METAMORFOSIS SEMPURNA || CERPEN RUDI SETIAWAN

 


Metamorfosis Sempurna

 

            “Telur-telur, ulat-ulat, kepompong, kupu-kupu, kasihan deh lu!”

Nyanyian tersebut menyeret Karmin ke masa lalu. Meskipun teman-temannya sering mengejek karena kemelaratan keluarganya, ia tidak gundah gulana karena dulu ibunda masih bersamanya. Ia seperti telur yang menemukan kehangatan tatkala tangan perempuan renta jatuh ke pundaknya. Itu dahulu karena ibunda masih ada, sekarang ibunda telah berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Hal itu memaksa ia memeluk dirinya sendiri ketika nestapa melanda.

            Ponsel Karmin berdering melantunkan suara perempuan yang lagunya sedang naik daun berkat perjuangannya dalam persaingan industri musik. Bagaikan seekor ulat yang sudah mencapai pucuk daun teh karena kegigihannya dalam menyingkirkan lawan-lawannya.

            “Min gimana lu udah ketemu tanah kuburan sesuai spesifikasi perdukunan belum?” tanya Sakum.

            “Santuy, kemarin ada perawan yang baru saja meninggal.”

            “Piling gud, gue juga udah ketemu mangsa empuk nih,” tutur Sakum.

            “Kita ketemu di tempat biasa min,  jangan ngaret!”

            “Siap bosque, otw enggak pakai rem,” jawab Karmin.

            Selain tanah kuburan yang di dalamnya terdapat perawan yang baru saja di makamkan. Ada ketentuan lain yang harus dijalankan, orang yang ingin mendapatkan ilmu sirep harus masuk dan keluar ke area kuburan dengan cara merayap.           

            Karmin mengambil tanah kuburan yang tidak begitu jauh dengan tempat tinggalnya, kuburan yang akan dituju memang tergolong sepi. Hanya ada seorang penjaga kuburan. Malam ini udara sangat dingin, angin malam yang menggigit tulang-tulang membuat penjaga kuburan meringkuk dalam kain sarungnya. Kidung malam terdengar samar-samar hasil kolaborasi suara jangkrik, kodok, dan cecak. Karmin merasa aman karena tidak ada orang yang melihatnya. Dipandangnya lamat-lamat langit hitam, rembulan bersembunyi di balik tirai awan seakan-akan tidak peduli akan perbuatannya yang telah berkawan dengan setan.

            Setelah Karmin mengambil tanah kuburan, ia bertemu dengan Sakum di persimpangan jalan dekat penjual nasi kucing. Di sana Sakum berdiri mengenakan jaket jin berwarna biru dengan celana bahan berwarna coklat. Mirip Dilan—tokoh dalam film Dilan 1991—yang ingin melakukan kegiatan pramuka. Setelah kedua mata saling bertemu tanpa ada rasa mencintai satu sama lain, mereka langsung  menuju lokasi yang telah ditentukan oleh Sakum.

            Jam dua mereka telah sampai di tempat target,  rumah seorang pengusaha tahu bundar yang digoreng tanpa perencanaan. Cabang usahanya berhamburan hampir di tiap-tiap kota. Rumah besar dengan pagar berwarna biru laut dan bunga-bunga yang beraneka ragam menghiasi perkarangan rumahnya. Sebelum beraksi mereka menaburkan tanah kuburan di depan rumah sambil mulut membaca mantra-mantra. Mereka menunggu beberapa menit hingga penghuni rumah benar-benar terlelap. Setelah merasa aman, mereka langsung melompat pagar tanpa menunggu aba-aba satu, dua, tiga. Berjalan mengendap-endap menuju jendela lalu dicungkilnya jendela tersebut menggunakan pisau kecil. Melakukan lompatan yang kedua, mencari-cari barang berharga.

            “Min, lihat ada televisi berukuran 32 inch, ayo kita sikat,” ujar  Sakum.

            “Jangan kum,  jika kita mencuri televisi kemudian menjualnya. Secara tidak langsung kita sedang memperdagangkan kebodohan. Kau tahu sendiri banyak acara televisi yang merusak moral,” ucap Karmin.

            “Lalu apa yang dapat kita ambil min?”

            “Kita coba cari brankasnya, mungkin ia mengendapkan barang berharganya di sana. Menurut media cetak ia adalah pria saleh. Kalau itu memang benar, tentu ia tidak mau terjerumus ke dalam riba,” jawab Karmin.

