MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (18) || SAID CYGALLA

 
(Gambar by Pixabay)


MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (18)


Ki Nala menghentikan langkahnya tepat di depan kami. Terlihatlah sosok megah Kapal speedboat WHITE ANGEL teronggok kesepian di tengah hutan. 

Kapten Togar jadi orang  pertama yang naik melalui tangga buritan. Dibantunya aku untuk ikut naik. Lalu satu persatu kami berdua membantu semua orang untuk menaiki kapal.

Kami berjalan memasuki kabin. Kejutan menyambut kami di meja kabin.

Di atas meja kabin tersaji berbagai hidangan yang melimpah. Bahkan beberapa hidangan diletakkan di atas lantai kabin karena meja kabin terlalu penuh. Ada ikan kakap bakar, ayam panggang, sayur asem, sambel goreng terasi, dan banyak lainnya. Bahkan ada lalapan petai dan daun kemangi favorit ayahku dan Om Yulian. 

Kapten Togar berlari kembali keluar. Di luar kapal, masih berdiri tegap Ki Nala Pagon dengan tongkat tertancap di lantai hutan.

“Hey, sampaikan pada Ratu Bahari, terima kasih banyak untuk hidangannya ya, Pak”
Ki Nala Pagon mengangguk. 

“Ayo, Pak. Kau ikut makan sekalian,” Ajak Kapten Togar pada Ki Nala.

“Kapt, kau ini aneh-aneh saja. Dia mau makan lewat mana?” Sergah Om Yulian disambut tawa tertahan dari yang lain. Makhluk dengan wajah rata tanpa lubang hidung maupun lubang mulut seperti Ki Nala itu bagaimana cara makannya? Ah, tapi aku sungguh tak mau tahu.

“Oh iya, maaf ya Pak. Kami izin makan dulu ya,” Kapten beringsut kembali masuk.

Kami semua duduk di lantai dan makan dengan lahap, semua orang tanpa kecuali. Tiga anak penyusup itu pun kebagian jatah, dan mereka tak menolak. Terdapat aneka teko air yang memiliki isi berbeda-beda. Ada yang berisi teh hangat, ada yang berisi air putih biasa, ada juga yang berisi wedang jahe panas.

Kami langsung lupa dengan aneka peristiwa yang barusan kami alami. Bahkan kami hampir tak bersuara ataupun saling mengobrol saat makan. Hingga kemudian saat Om Yulian mulai buka suara setelah menghabiskan tiga potong ayam panggang di hadapannya.

“Gung, tadi kau bilang, Kapten Togar memang orang yang tepat untuk mengambil mustika di danau. Sudahkah kau ceritakan pada Kapten tentang hal itu?”

Kapten Togar tersenyum mendengarnya. “Yah, Agung sudah cerita, Pak. Kini aku mengetahui legenda Danau Kaco tentang seorang raja yang posesif kepada putrinya. Memang legenda itu benar-benar sesuai, mirip dengan aku yang kehilangan anak perempuanku. Mungkin itulah sebabnya aku jadi orang yang cocok untuk mengambil mustika itu.”
Om Wira bertanya kepadaku. “Oh iya, Gung. Aku penasaran mengapa kau menanyakan tato gambar burung gagak di tengkuk Kapten Togar?”

“Karena, Om, menurut legenda Danau Kaco, raja dari putri yang tenggelam di danau itu, bernama Raja Gagak, maka dari itu lah aku semakin yakin memang Kapten Raja Togar lah orang yang tepat untuk mengambil mustika di dalam danau.”

“Coba kau ceritakan itu sebelum aku menceburkan diri ke dalam danau, Gung. Ah, kau ini.” Om Wira menggelengkan kepalanya sambil tertawa geli.

“Waduh, maaf, Om. Agung juga baru yakin setelah menyaksikan tato Kapten Wira saat ia melepas bandananya untuk mengeringkan tubuh Om Wira yang terlempar dari danau.”

“Nah, jadi bukan salah Agung. Justru boleh dibilang berkat kau, Agung jadi bisa memastikan bahwa Kapten lah orang yang terpilih. Kita semua harus mengucapkan terima kasih pada Prawira Koesmodjo, saudara-saudara ... beryukurlah ia dimuntahkan penunggu danau, haha!”

Kami semua tertawa. Hanya Om Wira yang agak cemberut.

