Dari depan pintu kamar tidur saya
memperhatikan Om Joko. Om Joko serius membaca koran
yang beberapa minggu lalu terbit di Harian Kompas. Tepat
waktu itu saya tidak bersekolah. Sedangkan di teras rumah Om Joko
sedang asyik membaca koran ditemani dengan segelas kopi buatan mama dan
sebungkus soemporna yang ia beli di kios Tanta Nita.
Ia memegang sebatang rokok dengan kedua jarinya. Ada beberapa tumpukan kertas
koran di atas meja. Om Joko tidak memperhatikan mama saya yang sedang sibuk
siram bunga sendirian di depan rumah. Tanpa saya sadari ternyata om Joko dari
tadi memperhatikan saya “Nono, mari sini” om Joko memanggil saya “Hari
ini tidak sekolah?” tambah beliau. Kaki saya melangkah ke arah beliau “Hae om
sudah dari tadi?” beliau mengangguk. “Hari ini libur, om”
balas saya.
Itu
saja pertanyaan dari mulut om Joko. Setelah itu pandangan beliau tertuju pada
koran dari Harian Kompas yang ia pegang dengan tangan kiri dan
dengkurnya sedikit membungkuk. Dua bola matanya tidak
bergerak sedikitpun. Kedua jarinya tidak juga lelah memegang sebatang soemporna
yang sudah dari tadi dimakan api. Memang Om Joko
seorang perokok aktif. Sejak SMP beliau sudah kenal rokok. Bibirnya yang tebal dan
menggoda itu terdapat belasan bintik-bintik hitam kecil, layaknya
penikmat rokok. Bibir yang mungil itu sudah banyak merasakan berbagai jenis
rokok. Mulai dari jualan perbatang, perbungkus, bahkan angkut hingga perslot.
Dulu teman-temannya mengaku om Joko perokok terbaik. Di sekolah tidak ada yang
bisa mengalahkannya. Para guru pun mengaku kalah. Bukan berarti orang tua om
Joko mengijinkan om Joko untuk merokok. Bukan, bukan seperti itu. Om Joko yang
kepala batu. Om Joko keras kepala. Almarhum kakek,
ayah Om Joko sudah beberapa kali menghukum Om Joko
karena ketahuan merokok. Pernah suatu pagi Om Joko
mendapat tamparan keras dari tangan kakek karena Om Joko
mencuri rokok kakek. Namun waktu itu untung ada oma. Oma yang sayang dan tulus dengan
anaknya berada di pihak Om Joko. Oma
mati-matian membela Om Joko agar tidak mendapat tamparan lagi
dari kakek “Jangan salahkan Joko. Joko merokok karena melihat kau yang tidak
juga berhenti merokok. Danong laku tae jangan merokok. Merokok
membunuhmu, merokok membunuh Joko, buah hatimu” omel Oma
Merlinda dengan nada suara yang sedikit tenggelam. Itulah mengapa sekarang Om Joko
melarang keras saya supaya jangan pernah merokok “Nanti kau candu nono” cetusnya
pagi itu.
Beberapa
menit kami diam di teras rumah. Seolah-olah ribuan kata telah wafat pagi itu. Mata
saya memperhatikan Om Joko. Mata Om Joko melotot
pada koran yang sudah ia baca entah sudah sampai halaman sekian. Kedua mata Om Joko
tidak berkedip sama sekali. Memang kepribadian Om Joko
seperti ini. Ketika berhadapan dengan koran ia tidak menghiraukan orang di
sekitarnya. Siapapun itu. Seolah-olah percakapan dengan koran lebih asyik
ketimbang dengan yang lain. Om Joko pernah bernostalgia dengan saya “Nono supaya
kau tahu dulu waktu SMA kau punya om ini dikejar-kejar banyak wanita. Hanya om
menolak mereka. Ibu Karni guru matematikamu itu, pernah menjadi gebetan om
Joko. Cintanya mati, sangat mati dengan om Joko. Om Joko diputusin karena
sering membaca koran dan tidak memperhatikan Karni gurumu itu” cetus beliau.
