NASI UDUK MBOK YEM || CERPEN TRISNO

 


Nasi Uduk Mbok Yem

Apakah Shinta tidak pernah tahu bagaimana perjuanganku untuk memperoleh cintanya selama ini. Mengapa ia dengan mudahnya menyetujui perjodohan itu? Apakah semudah itu seorang wanita menerima perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya? Terlebih ia akan dijodohkan dengan Bram, lelaki juragan kontrakan itu. Apakah ia terbawa oleh naluri wanitanya yang hanya memikirkan nilai materi dari pada rasa cinta itu sendiri? Atau ia telah termakan ucapan orang-orang di sekitarnya, ‘bahwa cinta itu masalah mudah. Semakin sering engkau bersama seseorang, maka cinta akan merekah dengan sendirinya. Yang sulit itu memperbanyak pundi-pundi kekayaan agar hidup ini sejahtera.’ Begitukah orang-orang menilai kesejahteran hidup yang hanya diukur dengan kekayaan materi semata?

Prasangka-prasangka buruk itu tidak berhenti menggelayut dipikiranku. Dan sungguh hal ini sangat mengganggu aktifitasku selama sebulan belakangan ini. Ketidakterimaan akan perjodohan Shinta dengan Bram benar-benar hampir menghancurkan harapan hidupku. Padahal, sebelumnya aku dan Shinta telah bersepakat untuk melanjutkan hubungan yang kita bangun ini ke tahap yang lebih serius. Hingga akhirnya perencanaan itu kandas begitu saja bagaikan asap rokok yang saat ini keluar dari mulutku tersapu oleh angin pada malam hari ini.

Di saat bayang-bayang Shinta yang sering kali datang ini, sampai kukira bayangan buruk itu bagaikan hantu yang acapkali menakut-nakuti dengan bentuk rupa yang begitu mengerikan, pesan whattsapp masuk. Kuraih smartphone itu. Lalu kulihat dari siapa pesan itu. Tidak biasanya ada orang malam-malam begini memberikan pesan Wattsapp. Dan seketika mataku terbelalak saat mengetahui pesan itu. Pesan itu dari Shinta. Sudah lama sekali ia hilang dan sekarang tiba-tiba datang kembali. Setelah kubaca isi pesan itu, seketika tawaku lepas sekali. Ia seperti kuda liar yang hilang kendali. Suara itu menggema di udara melawan kepulan asap rokokku yang mengepul dari sudut pinggir asbak. Seingatku sudah berapa lama aku tidak merasakan perasaan sesumringah ini. Entahlah. Apakah harapan itu masih ada?

***

Malam itu, sebelum Shinta memberanikan dirinya mengirim pesan singkat kepada Jarwo, lelaki yang sebenarnya ia cintai, ia disuruh ibunya untuk mengantarkan makanan kepada Bram. Ia tahu betul bahwa ibunya akan melakukan apa pun untuk mendapatkan menantu idaman. Meski begitu, ia juga tahu bahwa yang dilakukan ibunya itu semata-mata hanya untuk kebaikan dirinya. Ibunya sangat menginginkan Shinta bisa hidup bahagia tidak kekurangan suatu apa. Dan hal itu bisa terwujud jika Shinta menikah dengan Bram bukan Jarwo. Karena Ibunya tahu siapa itu Jarwo. Seorang pemuda yang hanya berkutat sebagai guru honorer sekolah dan penulis lepas sebagai pencari honorium ketika tulisannya berhasil dimuat. Kalau seperti itu sepertinya tidak akan bisa menjamin kebahagian Shinta selepas menikah. Begitulah pengakuan Jarwo saat mengutarakan keinginannya yang hendak menikahi Shinta. Maka dari itu, Ibunya berusaha dengan sangat gigih untuk menjodohkan Shinta dengan Bram, si juragan kontrakan itu. Kalau tidak segera dijodohkan ibunya khawatir hal buruk akan terjadi pada Shinta. Sebab ibunya tahu hubungan Shinta dan Jarwo sudah terlampau sangat dalam. Keduanya juga saling suka satu sama lain. Bukankah sangat rawan ketika sepasang sejoli menjalin asmara terlalu dalam, sementara pihak keluarga dari salah satunya atau keduanya tidak memberikan persetujuan atas hubungan itu? Kenekatan sering kali membutakan setiap pasangan yang tidak mendapatkan restu dari pihak keluarga.  Dan Begitulah. Sampai akhirnya, ibunya Shinta memutuskan untuk cerpat-cepat menjodohkan putri semata wayangnya itu kepada Bram yang sudah jelas memiliki kemapanan ekonomi di atas Jarwo.

