(gambar by pixabay.com)
MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (19)
Untuk kesekian kalinya dalam 1x24 jam ini aku menyaksikan Om Yulian geragapan menyeka wajahnya yang basah kuyup.
Om Yulian meraih panci berisi sisa sayur asem hidangan semalam. “Loh mana kendi berisi tanahku?”
Aku meragukan kesadaran Om Yulian. Sepertinya dia masih ngelindur dan belum sepenuhnya terjaga.
Diraihnya botol kosong di atas meja kabin, “Loh mana airku, kok kosong? Waduh, jam berapa ini? Pak Jokowi sudah menanti untuk pengumpulan tanah dan air dari para gubernur di ibukota baru untuk acara Kendi Nusantara. Aku bisa dipecat dari jabatan gubernur!”
Sebetulnya agak terlalu pagi untuk menyaksikan adegan unik ini. Dalam waktu bersamaan terjadi dua kejadian, yaitu kemunculan dan kepergian Ratu Bahari yang mistis setelah menyampaikan pesan yang sulit dicerna akal sehat, sekaligus seorang paman yang meracau karena belum sepenuhnya terjaga dari tidurnya. Jadi kami pun bingung mau tertawa atau mengolah informasi yang baru diberikan Ratu Bahari. Aku hanya terduduk memandangi Om Yulian yang masih berwajah bingung. Seisi ruangan kabin pun tampaknya masih terlalu syok untuk bereaksi.
Kapten Togar berjongkok mendekati Om Yulian, “Memangnya, Bapak ini gubernur dari provinsi mana, Pak?”
Om Yulian tampak berpikir sejenak sebelum menjawab “Sepertinya saya Gubernur dari wilayah Jakarta, tapi wilayahnya terpisah di tengah laut,”
“Oh, maksud Bapak, wilayah Kepulauan Seribu?” Tanya Kapten Togar lagi dengan wajah serius.
Om Yulian terlihat gusar, “Bukan dong … sebelah kanannya lagi.”
“Sebelah kanan dari Kepulauan Seribu? Dimana itu, Pak? Oh saya tahu … Kepulauan Dua Ribu! Iya, kan?”
“Bukan, kejauhan itu … wilayah saya di sebelah kanan Kepulauan Seribu tapi posisinya lebih dekat.”
“Ooh, Kepulauan Seribu Lima Ratus?!”
“Nah, tepat!!
---
Sepuluh menit kemudian kami duduk melingkar di lantai. Kali ini semua orang telah berada dalam kondisi terjaga sempurna.
“Nah, aku tak mengerti. Jika memang kita harus mengambil satu mustika lagi, dan Ratu sudah membuka portal dimensi itu lagi, maka seharusnya saat ini kapal kita ini sudah berada di suatu tempat, kan?” Ujar Om Wira pelan.
“Itulah, tapi entah mengapa suasana di luar masih sama gelapnya dari tadi, belum tampak kita berada di suatu tempat yang konkrit.” Sambung Kapten Togar.
“Atau mungkin … proses teleportasi antar lokasi memang butuh waktu yang tak sebentar.” Gumamku.
“Atau bisa jadi …” Carla berkata, “Bisa jadi tadi Ratu Bahari sebetulnya belum selesai bicara. Mungkin ia masih ingin memberi petunjuk pada kita, tapi malah keburu .…”
“Keburu kutendang sampai hilang,” Seloroh Om Yulian sambil menyeruput kopi hitamnya dengan santai. Kami pun tak kuasa menahan senyum.
“Tadinya aku merasa tak punya rasa takut dan mampu menghadapi semua makhluk gaib apapun, tapi ternyata si Bapak satu ini lebih berani dariku. Tak tanggung-tanggung, seorang ratu penguasa lautan disepaknya sampai offside, hahaha!!” Kapten Togar tergelak.
Sepertinya sudah lama sekali sejak kami terakhir tertawa bersama. Padahal baru kemarin kami melakukannya. Suasana mistis dan menegangkan rupanya membuat jalannya waktu jadi terasa sangat lambat.
