LEA, PERI TERAKHIR || CERPEN DENOK AYU UNI AISANDI

 
(gambar by pixabay)



“Bling, lu tahu ada meteor jatuh kemarin?” tanya Lea, “Nggak, kenapa Le, lu liat emang?” Si Blingko berbalik tanya. “Iya gue liat, tepat jam 12 malam di lapangan futsal deket kantor walikota, tapi anehnya saat gue tanya ke orang-orang, ga ada satu pun yang lihat” Lea kebingungan mencerna. 

Kemarin selepas Lea pulang dari perpustakaan kota, kepalanya pusing tujuh keliling, setelah mencerna beberapa diktat kuliah tentang teori mekanika kuantum. Dia pergi ke mini market dan membeli sebotol minuman bersoda rasa lemon favoritnya untuk meredakan pusing. “Mbak, ini sepertinya sudah lebih dari batas expired, kenapa masih di letakkan di kulkas? Bahaya lho, bikin keracunan nanti” Lea protes kepada kasir imut yang sedang melayaninya. “Oh astaga, iya Kak, mohon maaf saya sepertinya agak ngantuk waktu meletakkan minuman itu di sana, mohon maaf Kak, saya akan ganti dengan yang baru” Si Kasir meminta maaf kepada Lea dan segera pergi menuju kulkas minuman untuk mencari yang baru.

Lea menunggu di depan meja kasir, mengangguk-angguk mendengarkan musik slowrock kesukaannya -Always, Bon Jovi-. Gadis nyentrik ini seperti biasa dengan setelan kasual favoritnya, tengtop biru, dan celana jeans sobek dekat lututnya, rambutnya sepunggung dikepang semakin membuatnya manis, perawakannya yang tinggi dan sedikit berisi, kulitnya eksotis kecoklatan khas perempuan Indonesia, headphone putih selalu menempel di telinganya. 

“Mbak… mbak… mbak, mbak!” si kasir memanggil lembut Lea tiga kali, dan agak sedikit menyentak di panggilan yang ke empat sambil menepuk bahunya. 

“Eh maaf, oke makasih” Lea meminta maaf dan segera pergi keluar. Sekarang fikirannya semakin kacau, karena tepat saat Lea sedang menunggu di depan kasir, dia melihat ada yang aneh pada komputer kasir, layar komputer berubah menjadi biru, ada tulisan 00-00-00. Ternyata tulisan itu tetap ada di matanya hingga sampai detik ini. 

Setelah berjalan beberapa meter dari mini market Lea akhirnya sampai di tempat favoritnya saat merasa lelah dan tegang, ya tempat itu adalah lapangan futsal dekat kantor walikota. Lapangan itu tidak pernah dikunci karena sudah tidak dipakai lagi. Dia segera duduk dan menatap langit cerah malam itu, bintang terlihat banyak sekali. Akan tetapi angka nol sebanyak 6 digit tetap ada di matanya walau dia kucek-kucek. “Sial! kenapa angka ini nggak hilang-hilang, apa gue sudah mulai kena waham?” dia menggerutu kesal sambil menyeruput soda lemonnya. Jam sudah menunjukkan pukul 23.58. Lea masa bodoh dengan angka itu, karena sudah sangat jenuh sekali dengan kegiatan hari ini, lelah, penat. Matanya tiba-tiba terbelalak saat sebuah cahaya terang turun dari langit makin mendekat menuju lapangan futsal, dia berlari menjauh, akhirnya benda itu mendarat di tanah menimbulkan lubang sangat besar dan kepulan asap. Lea ketakutan dia berlari keluar dari lapangan menuju tempat kosnya.
Saat sedang berlari, hujan jatuh tiba-tiba dengan sangat derasnya. 

“Sialan! Apes banget gue hari ini, mekanika kuantum, soda kadaluarsa, angka-angka aneh, meteor jatuh, apa gue sudah gila?” Lea menghempaskan tubuh ke atas kasur, tanpa melepas bajunya yang masih basah, dia sangat lelah sekali, dan akhirnya tertidur lelap. Setelah setengah jam tertidur tiba-tiba dia terbangun berkeringat, ketakutan. Kejadian di lapangan futsal hadir kembali dalam mimpinya, sangat jelas dan mirip. 

