SOPHIA || SAFRY DOSOM

 

Pixabay.com


Sophia

Matahari sudah mulai tenggelam dan waktu telah menunjukan pukul 06.00, sementara Sophia dan kedua anaknya masih duduk di dekat gundukan tanah itu. Bunga yang ia bawah bersama anak-anaknya tadi telah habis ditabur dan lilin yang ia bakar di dekat nisan telah meleleh di selah-selah gundukan tanah. Sophia berkali-kali mengusap air matanya dan setelah itu tangan kanannya meremas-remas tanah.

“Semoga jiwamu akan harum seperti bunga yang kami tabur, agar kelak jiwamu akan sampai pada Tuhan” demikian kata perempuan itu setelah ia membuka matanya.

Sejak kemarin, Sophia tidak mendengar suara lelaki itu lagi. Senyum kecilnya pun sama sekali tidak ia temukan. Yang ada hanyala luka dan semuah kenangan yang takan pernah ia lupa dalam hidupnya.

Hari ini adalah hari pertama baginya untuk mengunjungi tempat yang dipenuhi bunga itu, setelah kemarin seluruh sanak saudaranya menghantara Ertus untuk memulai kehidupan di tempat itu. Tubuh Ertus yang kaku itu sebentar lagi kembali menjadi debu. Seperti Adam yang diciptakan dari debu oleh Tuhan di taman itu dan saat ia meninggal tubuhnya kembali lagi menjadi debu.

Sungguh kematian Ertus sangat berat baginya. Cinta yang ia bangun belasan tahun telah terkubur bersama tubuh itu. Janji-janji yang telah diucapkan di hadapan Tuhan dan di hadapan keluarga sebagai saksi telah berakhir setelah satu diantara mereka memilih untuk pergi. Kematian telah menjadi perpisahan yang menyakitkan. Kematian akan menjadi akhir dari sebuah kisah. 

Setelah beberapa menit mereka tenggelam dalam sunyi, perempuan itu kembali menghibur anak-anaknya yang saat itu usia mereka masih kecil.

“Sayang, Ayah masih bersama kita.”

“Mama, kata Romo Petrus, Ayah suda menjadi malaikat yang selalu menjaga kita” kata Dino anak sulungnya yang masih berumur 7 tahun itu.

Sophia hanya memandang anak-anaknya dengan lekat. Ia tidak tahu kata apa yang ingin ia ucapkan lagi. Air matanya tak bisa ia bendungkan lagi saat mendengar kata-kata itu. Mereka masih belum mengerti tentang semua itu. Mendengar kata-kata dari anaknya, perempuan itu kembali mendekati gundukan tanah itu.

“Hati anak-anakmu pasti terluka, jika seandainya mereka sudah dewasa saat kepergianmu. Kami percaya dalam duniamu engkau senantiasa mendoakan kami.”

Dengan langkah yang berat perempuan itu dan anak-anaknya meninggalkan tempat itu.

***

Setelah acara pelepasan suaminya selesai, perlahan semua keluarga berpamit pulang untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Ayah dan ibu Sophia kembali lagi ke kota untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Sejak saat itu, suasana rumah yang sangat besar itu menjadi sepi. Perempuan yang beranak dua itu hanya dihibur oleh kedua anaknya. Ia terus berusaha untuk tetap menampilkan wajah yang bahagia di depan mereka, meski masih ada rindu yang kerap kali ia tidak bisa kendali.

Perempuan yang beranak dua itu telah menjadikan dirinya dua bagian. Isi kepalanya bukan hanya satu tujuan, bukan hanya menjadi seorang ibu tetapi sekaligus menjadi seorang ayah untuk anak-anaknya. Isi kepalanya telah menjadi dua bagian.

 Hari-harinya disibukkan banyak pekerjaan. Melanjutkan kembali semua usaha yang telah mereka bangun bersama almarhum suaminya. Banyak tetangga merasa khawatir akan usaha suaminya yang telah sukses itu. Banyak yang berpendapat bahwa perempuan yang berstatus janda itu memiliki kemungkinan besar untuk menikah lagi. Namun ia menanggapi hal itu dengan positif. Ia tahu menjadi seorang janda berarti siap menerima semua konsekuensi yang akan terjadi.