“Hey, ada yang berhasil dapat sinyal?” Tanya Bimbim sambil menatap layar telepon genggamnya.
“Entahlah, punyaku sudah low bat dari semalam. Lagipula aku malas mengeluarkan kabel chargernya, sejak kita terjebak kabut kemarin, sinyal hilang total,” Jawab Carla.
“Punyamu bagaimana, Gung?” Tanya Bimbim kepadaku. Fakta bahwa ia memanggil namaku, bukan lagi dengan sebutan ‘bocah’, kuanggap sebagai pertanda perdamaian.
“Sama, tidak ada sinyal juga,” jawabku tanpa mengeluarkan gawai. Aku memang tak terlalu sering menggunakan benda itu selain hanya sebatas kebutuhan berkomunikasi saja. Untuk hiburan aku memang kadang menonton youtube. Subscribe beberapa channel yang kuanggap menarik dan terkadang menyimpannya di memori internal.
“Oh iya, Bang Bimbim, nanti kalau sudah dapat sinyal, jangan lupa subscribe channel youtube ku, ya,” Pinta Carla manja.
“Pasti, tapi nanti ya. Soalnya sekarang tanpa sinyal aku tak bisa mengakses youtube atau website apapun,” jawab Bimbim suram. “Kapt, wifi kapal kau matikan, kah?”
“Nyala, kok, tapi sudah tiga kali kuperiksa sejak kita memasuki kabut kemarin. Benar-benar blank, tak ada sinyal secuil pun, Bim,” Jawab Kapten Togar sambil mengangkat bahu.
“Sampai kapan kita harus menunggu, ya? Kalau masih lama aku mau lanjut tidur, ah,” Om Yulian kini sudah memposisikan diri duduk di atas sofa kabin yang empuk. Ia mulai menaikkan dan meluruskan kakinya saat Om Wira menghardiknya.
“Heh, kita ini sedang menanti kemunculan Ratu Bahari untuk menyelesaikan infonya yang tadi terpotong karena ulahmu. Nanti kalau kau tidur, lalu ia datang dan kau tendang dia lagi … urusan bakal makin gawat,”
“Yah, siapa suruh ia tiba-tiba nongol di dekatku? Kabin ini kan luas. DIa kan bisa nongol di tempat lain, misalnya di luar, kek. Malah enak lebih lega kena udara luar. Ratu macam apa sih dia itu, kok kurang cerdas?” Om Yulian dengan santai menceploskan isi hatinya yang membuat seisi ruangan langsung hening karena terkejut dengan perkataannya barusan. Bagaimana kalau Ratu Bahari mendengarnya? Ah, tapi yang kutahu. Bahkan andai Ratu Bahari mendengarnya, Om Yulian mungkin tak risau. Memang itulah sifatnya dari dulu. Suka mengungkapkan isi hatinya tanpa sungkan. Benar-benar mirip dengan almarhum ayahku.
Kudekati ketiga anak penyusup yang meringkuk di sudut terjauh kabin. Mereka terlihat sengaja mengisolasi diri di sana. Tak ingin mendekat atau menjalin keakraban dengan kami. Aneh juga, aku bahkan belum pernah melihat mereka saling bicara satu sama lain, selain semalam saat si baju merah menjawab pertanyaanku.
“Hai, Dik. Kalian semalam ikut makan? Pagi ini sudah sarapan?” Tanyaku pada si baju kuning. Seorang anak laki-laki dengan rambut ikal berantakan. Lingkar matanya terlihat gelap seperti orang yang kurang tidur. Anak itu menjawab pertanyaanku dengan anggukan kepala.
“Kenalan dong, namaku Agung. Namamu siapa?” Aku mengulurkan tangan.
Butuh hampir sepuluh detik sebelum si baju kuning menyambut uluran tanganku setelah terlebih dahulu melirik saudara-saudarinya seolah meminta persetujuan mereka.