Matanya semakin melotot saat ia menyadari ada seorang wanita berbaju hitam mengkilap, ketat, cantik mirip orang Rusia, sedang duduk di atas meja belajarnya, dengan rambut terikat. “Kenapa Le? Kau takut? Jangan takut, aku adalah bola meteor yang kau lihat di lapangan futsal tadi” wanita itu dengan tenang menjelaskan. Lea masih tidak percaya, berulangkali ia cubit pipinya, dia pukul tangannya berharap ini semua hanya mimpi. “Aw! Sakit!” Lea berteriak kesakitan. “Hahahahaha, kau manis dan lucu sekali Le, mirip Gem” wanita itu tertawa gemas.
“Siapa lu? Darimana lu tahu nama ibu gue?” Lea bertanya marah dan kesal. “Tenang Le, aku tidak akan menyakitimu, aku hanya ingin memberitahukan tugas khusus untukmu” wanita itu berkata lembut sambil tersenyum. 

“Siapa lu? Gue gak kenal sama lu, dan gue gak mau ngelakuin tugas yang lu suruh, pergi lu dari sini sebelum gue teriakin lu maling!” Lea sangat marah kali ini. “Haha, Le.. Le.. tidak akan ada yang percaya pada ucapanmu dan tidak ada orang yang bisa melihatku kecuali kamu. Waktumu hanya sampai besok tengah malam. Kau harus segera melakukan tugas yang kusuruh sebelum semuanya akan terlambat. Kau harus segera menemukan keberadaan ibumu, sebelum otak di kepalamu meledak, angka di matamu akan terus bertambah dan akan berakhir di angka 24-00-00, boom! pecah! Hahahhaha” wanita itu menahan geli tawanya.

-tululululut.. tululululut.. HP Lea berdering, Bling menelepon- Mata Lea tertuju pada handphone, saat dia hendak menolak telepon dari Bling, wanita itu sudah menghilang dari pandangannya. Lea akhirnya mengangkat telpon dari Bling, “Ya halo Bling, kenapa lu nelpon gue tengah malam gini?” Lea menjawab dengan nada parau. “are you okay Le? Kenapa suara lu kayak habis liat hantu begitu?” Blingko bertanya khawatir dengan suara khas ngebasnya itu. “Ah gue gak papa, lu kenapa nelpon bangke, ga jawab-jawab” Lea masih saja bisa ketus walau ketakutan. 

“Gue khawatir sama elu, soalnya tadi gue nemu payung lu jatuh di Jalan Khayangan, kebetulan gue baru pulang dari ngopi di angkringan deket situ, terus gue liat payung warna putih ada huruf L gede, gue langsung berhenti dan turun dari mobil, gue yakin itu payung lu, soalnya siapa lagi sih manusia aneh di bumi ini yang pakai payung begitu kecuali elu, nih payungnya ada di gue, kapan kita ketemu?” Blingko menjelaskan panjang lebar.

“Oh, besok, jam tujuh pagi, di cafe biasa, oke? gue ngantuk banget, gue mau tidur, bye!” Lea mematikan telpon tanpa menunggu jawaban dari Blingko. 

Begitulah Lea gadis jutek, ketus tapi selalu terlihat seperti bidadari di mata Blingko. Lea adalah cinta pertama Blingko, mereka bertemu saat masih SMA, tentu bukan di sekolah ya, karena Blingko adalah anak seorang pemilik perusahaan swasta yang lumayan berada sedang Lea hanyalah anak dari seorang pelatih pencak silat kecil-kecilan. Sekolah mereka berdekatan, tapi beda gedung, dipisahkan oleh tembok pembatas, yang memperlihatkan kontras antar kehidupan pinggiran dengan kelas atas secara jelas. Saat itu Blingko sedang dipukuli oleh kakak kelasnya di gang sempit dekat sekolahnya, kebetulan Lea “Si Gadis Preman” lewat, tanpa panjang lebar Lea langsung menendang satu per satu kakak kelas Blingko, saat itulah dada Blingko berdegup kencang, matanya berbinar, dia jatuh cinta.
Jam di meja belajar sudah menunjukkan pukul 06.30, Lea buru-buru menyabet tas warna kuningnya di atas kursi, karena tas putihnya sudah basah terkena hujan semalam. “Sial, sudah jam segini, semoga gue ga telat deh ke Delsun” Lea menggerutu sambil berlari menuju halte bis terdekat. Untung saja bis masih ada, dia buru-buru naik, sepanjang jalan Lea melamun tanpa memikirkan apa-apa, pandangannya kosong.