“Adakah selain makanan ini yang perlu Shinta antar kepada Mas Bram, Bu?”

“Cukup itu saja, Nak.”

“Tidakkah sekalian, Ibu, Shinta antarkan kepada Mas Bram?”

“Maksud kamu?”

“Bukankah, Ibu, sangat menginginkan Mas Bram daripada Shinta?”

“Masihkah, Kamu, tidak menerima dengan perjodohan ini, Nak?”

“Masih adakah Siti Nurbaya di zaman ini, Bu?”

“Apakah kamu hendak menantang Ibumu ini, Shinta?” Ibunya mulai menyebut nama anaknya secara tegas dengan sedikit penekanan.

“Siapa berani menentang seorang ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui dan mendidik anaknya sendiri dengan cinta kasih begitu tulus? Namun, apakah seorang anak tidak diperkenankan memilih kebahagiannya sendiri untuk memulai hidup baru bersama orang lain, Bu?”

“Apakah kamu merasa yakin bisa lebih berbahagia bersama si Jarwo itu daripada Bram, Shinta?”

“Apakah menurut, Ibu, Shinta akan berbahagia dengan perjodohan ataukah dengan keinginan Shinta untuk menikah dengan siapa?”

“Mau sampai kapan, Kamu, terus membantah perjodohan ini, Shinta? Tidakkah kamu senang kalau hidupmu tercukupi dan sejahtera?”

“Shinta tidak pernah membantah perjodohan ini, Bu. Shinta hanya mengutarakan isi hati. Hanya itu. Shinta benar-benar mencintai Mas Jarwo. Apakah Mas Jarwo tidak bisa membuat hidup Shinta sejahtera menurut, Ibu?”

“Terserah, Kau sajalah, Shinta. Kalau memang Kamu tidak setuju dengan perjodohan ini, suruh Jarwo ke rumah besok pagi. Ibu mau memastikan apakah benar dia bisa men-sejahtera-kan kehidupanmu selepas menikah nanti. Kalau dia tidak bisa, apapun keputusan Ibu dan Bapakmu kamu harus terima dengan suka rela! Tidak ada kata tidak. Anak perempuan harus menurut kepada orang tuanya, terlebih Ibunya. Karena kamu nanti akan menjadi seorang ibu.”

“Shinta akan selalu terima apapun keputusan, Ibu dan Bapak. Karena, Shinta bukan Malin Kundang, Bu!”

Ibunya pun mengambil kembali rantang makanan itu dari tangan Shinta. Dan ia menyuruh Shinta untuk segera beristirahat memasuki kamar. Shinta pun menuju kamarnya dengan senyum mengembang. Ia tidak bisa tidur malam itu. Pikirannya menerawang kenangannya bersama Jarwo, kekasihnya yang telah lama ia tinggalkan itu. Keraguan terus menggelayut di hatinya untuk menghubungi Jarwo. Sampai tidak kerasa waktu semakin larut. Akhirnya ia putuskan untuk menghubungi Jarwo. Ia mencoba meraih smartphone-nya dan mencari kontak Jarwo yang telah lama sekali tidak ia hubungi itu. Pertama ia membuka blokiran yang ditujukan kepada nomor itu, lalu ia mulai mengetik dan mengirimkan pesan singkat kepada Jarwo, ‘Mas, besok pagi kamu ditunggu Ibu di rumah. Ia ingin tahu apakah sungguh kamu bisa membuat hidupku sejahtera melebihi, Mas Bram yang sudah jelas kesejahteraan hidupnya terpampang di pelupuk mata Ibuku. Jika memang bisa, datanglah kemari dengan segenap cintamu yang katanya melebihi kemapanan yang dimiliki oleh Mas Bram itu. Namun, kalau kamu tidak ingin datang, tak apa. Sungguh aku tidak memaksa kamu sidikit pun. Tapi, mungkin saja nanti kamu bisa datang kembali ke rumahku saat aku telah memberi kamu undangan pernikahanku bersama Mas Bram.’

