Sophia
Matahari sudah
mulai tenggelam dan waktu telah menunjukan pukul 06.00, sementara Sophia dan
kedua anaknya masih duduk di dekat gundukan tanah itu. Bunga yang ia bawah
bersama anak-anaknya tadi telah habis ditabur dan lilin yang ia bakar di dekat
nisan telah meleleh di selah-selah gundukan tanah. Sophia berkali-kali mengusap
air matanya dan setelah itu tangan kanannya meremas-remas tanah.
“Semoga jiwamu
akan harum seperti bunga yang kami tabur, agar kelak jiwamu akan sampai pada
Tuhan” demikian kata perempuan itu setelah ia membuka matanya.
Sejak kemarin,
Sophia tidak mendengar suara lelaki itu lagi. Senyum kecilnya pun sama sekali
tidak ia temukan. Yang ada hanyala luka dan semuah kenangan yang takan pernah
ia lupa dalam hidupnya.
Hari ini adalah
hari pertama baginya untuk mengunjungi tempat yang dipenuhi bunga itu, setelah
kemarin seluruh sanak saudaranya menghantara Ertus untuk memulai kehidupan di
tempat itu. Tubuh Ertus yang kaku itu sebentar lagi kembali menjadi debu.
Seperti Adam yang diciptakan dari debu oleh Tuhan di taman itu dan saat ia
meninggal tubuhnya kembali lagi menjadi debu.
Sungguh
kematian Ertus sangat berat baginya. Cinta yang ia bangun belasan tahun telah
terkubur bersama tubuh itu. Janji-janji yang telah diucapkan di hadapan Tuhan
dan di hadapan keluarga sebagai saksi telah berakhir setelah satu diantara
mereka memilih untuk pergi. Kematian telah menjadi perpisahan yang menyakitkan.
Kematian akan menjadi akhir dari sebuah kisah.
Setelah
beberapa menit mereka tenggelam dalam sunyi, perempuan itu kembali menghibur
anak-anaknya yang saat itu usia mereka masih kecil.
“Sayang, Ayah
masih bersama kita.”
“Mama, kata
Romo Petrus, Ayah suda menjadi malaikat yang selalu menjaga kita” kata Dino
anak sulungnya yang masih berumur 7 tahun itu.
Sophia hanya
memandang anak-anaknya dengan lekat. Ia tidak tahu kata apa yang ingin ia
ucapkan lagi. Air matanya tak bisa ia bendungkan lagi saat mendengar kata-kata
itu. Mereka masih belum mengerti tentang semua itu. Mendengar kata-kata dari
anaknya, perempuan itu kembali mendekati gundukan tanah itu.
“Hati
anak-anakmu pasti terluka, jika seandainya mereka sudah dewasa saat
kepergianmu. Kami percaya dalam duniamu engkau senantiasa mendoakan kami.”
Dengan langkah
yang berat perempuan itu dan anak-anaknya meninggalkan tempat itu.
***
Setelah acara
pelepasan suaminya selesai, perlahan semua keluarga berpamit pulang untuk
melanjutkan pekerjaan mereka. Ayah dan ibu Sophia kembali lagi ke kota untuk
melanjutkan pekerjaan mereka. Sejak saat itu, suasana rumah yang sangat besar
itu menjadi sepi. Perempuan yang beranak dua itu hanya dihibur oleh kedua
anaknya. Ia terus berusaha untuk tetap menampilkan wajah yang bahagia di depan
mereka, meski masih ada rindu yang kerap kali ia tidak bisa kendali.
Perempuan yang
beranak dua itu telah menjadikan dirinya dua bagian. Isi kepalanya bukan hanya
satu tujuan, bukan hanya menjadi seorang ibu tetapi sekaligus menjadi seorang
ayah untuk anak-anaknya. Isi kepalanya telah menjadi dua bagian.
Hari-harinya disibukkan banyak pekerjaan.
Melanjutkan kembali semua usaha yang telah mereka bangun bersama almarhum
suaminya. Banyak tetangga merasa khawatir akan usaha suaminya yang telah sukses
itu. Banyak yang berpendapat bahwa perempuan yang berstatus janda itu memiliki
kemungkinan besar untuk menikah lagi. Namun ia menanggapi hal itu dengan
positif. Ia tahu menjadi seorang janda berarti siap menerima semua konsekuensi
yang akan terjadi.