Itu yang tidak saya suka dari Om Joko ketika
koran sudah ada di depan mata berarti diri sudah siap untuk melahap. Tidak
peduli dengan orang-orang sekitar, siapapun itu. “Nanti kalau kamu sekolah
sampaikan salam saya untuk ibu Karni. Bilang: selamat merindukan masa lalu,
Joko menunggumu” ungkap om Joko, bibirnya tersenyum lebar. Saya hanya mengenggelengkan
kepala dan memperhatikan Om Joko yang mulai
lagi sibuk berdialog dengan koran. Saya mengotak-atik ponsel saya dan sudah
beberapa pesan yang sudah saya kirim ke Lea pacar
saya. Beberapa tahun lagi kami akan menikah. Doakan saja, Amin.
Om Joko belum
juga selesai membaca koran. Beberapa koran di meja sudah habis ditelan dengan
segelas kopi. Beberapa batang rokok sudah dibakar habis-habisan. Di dalam
bungkus, rokok hanya sisa tiga batang “Haeee!!!
Taung kole mbako ho ga nono”
ungkap beliau sambil memegang pinggang yang sedikit encok. Saya tidak memberi
jawaban apa-apa. Saya sibuk membalas chatingan dari Lea. Selanjutnya
kami mendapat keasyikan kami masing-masing. Om Joko bermesraan dengan koran,
saya bermesraan dengan Lea walaupun secara virtual. Dalam percakapan, kami
membahas tentang kenangan romantis Om Joko yang diputisin ibu Karni gara-gara sering
membaca koran. Lea tertawa mengetahui pengalaman Om Joko dengan
ibu Karni. Saya tidak pernah membayangkan peristiwa yang sama terjadi antara
saya dan Lea.
“Nono, apakah kita sudah merdeka?”
tanya Om Joko secara mendadak. “Maksudnya om?” balas saya dengan pertanyaan.
“Kalau memang kita sudah merdeka, coba nono perhatikan masyarakat di Poco
Leok. Saat ini reweng dise tidak berhenti mencari keadilan. Keadilan itu apa nono?” lanjut beliau. Saya hanya menggaruk-garuk kepala sambil menggeritkan
kening. Itu tandanya tidak tahu harus jawab apa dan berkata bagaimana. “Keadilan
itu nono, sesuatu yang ada dan masih kita kita tuntut saat
ini. Keadilan masih ditagih bagi warga Poco Leok. Nanti ketika waktunya sudah
tiba, nono harus adil. Seperti Pram ‘adil sejak dalam
pikiran’” tambah beliau.
Sejenak om Joko berhenti membaca koran. Ia berjalan ke arah belakang
rumah. Entah pinggangnya sudah semakin encok atau matanya sudah terlalu merah
karena terus menatap koran. Atau mungkin sudah mulai bosan dengan koran. Diam-diam
saya mengambil koran yang beliau baca dari tadi. Di bagian pojok koran tertulis
dengan huruf tebal hitam “Wartawan Disekap dan Warga Ditendang Aparat, Poco
Leok di Manggarai Memanas” saya tercengang dan mengabaikan chatingan dari Cantika.
Saya melepaskan layar pintar di atas meja. Saya jadi ikut terbawa dengan berita
itu.
“Nono, kau sudah tahu tentang berita
itu?” tanya beliau sambil membawa segelas air putih dari arah belakang. “Tidak
sama sekali om.