***

Dalam kesumringahan aku membayangkan apa yang sebenarnya Shinta lakukan malam ini, sehingga ia bisa membuat ibunya menyuruhku datang ke rumah dan menemuinya esok pagi. Bukankah dulu, aku sudah pernah mengutarakan keinginanku untuk menikahi Shinta, namun ibunya bersikeras menolaknya setelah tahu profesi dan penghasilanku yang sangat tidak meyakinkan untuk menghidupi anaknya, kelak. Dan kulihat Shinta tidak bisa bertindak apa-apa saat itu. Malah kulihat ia seakan menerima perjodohan itu dengan lapang dada. Hal itu terbukti setiap kali aku memberinya pesan atau menelponnya, sedikitpun ia tidak menggubrisnya sama sekali. Bahkan, nomorku sepertinya telah di blokir olehnya. Sebulan tanpa Shinta bagiku bagaikan bertahun-tahun tanpa cahaya. Hidupku seketika redup. Tak ada gairah sama sekali melakukan aktifitas. Namun, malam ini berbeda. Seakan bulan, bintang-bintang dan segala lampu pijar mengarah kepadaku. Seakan aku menjadi tokoh utama dalam sebuat pentas teater yang sorot lampunya terus bersetia mengarah kepadaku. Malam ini aku benar-benar bahagia. Kedua mata ini seakan engan terkatup sekedip pun. Aku tidak bisa tidur memikirkan betapa keberuntungan sepertinya sedang memihak kepadaku.

Saat pagi menjelang, aku bergegas hendak menuju rumah Shinta. Sudah tidak sabar aku dibuatnya. Namun, sebelum itu aku teringat akan nasi uduk Mbok Yem. Maka, ada baiknya aku harus membawakan nasi uduk Mbok Yem untuk Shinta dan sekeluarga. Bukankah lelaki yang baik adalah lelaki yang saat bertandang ke rumah kekasihnya membawakan sesuatu untuk pihak keluarganya? Dan menurutku, pagi hari ini yang paling pas dan pantas kubawa adalah nasi uduk Mbok Yem. Karena nasi uduk Mbok yem adalah nasi uduk terenak di dunia. Terlebih aku tahu betul bahwa ibunya Shinta sangat gemar sekali nasi uduk. Aku beli empat porsi dengan tambahan lauk telur balado dan tempe goreng di setiap porsinya. Mungkin sebelum kita membicarakan hal baik, kita akan menyantap sarapan pagi yang telah aku persiapkan ini terlebih dahulu. Kemudian kita akan minum teh bersama dan sesekali melempar gurauan untuk memecah suasana. Begitu sepertinya lebih asik dan tidak menegangkan.

Sesampainya aku di pekarangan rumah Shinta, kulihat bapaknya sedang menunggu kedatanganku selaku calon menantunya. Dengan berpakaian sarung dan baju putih koko panjang, sepertinya beliau baru pulang dari masjid. Sepertinya pakaian seperti itu sangat wajar bagi keluarga Shinta. Terlebih keluarganya adalah keluarga yang sangat taat beragama. Bapaknya merupakan seorang tokoh masyarakat, begitupun ibunya.

“Silahkan masuk, Nak Jarwo.”

“Sehat, Pak. Sudah sebulan terakhir ini saya tidak berkunjung ke mari. Sepertinya bapak semakin sehat saja.”

“Tidak seperti apa yang, Nak Jarwo bayangkan. Bapak akhir-akhir ini darah tingginya sedang sering kambuh. Sampai-sampai Ibunya Shinta tidak mengizinkan Bapak makan nasi uduk.”

“Waduh sayang sekali kalau begitu, Pak. Padahal saya bawa nasi uduk terenak, loh, Pak. Nasi uduk Mbok Yem. Apa bapak kenal dengan Mbok yem?”