Sophia dengan
tenang melanjutkan semua usaha yang telah dibangun suaminya. Setiap malam
selalu meluangkan waktunya untuk bersyukur dan berterimakasih kepada Tuhan
untuk segala rezeki yang keluarga kecilnya peroleh. Dalam doanya ia juga selalu
mempersembahkan kepada Tuhan segala kesulitan yang seringkali membuat ia tak
berdaya. Karena imannya yang begitu kuat, ia percaya Tuhan senantiasa membuka
jalan baginya untuk tetap mempertahankan hidup serta bisa membiaya sekolah dari
kedua anaknya.
***
Pada suatu pagi
sebelum matahari naik Hp milik sophia
tiba-tiba berdering. Ia dengan cepat membukanya dan setelah melihat notifikasi
di layar Hp ternyata ia menerima pesan dari Mama Pia ibunya. Ia merasa
kaget sebelum membaca pesan itu. Ini adalah pesan yang pertama setelah seminggu
yang lalu Ertus meninggal.
“Benarkan kata ibu?” demikian bunyi pesan itu
“Benar apalagi
ibu?” sophia membalasnya dengan cepat.
“Kamu itu
perempuan yang keras kepala Sophia!”
“Maksudnya apa
ibu? Ko kata-katanya sangat kasar. Belum puaskah ibu membenci aku? Ertus
telah meninggal dan sama sekali belum mendengar restu darimu tentang pernikahan
kami!”
“Sudah
berkali-kali ibu katakan pada kamu sebelum kamu memutuskan untuk menika
dengannya, Ertus itu menderita penyakit yang berbahaya!”
Perempuan itu
dengan cepat mematikan Hp dan memilih untuk tidak membalas pesan ibunya lagi.
Ia tidak ingin rasa sakit beberapa belasan tahun yang lalu kambuh lagi. Ia sudah
tidak tahan menghadapi sifat dari ibunya.
Dua belas tahun
yang lalu memang merupakan pengalaman yang paling menyakitkan hati Sophia. Ia
merasa dirinya bukan lagi milik kedua orang tuanya. kata-kata orang tuanya
sangat menyakitkan baginya. Ia merasa dibuang dan dicampakkan oleh mereka.
Namun, karena
cintanya yang begitu besar dan tekad yang begitu kuat perempuan yang berambut
air dan muka bundar itu tetap melanjutkan pernikahan dengan Ertus meski tanpa
menerima restu dari keluarganya.
Rasa cintanya
kepada Ertus suaminya tidak bisa dihalangi oleh apapun. Baginya untuk memulai
hidup berkeluarga tidak harus sempurna. Perjuangan akan menyempurnakan
segalanya. Kekurangan setiap orang akan disempurnakan oleh kasih dan cinta yang
lain. Menurut Sophia kekurangan Ertus akan disempurnahkan olehnya, begitupun
sebaliknya.
Menikah dengan
Ertus merupakan suatu panggilan untuk hidup berkeluarga baginya. Sejak saat itu
mereka berkomitmen untuk membangun keluarga kecil dalam susah dan senang sering
mereka rasakan. Berkat dari semua usaha dan perjuangan, Sophia dan Ertus
menerima begitu banyak berkat dari Tuhan, khususnya kehadiran dua buah hati
mereka.
***
“Aku telah
menjadi ibu sepertimu. Jika ibu masih menganggapku perempuan bodoh, itu hak
ibu. Aku tahu, mungkin aku telah memilih jalan yang salah. Dan aku sadar
cintamu sungguh luar biasa bagiku dan karena itu engkau menginginkan aku hidup
bahagia. Berhentilah mempersalahkan cintaku. Ini sudah menjadi takdir dalam
hidupku.” Demikian sophia menulis pesan untuk ibunya pada suatu kesempatan.
“Cepat kamu harus mengurus surat
pindah untuk anak-anakmu dan kamu harus melanjutkan bisnismu di pusat kota!”
“Aku telah bahagia dengan apa yang
aku miliki saat ini ibu!”
“Aku sangat khawatir dengan dirimu
dan anak-anakmu sayang,” demikian pesan itu mulai mendingin.
“Aku tahu
maksudmu ibu.”
“Ayolah Sophia.
Pulanglah.”
“Ibu, aku bukan seperti perempuan
yang ibu pikirkan. Aku masih kuat. Aku harus tetap menghidupi janji-janji
pernikahan kami. Aku terus berkomitmen untuk tetap menghidupkan cinta yang
telah kami bangun dengan cara merawat kedua buah hatiku dengan baik. Aku harus
bertanggung jawab dengan janji dan pilihanku. Saat ini aku harus menjadi ibu
yang baik untuk anak-anakku.” *
Nita-Maumere, 2024.
0 Komentar