candu nono” cetusnya pagi itu.

            Beberapa menit kami diam di teras rumah. Seolah-olah ribuan kata telah wafat pagi itu. Mata saya memperhatikan Om Joko. Mata Om Joko melotot pada koran yang sudah ia baca entah sudah sampai halaman sekian. Kedua mata Om Joko tidak berkedip sama sekali. Memang kepribadian Om Joko seperti ini. Ketika berhadapan dengan koran ia tidak menghiraukan orang di sekitarnya. Siapapun itu. Seolah-olah percakapan dengan koran lebih asyik ketimbang dengan yang lain. Om Joko pernah bernostalgia dengan saya “Nono supaya kau tahu dulu waktu SMA kau punya om ini dikejar-kejar banyak wanita. Hanya om menolak mereka. Ibu Karni guru matematikamu itu, pernah menjadi gebetan om Joko. Cintanya mati, sangat mati dengan om Joko. Om Joko diputusin karena sering membaca koran dan tidak memperhatikan Karni gurumu itu” cetus beliau. Itu yang tidak saya suka dari Om Joko ketika koran sudah ada di depan mata berarti diri sudah siap untuk melahap. Tidak peduli dengan orang-orang sekitar, siapapun itu. “Nanti kalau kamu sekolah sampaikan salam saya untuk ibu Karni. Bilang: selamat merindukan masa lalu, Joko menunggumu” ungkap om Joko, bibirnya tersenyum lebar. Saya hanya mengenggelengkan kepala dan memperhatikan Om Joko yang mulai lagi sibuk berdialog dengan koran. Saya mengotak-atik ponsel saya dan sudah beberapa pesan yang sudah saya kirim ke Lea pacar saya. Beberapa tahun lagi kami akan menikah. Doakan saja, Amin.

Om Joko belum juga selesai membaca koran. Beberapa koran di meja sudah habis ditelan dengan segelas kopi. Beberapa batang rokok sudah dibakar habis-habisan. Di dalam bungkus, rokok hanya sisa tiga batang “Haeee!!! Taung kole mbako ho ga nono” ungkap beliau sambil memegang pinggang yang sedikit encok. Saya tidak memberi jawaban apa-apa. Saya sibuk membalas chatingan dari Lea. Selanjutnya kami mendapat keasyikan kami masing-masing. Om Joko bermesraan dengan koran, saya bermesraan dengan Lea walaupun secara virtual. Dalam percakapan, kami membahas tentang kenangan romantis Om Joko yang diputisin ibu Karni gara-gara sering membaca koran. Lea tertawa mengetahui pengalaman Om Joko dengan ibu Karni. Saya tidak pernah membayangkan peristiwa yang sama terjadi antara saya dan Lea.

            Nono, apakah kita sudah merdeka?” tanya Om Joko secara mendadak. “Maksudnya om?” balas saya dengan pertanyaan. “Kalau memang kita sudah merdeka, coba nono perhatikan masyarakat di Poco Leok. Saat ini reweng dise tidak berhenti mencari keadilan. Keadilan itu apa nono?” lanjut beliau. Saya hanya menggaruk-garuk kepala sambil menggeritkan kening. Itu tandanya tidak tahu harus jawab apa dan berkata bagaimana. “Keadilan itu nono, sesuatu yang ada dan masih kita kita tuntut saat ini. Keadilan masih ditagih bagi warga Poco Leok. Nanti ketika waktunya sudah tiba, nono harus adil. Seperti Pram ‘adil sejak dalam pikiran’” tambah beliau.

Sejenak om Joko berhenti membaca koran. Ia berjalan ke arah belakang rumah. Entah pinggangnya sudah semakin encok atau matanya sudah terlalu merah karena terus menatap koran. Atau mungkin sudah mulai bosan dengan koran. Diam-diam saya mengambil koran yang beliau baca dari tadi. Di bagian pojok koran tertulis dengan huruf tebal hitam “Wartawan Disekap dan Warga Ditendang Aparat, Poco Leok di Manggarai Memanas” saya tercengang dan mengabaikan chatingan dari Cantika. Saya melepaskan layar pintar di atas meja. Saya jadi ikut terbawa dengan berita itu.