“Semakin tua umur Bapak, sepertinya ingatan Bapak mulai mengurang. Mungkin dulu, Bapak kenal siapa itu Mbok Yem. Tapi untuk saat ini, Bapak tidak tahu siapa itu Mbok Yem. Yasudah Kamu bawa saja nasi uduk itu ke dalam.  Bukankah Ibunya Shinta sangat gemar sekali nasi uduk. Dan juga sepertinya ibu sudah memasak untuk menyambut Kamu.”

“Bapak tahu kalau saya hendak bersilaturahmi ke sini?”

“Dari dulukan Kamu memang suka sekali rumah ini. Dan juga Siapa yang tidak tahu hubungan Kamu sama Shinta? Orang se-kampung sudah tahu hubungan kalian. Bahkan, sering kali hubungan kalian menjadi gunjingan di warung kopi, pasar, majlis taklim, dan masjid.”

“Semengerikan itukah hubungan Saya dengan Shinta, Pak?”

“Karena Kamu telah mencoba merenggut bunga mawar yang sedang merekah di kampung ini. Jelas-jelas Shinta itu kembang desa di sini. Itu hal wajar. Sebenarnya Kamu mau ketemu Bapak atau Ibu? Mengapa berlama-lama di luar bersama, Bapak?”

“Yasudah, Pak, Saya izin masuk ke dalam dulu kalau begitu. Nanti mungkin kita bisa lanjutkan obrolannya.”

Saat aku melangkah masuk ke dalam rumah, aroma masakan opor ayam sangat menggugah selera laparku. Sedikit aku melirik empat porsi nasi uduk yang aku bawa, ‘aku membawa telur untuk mereka, dan mereka memasak ayam untukku’ Setelah aku sampai di ruang tamu, tidak lama Ibu Shinta keluar dari sudut dalam rumahnya. Mungkin ia dari darpur. Kemudian ia mempersilahkan diriku untuk duduk terlebih dahulu. Kemudian ia pergi lagi masuk ke dalam.

“Sudah ketemu, Bapak, Nak Jarwo?”

“Sudah, Bu. Tadi sempat berbincang-bincang sebentar.” Mata Ibu Shinta melirik sesuatu yang aku bawa.

“Kamu bawa apa itu?”

“Nasi uduk Mbok Yem, Bu. Buat Ibu dan sekeluarga.”

“Tapi, Bapak tidak bisa makan nasi uduk untuk saat ini. Dan bukannya Kamu tahu bahwa keluarga Ibu itu hanya 3 orang. Ibu, Bapak dan Shinta. Mengapa Kamu beli empat bungkus? Satunya buat siapa?”

“Anu, Bu. Siapa tahu Ibu, atau Bapak, atau Shinta ingin nambah. Jadi saya lebihkan satu.”

“Mengapa hanya satu? Kalau semuanya mau nambah bagaimana?”

“Kan bisa makan punyanya Bapak, Bu. Bukankah bapak tidak makan nasi uduk untuk saat ini?”

“Hanya nasi uduk saja?”

“Tidak, Bu. Ada telur balado dan gorengan yang menemaninya. Sepertinya itu komposisi yang nikmat jika dimakan bersamaan nasi uduk di pagi hari.”

“Apakah Shinta akan senantiasa kamu belikan nasi uduk setiap pagi hari bersama telur balado dan gorengan yang menemani?”

“Tidak juga, Bu. Mungkin sesekali bisa makan bubur di kala sakit. Atau mungkin ketupat sayur jika cuaca sedang dingin.”

“Hanya itu?”

“Hanya itu yang sering saya temukan saat pagi hari di kampung saya, Bu.”

“Baiklah. Kamu boleh pulang sekarang.”

“Secepat itukah? Bukankah saya disuruh kemari untuk membicarakan kelanjutan hubungan saya dengan Shinta, Bu?”

“Tidak perlu berlama-lama. Tapi, sepertinya Ibu berubah pikiran. Begitulah seorang wanita, pikirannya seringkali berubah-ubah. Dan sepertinya Ibu tidak ingin anak semata wayang Ibu, kelak, harus memakan nasi uduk setiap pagi, atau bubur, atau lontong sayur!”

Jarwo terdiam. Bayangan indah dalam bingkai keluarga kecilnya bersama shinta seakan terhenti. Seakan ia sedang melihat lampu lalu lintas berubah dari hijau, kuning dan berakhir di warna merah.