Dalam waktu singkat, hidangan itu sudah kami tandaskan tak bersisa. Dan memang sudah penyakitnya manusia Indonesia, setiap lelah usai berjalan-jalan, pasti perutnya kelaparan. Lalu makan sekenyang-kenyangnya tanpa membiarkan otak berpikir siapa nanti yang harus membereskan piring-piring kotor dan sebagainya. Lalu pasrah saja membiarkan kantuk datang usai menikmati seluruh hidangan. Jujur, ini salah satu suasana makan yang paling nikmat yang pernah kurasakan. Dan kami semua tertidur pulas di lantai kabin sesudahnya.

Aku terbangun dalam keadaan berbaring di lantai kabin kapal. Semua orang tampak masih tertidur. Kuhitung satu persatu. Hey, kurang dua orang. Siapa yang tidak ada? Oh aku tahu. 

Pintu kabin terbuka dari luar. Dua orang pria masuk dengan wajah lelah dan gusar.

“Bagaimana mungkin? Bukankah kita sudah menuruti kemauannya.. kenapa ia masih menahan kita di sini, Togar?” Tanya seorang pria dengan suara bariton mirip suara penyanyi lawas, Louis 
Armstrong. 

“Tentu saja kau tak akan mendapatkan jawaban pertanyaanmu itu dariku, Wira. Aku pun sama bingungnya denganmu. Ah, itu Agung sudah bangun. Bagaimana kalau kita tanyakan padanya. Sejauh ini, dia terbukti cukup cerdas, loh,” ujar pria satunya yang ternyata adalah Kapten Togar, sambil menunjukku.

“Ada apa, Kapt?” Tanyaku. Sebetulnya aku masih agak limbung. Perutku masih kekenyangan, dan mataku meminta tambahan waktu untuk kembali terpejam.

“Gung, mustika Ratu Bahari sudah berhasil kita dapatkan. Sudah diambil pula oleh patihnya si muka rata itu, tapi kenapa kita belum juga dikembalikan ke tempat kita semula, ke tengah laut?” Tanya Om Wira.

“Apakah tugas kita ada yang kurang?” Tanya Kapten Togar sambil mengikatkan kembali bandana merah di kepalanya.

“Aku … aku juga tak paham. Tapi seingatku, kalau tidak salah, kemarin Ratu Bahari mengatakan bahwa ia sudah menemukan di mana tempat benda-benda berharganya disembunyikan. Dia menggunakan kata ulang ‘benda-benda’ yang berarti jamak, lebih dari satu. Kemungkinan memang mustika yang dicarinya 
berjumlah lebih dari satu.” Jawabku.

Om Wira dan Kapten Togar hanya mengangguk-angguk.

“Ngomong-ngomong, Om Wira habis jalan-jalan dari luar melihat-lihat hutan, ya?” Gantian aku yang bertanya.

“Pasti menarik, Gung, jika kata-katamu itu memang benar-benar hal yang tadi kulakukan bersama Togar. Tapi sayangnya, aku tadi bukan berjalan-jalan,” 

“Lantas, Om dari mana tadi?” 

“Dari buritan. Karena memang hanya sejauh itu saja batas terjauh yang bisa kita jelajahi di tempat ini,”

“Hah?” Aku ternganga tak percaya. Bergegas aku berlari menuju pintu kabin dan membukanya. Jam tanganku menunjukkan pukul tujuh pagi. Pemandangan di luar tentu menunjukkan pemandangan hutan yang menarik di pagi hari. 

Tapi saat pintu itu kubuka, hanya ada satu warna, kelabu pekat. Warna yang sama saat kami sebelumnya menyadari kapal kami tak lagi berada di tengah laut. Aku berlari di buritan. Potongan tentakel yang tadinya tergeletak melintang di lantai buritan kini sudah tak ada. Demikian juga langit, laut, bahkan hutan yang semalam mengelilingi kapal speedboat WHITE ANGEL. Semuanya sirna. Kami seperti berada di dalam kamar kosong. 

“Aku tak paham, Kapt. Kenapa Ratu Bahari tak memberitahu info apapun pada kita. Apakah mustikanya sudah dia terima atau belum? Mana si perwira bermuka rata itu, ya? Jangan-jangan …” Aku punya prasangka buruk kepada Ki Nala Pagon.