-Ting! Bis berhenti di halte yang tepat berada di depan Cafe Delsun- Dari jendela Lea sudah bisa melihat laki-laki tinggi, tampan, dan berkulit putih sedang duduk sambil membaca dokumen dan menyeruput kopi, ya, dia adalah Blingko. “Oi, sori Bling gue telat, kesiangan gue” Lea menepuk bahu Blingko dari belakang sambil meminta maaf. “Eh, si manis sudah datang, santai aja Le, baru juga telat 30 menit, gue juga lagi santai ngecek laporan keuangan kantor kok.” Blingko tersenyum manis. Mereka pun asyik berbincang, hingga tidak terasa hujan jatuh di luar.

“Oh jadi begitu, lu liat meteor terus lu liat mbak-mbak bule di kamar lu, terus dia ngasih catatan ini?” tanya Blingko sambil menunjuk kertas putih yang dibawa Lea. “Terus angka-angka itu masih ada di mata lu?” Blingko terus bertanya. “Ya, masih” jawab Lea singkat sambil menatap jendela cafe.

“Oke gue percaya sama elu, hari ini kita berangkat ke hutan seqora, gua anterin.” jawab Blingko mantap. “Lu, percaya sama gue Bling? Lu ga nganggep gue gila? Gue aja gak percaya sama apa yang terjadi” jawab Lea dengan muka masam. “Gue percaya, di dunia ini selalu ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara logika, ayo berangkat sekarang, kuliah izin aja hari ini, pakai jaket lu, mobil gue AC nya dingin, takut ntar lu masuk angin hehe” Blingko berdiri dari kursi sambil menggoda Lea.

Sepanjang jalan Lea hanya diam sambil memandang jalanan. Sedang Blingko fokus menyetir sambil sesekali melihat wajah Lea, dia makin manis jika rambutnya basah terkena air hujan. 

“Le.. bangun Le.. kita sudah sampai” Blingko membangunkan Lea yang sedang tertidur pulas. “Hah sudah sampai?” Lea bertanya sambil menguap.
“Oke, sekarang kita harus menemukan pohon paling besar dengan goresan cakar warna emas di batangnya” Lea membaca instruksi dari kertas putih. Matanya melihat ke sekeliling hanya ada pohon-pohon besar di sana, angka-angka di matanya terus bertambah, dan sekarang sudah di angka 15-00-00. Udara di sana sangat dingin, sesekali Blingko mengusap-usap tangannya dan meniup agar tidak kedinginan. “Oke” jawab Blingko singkat.

Mereka terus menyusuri hutan memakai kompas ke arah utara, sampai akhirnya mereka menemukan sebuah sungai yang sangat bening sekali tapi deras alirannya. “Lu yakin kita harus nyebrangi ini Le?” tanya Blingko agak ragu. “Ya, harus, kenapa? Lu takut? Kalau takut lu balik aja biar gue sendiri” jawab Lea. Blingko menggeleng “nggak, gue akan tetep di samping lo”. Mereka terus menyusuri sungai sambil berpegangan tangan. Hingga akhirnya sampai di depan sebuah pohon raksasa, pohon paling besar di antara pohon yang lain, ada goresan cakar emas di bagian depannya.

“Sepertinya ini pohonnya Bling, sekarang kita harus mencari akar yang paling mencuat ke permukaan lalu kita pencet tombol warna emas yang ada di atasnya.” Lea lanjut membaca instruksi.

Tanpa basa-basi, Blingko segera mencari akar tersebut, setelah hampir satu jam mencari akhirnya dia menemukan, “Le, sini gue nemu” Blingko memanggil Lea yang juga sedang mencari di sisi lain. “Oke, sekarang gue pencet ya” Lea mendekat kepada Blingko, menghela napas panjang sambil menguatkan mental agar tidak kaget jika sesuatu yang ekstrim terjadi.

