MANTRA I
Setiap malam aku selalu berdiskusi dengan tiang-tiang kamar, bertanya, bagaimana cara melupakan?
Membakar ingatan didepan cermin atau menusuk sekalian memutus urat nadi?
Tapi setelah tertusuk bukankah yang mengalir justru namamu?
Bahkan itu sama sekali bukan sebuah jawaban
Ku tusuk-tusuk yang tembus adalah ingatan
Ku sayat-sayat yang terbelah adalah ingatan
Ku tahan-tahan yang pecah adalah ingatan
Ku robek-robek yang berbunyi adalah tembang; tembus, terbelah, dan pecah
Biar lah! ku telan saja, ku tutup kuping ku
Biar lah! ku telan saja, ku tutup kuping ku
Biarkan hanya gemuruh neraka yang ku dengar
Biarkan ku sambung dari ujung-ujung cakrawala
Di bias-bias nyanyian kita syalalala
Ku bakar sambil ku mainkan syalalala
Sambung-menyambung abjad rima di balik kaca jendela.
_Serimbu 2024
MANTRA II
Kau ada dibayang-bayang yang tak pernah bisa aku binasakan
Kuharap dia terbang ke sela-sela awan tanpa hujan
Bersama abu-abu dari orang yang telah mati
Sesampainya kelak dia di gunung-gunung yang kecil nun jauh dari pelupuk mata jauh dari langkah-langkah kaki seorang mata-mata
Dia berkata;
"Aku tak membawa apa-apa"
"Aku hanya membawa kendi-kendi untuk menampung air mata"
Sambil menangis di bawa kendi-kendi itu di dataran gunung
Sambil di pangku
Sambil menampung air matanya yang gemercik mengalir
Sambil melihat tebing-tebing tinggi nan curam
Sambil melihat hari yang semakin sunyi temaram
Lalu dia bertanya
"apakah sudah selesai?"
Tidak! Belum!
Masih ada langkah-langkah kaki yang harus di hapus
Masih ada langkah-langkah kaki yang harus di ukur.
_Serimbu 2024
Mantra III ; Langkah Kaki
Langkah kaki itu aku sembunyikan
Seseorang tidak pernah tahu langkah kaki itu sudah sejauh mana melangkah
Tidak bisa di ukur dengan angka-angka
Tidak bisa di ukur dengan bunyi-bunyi nada
Tidak bisa di ukur dengan cahaya yang meninggi
Tidak bisa di ukur dengan malam yang merapat sunyi
Bahkan sudah melewati apa saja, sudah singgah di kiri mau kanan bahu jalan
Melangkah di atas jalan yang berlapis emas, atau di atas kerikil-kerikil tajam.
Siapa yang berani mengukurnya?
Sunyi dengan memadu-padankan warna?
Sunyi yang berbisik ke ruas-ruas jalan?
Sama sekali tidak ada yang berani
sama sekali tidak ada yang tahu. Tidak akan pernah tahu.
_Serimbu 2024
_________________________________________________________
PENULIS
Nama Muhammad Fathan Mubina, lahir di Serimbu, Kalimantan Barat 26 Oktober 1997. Alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, angkatan tahun 2015. Mulai hobi menulis sejak awal masuk dibangku perkuliahan. IG: mhdfathanmubina
0 Komentar