“Aku Ruru, Kak” Jawabnya tak bersemangat.
Kulakukan hal yang sama pada kedua anak lainnya.
“Aku Acit” Kata si baju merah berambut cepak yang semalam tercebur di danau.
“Aku, Miall, Kak” Kata si anak perempuan berbaju hijau. Lidahnya terjulur cukup panjang saat mengucapkan namanya. Anak yang lucu.
“Kalian kok bisa masuk ke ruang mesin, sih, kemarin? Memangnya tidak takut?” Tanyaku.
Ketiga anak itu menggeleng.
“Rumah kalian di mana, dekat pelabuhan ya?”
Ketiga anak itu menggeleng lagi. Betul kata Carla, mereka sepertinya bukan tipikal anak-anak yang suka berbicara seperti anak-anak seumuran mereka.
“Menurut kalian, apakah orangtua kalian mengetahui dimana anaknya sekarang sedang berada?” Pancingku.
Mereka mengangguk. Eh, apa? Kok, mereka mengangguk, sih? Aku malah jadi bingung sendiri.
Kalau benar orangtuanya mengetahui keberadaan anak-anak mereka di sini, artinya keberadaan anak-anak ini di ruang mesin kemarin bukan sebuah ketidaksengajaan, dong.
“Jadi kalian itu sebetulnya ngapain ada di ruang mesin? Aku yakin kalian bukan akan mencuri kan? Kalian anak-anak baik, kan?” Pancingku lagi. Meski sekarang justru aku sangsi sendiri apakah mereka benar-benar anak-anak baik atau bukan.
Mereka diam saja.
“Ayah dan ibu kalian sekarang ada di mana?”
Mereka masih terdiam.
Aku mulai agak curiga. Jadi kucoba memancing mereka dengan pertanyaan yang sedikit lebih tajam.
“Ayah kalian … ada di kapal inikah sekarang?”
Mereka masih terdiam. Tapi si kecil Miall sepertinya terlihat menggeleng. Kedua saudaranya langsung menatapnya tajam karenanya. Seolah mereka sepakat untuk tetap diam pada setiap pertanyaanku.
“Ayah kalian … yang menyuruh kalian masuk ke ruang mesin, ya?” Pancingku lagi.
Lagi-lagi mereka terdiam. Tapi lalu Miall terlihat jelas menganggukkan kepalanya satu kali. Dan seperti sebelumnya, kedua saudaranya langsung memelototinya.
“Lalu, ibu kalian mana, menunggu di rumah?”
Mereka terdiam saling pandang. Wajah mereka memang lusuh dan murung. Tapi berani sumpah, sepertinya pertanyaanku tentang ibu mereka membuat level kemurungan mereka bertambah. Lalu tiba-tiba, Miall menangis.
“Eh, Miall kenapa nangis, Dik? Maafkan kakak ya, kalau membuat Miall jadi sedih,” Aku berusaha memeluk gadis kecil itu. Tapi ia melengos.
Saudara-saudaranya berusaha menenangkan Miall. Tapi tampaknya ia tak bisa menguasai dirinya sendiri. Tangisnya makin keras. Kulihat Om Wira dan Kapten Togar melirik ke arah kami.
“Eh, Miall, Acit, Ruru … ada apa sebetulnya dengan ibu kalian/ Apakah beliau sakit atau …?” Korekku.
“Ibu ... sudah meninggal,” ucap Acit pelan sambil menatap lantai kabin.
“Ya Tuhan, maafkan ya, Kakak ikut berduka untuk ibu kalian,” Kuusap punggung Acit.
“Ibumu sakit apa?”
Hening. Ketiga anak itu diam seribu bahasa.
Lalu tanpa kuduga, Miall tiba-tiba menunjuk ke arah Bimbim yang sedang duduk di kejauhan.
“Si botak,” ujar Miall.
“Si botak jelek …. yang bunuh ibunya Miall,”
(bersambung)
Baca juga: Memilihmu Terakhir
0 Komentar