“Kamu bisa pergi sekarang, Nak Jarwo. Sepertinya hari ini Ibu dan sekeluarga akan banyak sekali kesibukan. Dan mungkin kamu bisa datang kembali ke rumah ini, ketika telah mendapatkan undangan. Atau kalau undangan itu tidak sampai ke rumah kamu, dan tiba-tiba kamu melihat ada tenda di rumah ini atau mungkin Kamu secara kebetulan lewat jalan raya itu dan menemukan janur kuning melengkung di perempatan jalan dekat lampu merah itu, kamu bisa mampir ke sini. Tidak usah sungkan-sungkan. Datang saja. Tidak perlu bawa apapun juga tidak apa-apa. Bisa dimengerti sampai di sini, Nak Jarwo?”

“Kalau begitu apakah saya bisa pamit pulang sekarang, Bu?”

“Kapan pun kamu inginkan, Nak.”

Jarwo pun pergi dari rumah Shinta dengan bayangan keluarga kecilnya yang runtuh yang dia tukar dengan empat porsi nasi uduk Mbok Yem. Ia hampiri sepeda motor Honda 70cc-nya. Dan tiba-tiba Shinta berlari menghampirinya. Air mata Shinta cukup deras mengalir di kedua pipinya.

“Sudahkah perjuanganmu hanya sebatas itu saja, Mas? Tidakkah Kamu hendak meyakini Ibuku kembali, Mas. Padahal aku mengharapkan kamu bertindak lebih selayaknya para pangeran yang membebaskan tuan putrinya dari cengkraman seekor naga. Aku cukup awas mendengar semua perbincangan Kamu dengan Ibu. Aku kira Kamu akan bersikeras memperjuangkan hubungan kita, Mas.”

“Entahlah, Dik. Sepertinya Aku sekarang telah sadar siapa diriku, Dik. Mungkin Ibumu benar. Sebaiknya nanti aku akan kembali lagi ke rumahmu melalui secarik undangan. Atau ketidaksengajaanku melihat janur kuning melengkung di perempatan lampu merah jalan raya itu. Aku juga baru sadar bahwa kedatanganku di keluargamu hanya menjadi bahan gunjingan orang-orang se kampung atas keluargamu. Aku kira rembulan yang berada di dalam genangan air adalah nyata. Ternyata ia hanya sebatas pantulan semata. Maafkan Aku, Dik. hanya nasi uduk dengan telur balado dan gorengan yang bisa kuberikan kepada kamu saat ini. Kalau Kamu lapar, Kamu bisa habiskan seluruhnya di atas meja. Tadi kutaruh semunya di sana. Dan salamkan kepada Ibumu permintaan maafku. Jujur, Aku benar-benar terlalu gegabah. Mengapa Aku tidak kepikiran untuk membawa cincin atau roti buaya yang lebih di senangi oleh keluargamu. Mungkin nasi uduk Mbok Yem telah membutakanku. Selanjutnya, Aku berharap Kamu bahagia, ya, Dik. Jangan pikirkan Aku, Dik. Aku ini lelaki. Sepertinya memang kemapanan sangat diperlukan oleh setiap lelaki sebelum ia memutuskan ingin menikah dengan siapa. Jangan lupa dimakan, ya, nasi uduknya, Dik. Aku harap kamu suka dengan itu. Biar nanti Aku bisa sampaikan perasaan sukamu it uke Mbok Yem.”

Shinta mematung tidak bergerak sedikit pun saat melihat Jarwo pergi meninggalkannya. Ia hanya merasakan mata air di pelupuk matanya semakin deras saja alirannya. Apakah kisah cinta yang tidak mendapat restu pihak keluarga akan selalu berakhir seperti ini dan semenyakitkan ini? pikir Shinta.

Desember 2023

___________

Tri Wicaksono, asal Jakarta Timur. Saat ini sedang menempuh jenjang pendidikan S-1 di Ma'had Aly Lirboyo, Kediri, dan mengambil studi kajian Fiqh Kebangsaan. Ia juga merupakan penggiat literasi pesantren melalui majalah dinding. Dan saat ini sedang mengembangkan media literasi di instagram dengan nama @gemuruhsastra.

Posting Komentar

0 Komentar