Setelah Lea memencet tombol tersebut, tiba-tiba pohon itu terbelah menjadi dua dan mereka melihat suatu tempat yang sangat indah sekali, seperti bukan di bumi, seperti surga. Telaga-telaga warna biru jernih, langitnya jingga, awannya menyentuh tanah, hewan-hewan ukuran raksasa, lembah-lembah hijau terhampar, dan ada manusia-manusia kecil bersayap yang tersenyum mengajak mereka berdua masuk.

Seperti tersihir, mereka masuk tanpa rasa takut. Alangkah kaget nya Lea, di atas bukit kecil dikelilingi dengan bunga warna-warni ada seorang perempuan sangat cantik, duduk di singgasana, memakai baju putih dan rambutnya panjang bergelombang terurai hingga pantat, ada lingkaran bunga di atas kepalanya. Mirip sekali dengan Gem, ibunya yang hilang sejak Lea berumur 10 tahun.

“Mama?” Lea memanggil wanita itu sambil bergetar menahan tangis. “Benarkah itu kau mama?” Lea bertanya lagi.

“Lea sayang selamat datang, kemarilah” wanita itu tersenyum sambil mengulurkan ke dua tangannya. 
“Mama jahat, kenapa mama tinggalin Lea dulu, padahal mama bilang hanya ingin membeli teh chamomile untuk Lea, mama sudah janji sama Lea, akan pulang saat sudah sore, mama jahat, mama jahat, mama bohong sama Lea” Lea menangis sejadi-jadinya. Baru kali ini Blingko melihat Lea yang biasanya tangguh jadi terlihat sangat rapuh dan menyedihkan. 

“Maafkan mama nak, di sinilah tempat mama yang sesungguhnya, mama harus meninggalkan Lea dan papa waktu itu agar kita semua selamat. Sekarang sudah waktunya kamu tahu, dan sudah waktunya kamu menggantikan mama menjaga hutan ini. “ Gem berkata lembut sambil berlinang air mata.

“Nggak! Lea nggak mau di sini, Lea nggak mau ninggalin papa, Lea nggak mau egois seperti mama. Mama tahu? Setelah mama hilang papa murung setiap hari dan dia sering sakit, tapi papa bertahan untuk selalu menjaga Lea” Jawab Lea ketus sambil mengusap air mata.

“Tidak sayang, kau tidak bisa kembali lagi ke dunia manusia, karena sekali kau masuk ke dalam sini, kau tidak akan bisa keluar, jika kau memaksa keluar kau akan mati.” Gem menjawab sambil turun dari singgasananya. 

Kali ini pandangan Lea tertuju ke Blingko, tatapannya sangat putus asa. Blingko lalu menghampiri Lea dan memegang tangannya sambil bertanya “Le, apa angka di mata lu sudah berhenti?”

“Ya Bling, berhenti Bling” Lea kaget dan agak sedikit merasa lega, dia baru sadar. “Menurut gue, memang sepertinya lu harus tetap di sini, bertahun-tahun gue kenal sama lu, baru kali ini gue liat lu nangis, selama ini gue kuatir sebenernya, lu ga pernah meneteskan air mata sedikit pun, saat seorang manusia tidak bisa menangis sama sekali, saat itulah dia mati, saat seorang manusia sanggup menangis hebat, saat itulah dia akan segera menemukan kebahagiaannya, gue ga mau lu mati lagi Le, gue pingin lu hidup dan bahagia, gue akan sering mengunjungi lu Le, gue sayang sama lu, selama ini, entah lu sadar atau enggak. Gue mungkin akan sangat merindukan lu, tapi gue lebih memilih elu hidup dan bahagia, supaya gue bisa tetap liat lu.” Blingko berkata panjang sekali. Tanpa aba-aba Lea langsung mencium bibir Blingko, dan tiba-tiba tubuh Blingko semakin transparan, lama kelamaan menghilang, Lea menangis sejadi-jadinya.

_TAMAT_






BIONARASI
Denok Ayu Uni Aisandi. Lahir di Surabaya, 3 Juni 1992. Hobi travelling, bernyanyi dan menonton film. Alumnus Pertanian, Angkatan 47 – Institut Pertanian Bogor (IPB). 






Posting Komentar

0 Komentar