            Nono, kau sudah tahu tentang berita itu?” tanya beliau sambil membawa segelas air putih dari arah belakang. “Tidak sama sekali om. Ini berita apa?” saya tanya balik. “Makanya jadi anak muda jangan hanya sibuk dengan enu-enu Manggarai. Tv, radio, dan banyak media di Manggarai saat ini membicarakan kasus serius di Poco Leok. Nono, mulai sekarang jangan hanya bermain seputar instagram, tiktok, apalagi facebookmu yang norak itu” saran beliau dengan sedikit tertawa. “Itu berita yang memanas nono. Rakyat Poco Leok sedang memburu keadilan di bumi Congka Sae” lanjutnya. Saya kaget mendengar secuil kalimat itu dari mulut om Joko. “Hae om, padahalkan kita sudah merdeka. Buat apalagi memburu keadilan, tidak ada lagi yang menjajah kita hingga saat ini” ungkap saya. “Itu tandanya kita belum merdeka nono. Nanti kalau kau menjadi seorang tentara jangan memihak pada yang ‘beruang’. Lihatlah mereka yang sedang berjuang demi keadilan” ungkap beliau sambil mengambil koran yang ada di genggaman saya. Kemudian beliau melanjutkan membaca koran. Jujur waktu itu saya malu jadi orang muda Manggarai. Malu karena ketinggalan informasi dengan om Joko.

            Saya tiba-tiba diam. Mata saya melotot, dalam kepala pikiran kabur. Saya terbawa suasana. “Nono, baru-baru ini ada jurnalis di Poco Leok mendapat kekerasan pada saat meliput berita di lapangan. Mereka sedang mencari kebenaran. Kasihan nasib mereka” ungkap beliau. Jujur saya hanya diam, diam, dan diam. Mulut saya tidak lagi hidup. Tidak tahu kata-kata apa yang harus saya sampaikan ke pada om Joko. “Kau anak muda nono. Kau punya banyak waktu untuk merubah nasibmu sendiri dan nasib negeri ini. Nanti cari kerja yang halal. Bukan hanya halal di matamu sendiri tetapi halal di mata masyarakat. Jangan peduli banyak atau tidak, ratusan atau jutaan, miliran atau triliunnan lembar merah atau biru yang nanti kau terima. Jangan pikir itu nono” matanya melotot ke arah saya “Kerja apa saja yang penting halal” lanjutnya sambil mengisap sebatang rokok yang sudah dibakar dari tadi. Saya kaget dengan perkataan om Joko pagi ini. Mama saya tidak meperhatikan percakapan kami sama sekali. Mama hanya sibuk menyiram bunga, hingga halaman depan rumah basah dengan air yang mama siram.

            “Hari ini nono tidak ada yang seperti Soekarno salah satu founding fathers bangsa ini. Kau lihat saja temanmu, Agus itu. Tadi saya dengar Agus ketahuan mencuri ayam. Ayah Agus marah sekali dengan kelakuan Agus. Ayahnya malu punya anak seperti agus. Dalam benak om, saat ini tidak ada yang seperti Kartini, perempuan yang menyuarakan kesetaran gender. Sindy mantanmu itu sudah hamil tiga bulan. Ia tidak melanjutkan sekolah lagi. Ia menikah dengan gurunya sendiri ketika kelas satu SMA. Om Joko tidak tahu nasibnya bagaimana sekarang. Kau tidak boleh seperti itu nono. Emo ise ket pande nenggitu kau jangan. Kau terdidik. Hanya sekolah yang bisa merubah nasibmu dan nasib negeri ini” tutup beliau.

 

Keterangan:   Nono: Panggilan kesayangan untuk anak laki-laki di Manggarai (Kempo)

                        Hae: Ungkapan kaget atau terkejut di Manggarai

                        Danong laku tae: Dari dulu saya sudah bilang

                        Taung kole mbako ho ga nono: Habis lagi ini rokok nono

                         Reweng dise: Suara mereka

                        Enu-enu: Panggilan kesayangan untuk semua anak perempuan di Manggarai

                        Congka Sae: Sebutan untuk tanah Manggarai

                        Emo ise ket pande nenggitu: Cukup mereka saja yang buat begitu

                        Founding fathers: Bapa-bapa pendiri bangsa




PENULIS : RISKY AGATO

Posting Komentar

0 Komentar