“Nah, kau berpikiran sama sepertiku, Gung.” Sambung Om Wira. “Semalam kan, mustika itu langsung terbang ke tangannya. Jangan-jangan ia tak segera melaporkan atau menyerahkannya kepada Sang Ratu.”

Itulah yang kukhawatirkan. Aku dan Om Wira sepertinya berprasangka sama. Kapten Togar tidak megucapkan sepatah kata pun. Kami bertiga terdiam di buritan yang dikelilingi tabir kelam.

“AYAAH!!” Tiba-tiba terdengar jeritan Carla. Kami bertiga bergegas memasuki kabin untuk memeriksa apa gerangan yang terjadi.

Carla langsung menghambur memeluk ayahnya. Ketiga anak penyusup sudah terbangun dan merapatkan punggung mereka di dinding kabin dengan ekspresi sangat ketakutan menatap sesuatu di tengah ruangan. Di tengah-tengah ruangan kabin muncul kepulan asap yang berpusar seperti angin tornado kecil. Semakin lama pusaran asap itu semakin tebal dan akhirnya muncul lah sosok yang kami benci sekaligus kami tunggu-tunggu, Ratu Bahari. Kali ini ia tampil dalam versi yang serupa dengan awal pertama kemunculannya. Wajah cantik dengan mata dan mulut tertutup rapat. Rambut merah bergelombang dan mengembang. Dan sekujur tubuh terbalut jubah bersinar putih. Agak mual juga perutku karena sudah mengetahui apa yang tersembunyi di balik jubah yang menggelembung tak wajar itu. 

Ratu Bahari mengambang di atas lantai tepat di atas tubuh Om Yulian dan Bimbim yang masih tertidur pulas. Lalu terdengar suara lembut yang tak asing.

“Selamat pagi, manusia. Tidur nyenyak semalam?” Sapanya, tanpa menggerakkan mulut. “Kuucapkan selamat dan terima kasih untuk keberhasilan kalian menemukan mustika yang kucari-cari. Pagon sudah langsung menyerahkannya padaku semalam. Jadi, prasangka buruk kalian kepadanya boleh dibilang keliru dan tak beralasan. Ia perwira kepercayaanku selama ribuan tahun. Tak mungkin ada pengkhianatan seperti di dunia kalian. Hahaha.” 

Tawa Ratu membahana memekakkan telinga. Takjub juga aku menyaksikan bahwa Ratu Bahari ternyata mengetahui apa yang tadi kubicarakan bersama Om Wira dan Kapten Togar. Kulihat tubuh Bimbim mulai bergerak-gerak gelisah, mungkin sebentar lagi ia akan terbangun.

“Semalam saat mengetahui keberhasilan kalian, maka aku langsung meminta dayang-dayangku menyiapkan hidangan terbaik untuk menyambut kepulangan kalian di sini. Semoga kalian menikmatinya, ya.” Ungkap Ratu Bahari lagi.

Kapten Togar, seperti biasa dengan penuh tanggung jawab mengawali percakapan mewakili kami semua. 

“Aku dan seluruh teman-temanku berterima kasih atas hidangan semalam, Ratu. Aku sudah sampaikan juga pada Ki Nala Pagon dan mengajaknya ikut serta menikmatinya bersama kami. Meskipun itu… eh, tak mungkin bisa ia lakukan..” Kapten Togar terdiam sejenak dengan canggung. “Eee.. Bagaimanapun, ada yang ingin kusampaikan, Ratu. Kemarin saat kami berusaha mengambilkan mustikamu. Kami ... terkendala oleh kehadiran mahluk penunggu danau tersebut. Ia menggoda dan bahkan hampir mencelakakan kami berdua.” Kapten Togar menunjuk dirinya sendiri dan Om Wira.

“Bisa cepat tidak, Bodoh? Kalimatmu terlalu bertele-tele!” Ratu Bahari tampaknya menyimpan rasa antipati tersendiri pada Kapten Togar karena nada suaranya selalu tidak sabar dan meninggi jika berbicara dengan Kapten.

“Maksudku, Kau kan Ratu yang menguasai wilayah air. Sedangkan kami kemarin sedang berjuang untuk membantu menemukan mustikamu di dalam danau. Kenapa kau tidak melindungi kami dari godaan makhluk itu? Atau setidaknya berikan kami kekuatan khusus untuk melawan dan menyingkirkan hambatan semacam itu saat kami sedang membantumu, tak ada salahnya bukan?” Kapten Togar mencurahkan keluh kesahnya pada Ratu.