            Sakum hanya mengangguk saja, karena ia tidak mengetahui banyak tentang riba. Mereka melanjutkan pencarian brankas tanpa peta maupun google maps. Langkah mereka terhenti di depan pintu berwarna coklat tua dengan tulisan ucapkan salam sebelum masuk. Diucapkannya salam dengan suara sekecil mungkin, mereka tidak ingin membangunkan suami-istri yang sedang melayang di alam mimpi. Dilihatnya istri pengusaha tersebut, wanita dengan rambut mencapai bahu dan  kulit putih gading sedang memeluk suaminya. Karmin tak habis pikir, kenapa wanita secantik dia mau dinikahi oleh bandot tua yang kulitnya sudah kadaluwarsa. Mungkin karena uang membutakan segalanya, seperti profesi yang sudah dijalankan Karmin dan Tono selama setahun kurang delapan bulan.

            Karmin sadar kata terpaksa tidak bisa dijadikan alasan utama untuk mencari rezeki dengan cara yang kotor. Sebenarnya ia masih bisa menjadi kuli bangunan, pedagang sendal jepit, tukang seblak, atau sebagainya yang menurut agama Islam merupakan pekerjaan halal. Namun pekerjaan tersebut membutuhkan waktu lama untuk mengumpulkan banyak uang. Karmin menginginkan kemakmuran dengan cara instan, ia benci akan tatapan orang-orang yang memandang rendah dirinya dari masih kecil hingga sekarang. Seolah-olah orang miskin adalah produk Tuhan yang gagal. Jika tidak bisa mengulurkan tangan, setidaknya berhenti melontarkan cacian, itu yang diharapkan Karmin.

            Matanya menyala dengan hati yang membara, dilihatnya sekali lagi pasangan Beauty and the beast—film garapan Walt Disney Pictures dan Mandeville films—di atas kasur bermotif bunga mawar. Lalu diusir pikirannya jauh-jauh, ia tak ingin seperti orang-orang tersebut yang merasa mempunyai hak prerogatif untuk menilai orang lain bahwa itu benar dan bahwa itu salah. Seharusnya kedatangannya ke sini untuk merampok bukan untuk berprasangka buruk. Boleh jadi perempuan tersebut memang mencintai dengan tulus pria tua yang sedang membentuk pulau kecil di bantalnya.

            “Min itu brankas seperti yang lu bilang bukan?” Sakum menunjuk lemari besi yang terletak di pojok kamar.

            “Sepertinya iya kum.”

            “Bagaimana cara membukanya min? Kelihatannya tidak mudah.”

            “Kita harus memecahkan kata sandinya kum.”

            “Apa sesulit mengisi teka-teki silang min?”

            “Bahkan lebih sulit daripada itu.”

            Karmin terus mencari cara untuk membuka kota brankas. Baru kali ini ia berhadapan dengan lemari besi dengan angka-angka yang tertanam di sana. Karmin merasa bodoh dalam matematika apalagi jika harus memecahkan kode tersebut. Mengharapkan temannya membantunya adalah pekerjaan yang sia-sia, kebodohan Sakum di atas satu tingkat daripada kebodohan Karmin. Terkadang Karmin merasa bahwa Sakum bukanlah rekan kerja yang tepat untuk menemaninya dalam melakukan aksi kriminal. Seandainya Sakum adalah Plankton—tokoh dalam kartun Spongebob Squarepants yang mempunyai ambisi untuk mencuri resep krabby patty—keberadaan di sisinya terasa sedikit berguna, setidaknya ia membantunya berpikir bukan malah banyak bertanya.

            Jarum jam gendut menunjukkan angka empat dengan jarum panjang menyusul di angka enam. Jam terus berputar tanpa peduli kotak brankas sudah terbuka atau belum. Keringat mengalir deras di kulit Karmin yang sedang mengotak-atik brankas. Sementara Sakum tetap setia di samping Karmin, berharap keajaiban muncul lantas menjadikan Sakum seorang kriptolog.

            Azan Subuh mulai berkumandang. Karmin sadar ilmu sirep akan pudar ketika terdengar suara azan. Ia beranjak dari tempat duduknya, di tariknya tangan Sakum  menuju pintu. Tetapi terlambat, istri Pak Karyo dengan roh yang baru setengah terkumpul berteriak begitu melihat ada dua orang asing. Karmin dan sakum panik, lalu berlari secepat mungkin. Suara teriakan dan langkah orang berlari merambat ke telinga Pak Karyo, mengantarkan ia ke dunia nyata. Di lihatnya sekilas dua orang dan istrinya yang ketakutan. Tanpa menanyakan apa yang telah terjadi kepada istrinya. Instingnya mengatakan bahwa ia harus mengejar kedua orang laki-laki tersebut. Tentu ia merasa dua orang yang datang ke kamarnya bukanlah tukang pos atau musafir yang tersesat, pastinya orang jahat yang ingin menguras hartanya.