Sophia dengan tenang melanjutkan semua usaha yang telah dibangun suaminya. Setiap malam selalu meluangkan waktunya untuk bersyukur dan berterimakasih kepada Tuhan untuk segala rezeki yang keluarga kecilnya peroleh. Dalam doanya ia juga selalu mempersembahkan kepada Tuhan segala kesulitan yang seringkali membuat ia tak berdaya. Karena imannya yang begitu kuat, ia percaya Tuhan senantiasa membuka jalan baginya untuk tetap mempertahankan hidup serta bisa membiaya sekolah dari kedua anaknya.

***

Pada suatu pagi sebelum matahari naik Hp milik sophia tiba-tiba berdering. Ia dengan cepat membukanya dan setelah melihat notifikasi di layar Hp ternyata ia menerima pesan dari Mama Pia ibunya. Ia merasa kaget sebelum membaca pesan itu. Ini adalah pesan yang pertama setelah seminggu yang lalu Ertus meninggal.

“Benarkan kata ibu?” demikian bunyi pesan itu       

“Benar apalagi ibu?” sophia membalasnya dengan cepat.

“Kamu itu perempuan yang keras kepala Sophia!”

“Maksudnya apa ibu? Ko kata-katanya sangat kasar. Belum puaskah ibu membenci aku? Ertus telah meninggal dan sama sekali belum mendengar restu darimu tentang pernikahan kami!”

“Sudah berkali-kali ibu katakan pada kamu sebelum kamu memutuskan untuk menika dengannya, Ertus itu menderita penyakit yang berbahaya!”

Perempuan itu dengan cepat mematikan Hp dan memilih untuk tidak membalas pesan ibunya lagi. Ia tidak ingin rasa sakit beberapa belasan tahun yang lalu kambuh lagi. Ia sudah tidak tahan menghadapi sifat dari ibunya.

Dua belas tahun yang lalu memang merupakan pengalaman yang paling menyakitkan hati Sophia. Ia merasa dirinya bukan lagi milik kedua orang tuanya. kata-kata orang tuanya sangat menyakitkan baginya. Ia merasa dibuang dan dicampakkan oleh mereka.

Namun, karena cintanya yang begitu besar dan tekad yang begitu kuat perempuan yang berambut air dan muka bundar itu tetap melanjutkan pernikahan dengan Ertus meski tanpa menerima restu dari keluarganya.

Rasa cintanya kepada Ertus suaminya tidak bisa dihalangi oleh apapun. Baginya untuk memulai hidup berkeluarga tidak harus sempurna. Perjuangan akan menyempurnakan segalanya. Kekurangan setiap orang akan disempurnakan oleh kasih dan cinta yang lain. Menurut Sophia kekurangan Ertus akan disempurnahkan olehnya, begitupun sebaliknya.

Menikah dengan Ertus merupakan suatu panggilan untuk hidup berkeluarga baginya. Sejak saat itu mereka berkomitmen untuk membangun keluarga kecil dalam susah dan senang sering mereka rasakan. Berkat dari semua usaha dan perjuangan, Sophia dan Ertus menerima begitu banyak berkat dari Tuhan, khususnya kehadiran dua buah hati mereka.

***

“Aku telah menjadi ibu sepertimu. Jika ibu masih menganggapku perempuan bodoh, itu hak ibu. Aku tahu, mungkin aku telah memilih jalan yang salah. Dan aku sadar cintamu sungguh luar biasa bagiku dan karena itu engkau menginginkan aku hidup bahagia. Berhentilah mempersalahkan cintaku. Ini sudah menjadi takdir dalam hidupku.” Demikian sophia menulis pesan untuk ibunya pada suatu kesempatan.

            “Cepat kamu harus mengurus surat pindah untuk anak-anakmu dan kamu harus melanjutkan bisnismu di pusat kota!”

            “Aku telah bahagia dengan apa yang aku miliki saat ini ibu!”

            “Aku sangat khawatir dengan dirimu dan anak-anakmu sayang,” demikian pesan itu mulai mendingin.

“Aku tahu maksudmu ibu.”

“Ayolah Sophia. Pulanglah.”

            “Ibu, aku bukan seperti perempuan yang ibu pikirkan. Aku masih kuat. Aku harus tetap menghidupi janji-janji pernikahan kami. Aku terus berkomitmen untuk tetap menghidupkan cinta yang telah kami bangun dengan cara merawat kedua buah hatiku dengan baik. Aku harus bertanggung jawab dengan janji dan pilihanku. Saat ini aku harus menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku.” *

 

Nita-Maumere, 2024.

Posting Komentar

0 Komentar