“Hei, manusia yang mengaku sebagai ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya di atas makhluk lain di dunia ini! Kalian ini bisa membedakan tidak, mana yang laut, mana danau? Mana air asin dan mana air tawar? Aku menguasai wilayahku di dalam samudra, di lautan. Penguasa danau itu pun menguasai wilayahnya sendiri yang berbeda dengan wilayahku. Kami saling menghormati dan tak saling mengganggu satu sama lain, berbeda dengan di dunia kalian dimana sesama manusia bisa saling berebut wilayah kekuasaan bahkan hingga saling bunuh,” Hardik Ratu. Kuakui kata-katanya memang masuk akal.

“Lagipula, jika kalian butuh perlindungan, mintalah kepada Yang Maha Melindungi. Yaitu Tuhan. Dialah Yang Maha Kuasa yang menguasai seluruh lapisan alam. Dialah Maha Pelindung yang melindungimu, melindungiku, melindungi semua mahluk di seluruh alam sesuai kehendak-Nya. Bahkan aku dan semua bangsa jin mengetahui hal ini. Kalian, bangsa manusia yang jelas-jelas diciptakan untuk menata bumi kenapa lebih bodoh dari kami? Malah kau meminta kekuatan khusus dariku? Itu kan namanya musyrik?!” Kalimat Ratu Bahari mengingatkanku pada kalimat Ustaz Ba’asyir yang sering diundang bapak pemilik kostku untuk mengisi materi pengajian bulanan di kost kami.

“Jika kau kemudian diganggu mahluk yang berniat jahat kepadamu, maka ingatlah; itu artinya kau lupa berdoa dan meminta perlindungan dari Tuhan untuk keselamatan jiwamu, dan untuk kelancaran segala urusanmu!”

Seisi kabin terdiam membisu. Seolah kami semua membenarkan kalimat yang disampaikan oleh Ratu Bahari. Bimbim sudah terbangun. Dan beringsut mundur perlahan menjauhi Ratu Bahari.

“Nah, wahai manusia, kini dengarkanlah oleh kalian semua. Satu mustikaku sudah berhasil kalian temukan. Berikutnya akan kembali kubuka portal dimensi menuju lokasi tempat disembunyikannya mustikaku yang lain.”

“Apa? Masih ada lagi?” Seru Kapten Togar dan Om Wira hampir bersamaan.
Ratu Bahari mengabaikan seruan kaget mereka berdua

“Seperti sebelumnya, ikutilah perintah pemimpin kalian dengan taat. Kurasa dari kejadian semalam, kalian sudah mengerti mengapa aku memilih Agung menjadi pemimpin kalian semua, bukan? Kalian harus mengakui kehebatannya kini.”

Aku jujur agak malu dengan cara Ratu menyanjungku. Sebelumnya aku tak pernah merasakan ada orang yang menyanjungku. Kali ini malah aku disanjung oleh spesies sebangsa jin. Agak aneh juga rasanya. Tidak terlalu bangga-bangga amat.

“Ini saja yang ingin kukatakan pada kalian, wahai manusia. Bersiaplah, bantulah aku menemukan mustikaku yang lain. Jika gagal, maaf berarti kalian harus siap jadi santapanku. Dan kupastikan gigi-gigiku takkan memberikan kalian kematian yang nyaman. Dalam satu kali kunyah, kalian pasti akan menjerit meneriakkan kata-kata …”

“PERGI KAU PUTIN!! Jangan dekati aku lagi!!” Tiba-tiba Om Yulian yang masih tidur, menendang-nendang ke udara. Mengenai tubuh Ratu Bahari yang sedang mengapung di sana. Ratu Bahari terhuyung dan tiba-tiba sudah berubah menjadi kepulan asap tebal sebelum akhirnya perlahan memudar dan menghilang sepenuhnya dari pandangan kami semua.

“Kembalikan tanah airku! Ini mau kubawa ke pertemuan dengan sesama gubernur lainnya di acara seremoni Kendi Nusantara IKN dengan Presiden Jokowi, tahu?!” Om Yulian masih mengigau dengan riuh.

Kali ini Kapten Togar yang mendapat kehormatan untuk mengambil botol minuman terdekat berisi air jahe dan menuangkan isinya ke wajah Om Yulian.

(BERSAMBUNG)


Posting Komentar

0 Komentar