Ini berita apa?” saya tanya balik. “Makanya jadi anak muda jangan hanya sibuk
dengan enu-enu Manggarai. Tv, radio, dan banyak media di Manggarai
saat ini membicarakan kasus serius di Poco Leok. Nono, mulai sekarang jangan hanya
bermain seputar instagram, tiktok, apalagi facebookmu yang norak itu” saran
beliau dengan sedikit tertawa. “Itu berita yang memanas nono. Rakyat Poco Leok sedang memburu keadilan di bumi Congka Sae” lanjutnya. Saya kaget mendengar secuil kalimat itu dari mulut om
Joko. “Hae om, padahalkan kita sudah merdeka. Buat apalagi
memburu keadilan, tidak ada lagi yang menjajah kita hingga saat ini” ungkap
saya. “Itu tandanya kita belum merdeka nono. Nanti kalau kau menjadi
seorang tentara jangan memihak pada yang ‘beruang’. Lihatlah mereka yang sedang
berjuang demi keadilan” ungkap beliau sambil mengambil koran yang ada di
genggaman saya. Kemudian beliau melanjutkan membaca koran. Jujur waktu itu saya
malu jadi orang muda Manggarai. Malu karena ketinggalan informasi dengan om
Joko.
Saya tiba-tiba diam. Mata saya
melotot, dalam kepala pikiran kabur. Saya terbawa suasana. “Nono, baru-baru ini ada jurnalis di Poco Leok mendapat kekerasan pada saat
meliput berita di lapangan. Mereka sedang mencari kebenaran. Kasihan nasib
mereka” ungkap beliau. Jujur saya hanya diam, diam, dan diam. Mulut saya tidak
lagi hidup. Tidak tahu kata-kata apa yang harus saya sampaikan ke pada om Joko.
“Kau anak muda nono. Kau punya banyak waktu untuk merubah nasibmu
sendiri dan nasib negeri ini. Nanti cari kerja yang halal. Bukan hanya halal di
matamu sendiri tetapi halal di mata masyarakat. Jangan peduli banyak atau
tidak, ratusan atau jutaan, miliran atau triliunnan lembar merah atau biru yang
nanti kau terima. Jangan pikir itu nono” matanya melotot ke arah saya
“Kerja apa saja yang penting halal” lanjutnya sambil mengisap sebatang rokok
yang sudah dibakar dari tadi. Saya kaget dengan perkataan om Joko pagi ini.
Mama saya tidak meperhatikan percakapan kami sama sekali. Mama hanya sibuk
menyiram bunga, hingga halaman depan rumah basah dengan air yang mama siram.
“Hari ini nono tidak ada yang seperti Soekarno salah satu founding fathers bangsa ini.
Kau lihat saja temanmu, Agus itu. Tadi saya dengar Agus ketahuan mencuri ayam.
Ayah Agus marah sekali dengan kelakuan Agus. Ayahnya malu punya anak seperti
agus. Dalam benak om, saat ini tidak ada yang seperti Kartini, perempuan
yang menyuarakan kesetaran gender. Sindy mantanmu itu sudah hamil tiga bulan.
Ia tidak melanjutkan sekolah lagi. Ia menikah dengan gurunya sendiri ketika
kelas satu SMA. Om Joko tidak tahu nasibnya bagaimana sekarang. Kau tidak boleh
seperti itu nono. Emo ise
ket pande nenggitu kau jangan. Kau terdidik.
Hanya sekolah yang bisa merubah nasibmu dan nasib negeri ini” tutup beliau.
Keterangan: Nono: Panggilan kesayangan untuk anak laki-laki di Manggarai (Kempo)
Hae: Ungkapan kaget atau terkejut di Manggarai
Danong laku tae: Dari
dulu saya sudah bilang
Taung kole mbako ho ga nono: Habis lagi ini rokok nono
Reweng
dise: Suara mereka
Enu-enu: Panggilan kesayangan untuk semua anak perempuan di Manggarai
Congka Sae: Sebutan untuk tanah Manggarai
Emo ise ket pande nenggitu: Cukup mereka saja yang buat begitu
Founding fathers: Bapa-bapa pendiri bangsa
PENULIS : RISKY AGATO
0 Komentar