            Pak Karyo mengambil senjata tajam yang ia sembunyikan di kolong kasur. Pria tua tersebut terus mengejar dengan nafas yang tersengal-sengal, golok terayun-ayun di tangannya. Terjadi kejar-kejaran tanpa diiringi musik India antara seorang pria tua yang beruntung mendapatkan istrinya yang jelita dengan kedua pria muda yang masih melajang.

            Karmin dan Sakum juga mendapatkan keberuntungan, mereka berhasil lolos dari sergapan lelaki tua. Langit yang masih menyisakan gelap membantu pelarian mereka, menyelinap ke gang-gang kecil hingga ke jalan raya. Diberhentikannya mobil angkot yang kebetulan lewat di depan muka mereka. Angkot melaju meninggalkan asap yang mengepul.

                                                            ***

 

            Karmin dan Sakum tiba di suatu tempat dengan rumah-rumah yang terbengkalai, mereka memilih rumah kosong yang berbeda dan berjauhan untuk melepas lelah. Atapnya nyaris ambruk dengan dinding-dinding yang bernuansa kata-kata kotor. Mereka merasa aman untuk sementara, setidaknya untuk beberapa jam. Saking capeknya mereka tertidur dengan nyenyaknya. Dalam tidurnya Karmin bermimpi berada di pinggir jurang, di bawahnya cairan lava mengalir dengan derasnya. Ia merasa takut terjatuh ke dalamnya. Ketakutannya bertambah tatkala melihat ular besar di belakang dengan mulut yang siap menerkamnya. Pilihannya hanya dua, melompat ke jurang atau merelakan dirinya dilumat ular. Ia hanya berdiam diri bingung akan pilihannya. Dipejamkan matanya sambil memohon kepada Allah agar diselamatkan dari mara bahaya.

            Suara berisik membangunkan Karmin. Jendela matanya terbuka perlahan-lahan. Ia lihat di depannya dua orang polisi menatapnya dengan tajam, lebih tajam dari golok kepunyaan Pak Karyo yang sewaktu itu tak sanggup dilawan dengan pisau kecil milik Karmin. Kedua polisi tersebut langsung menggiring Karmin menuju mobil yang telah terparkir tak jauh dari rumah kosong. Satu orang polisi  bertugas mengendarai mobil dan dua orang lainnya berada di kanan-kiri Karmin.

            Karmin bertanya pada polisi di sebelah kanannya, “Pak ke mana teman saya yang mengenakan jaket jin?”

            Pak polisi menjawab tanpa mengarahkan pandangan ke Karmin, “Teman sampean itu sudah meninggal, ia nekat melompat ke jurang ketika kami kejar. Tim kami sedang mengevakuasi jenazahnya."

            “Ya Allah.” Karmin teringat mimpinya barusan. Sakum lebih memilih melompat ke jurang daripada mendekam dalam jeruji besi.

            Karmin sudah berada di rutan ketika mentari menanggalkan jubahnya. Di cecarnya Karmin dengan banyak pertanyaan, setelah memakan waktu yang lama Karmin digiring ke dalam ruangan kecil. Ia merasa seperti kepompong, ruangan ini pengap tanpa cahaya matahari, seakan-akan para penjahat tak pantas menerima karya Tuhan. Di dalamnya terdapat tiga orang dengan tato doraemon, digimon, dan pokemon yang terukir di tubuh mereka.

            “Orang-orang ini pasti pernah berada dalam lembah kenistaan,” ujar Karmin dalam hati. Ia teringat kembali masa-masa jahiliahnya, tak terasa air mata mengalir di tebing pipinya. Ia alirkan kesedihan tersebut dengan memohon ampun kepada zat Yang Maha Pengampun.

            Karmin minta izin kepada penjaga untuk mengambil air wudu. Di jantung malam ia melakukan salat tobat. Arus baliknya terasa semakin kuat, hati dan lisannya terus-menerus menyebut nama Allah swt. Ia ingin memperbaiki akhlaknya, membersihkan hati yang pernah dilumuri dosa.

            Isak tangisnya membangunkan tiga orang yang semula tertidur. Setelah Karmin mengucap salam sambil menengok kanan kiri. Seorang pria berbadan besar dengan muka siap perang bertanya, “Apa yang kau lakukan anak muda? Kau mengganggu kami tidur.”

            “Aku sedang memohon ampunan kepada Allah swt. atas dosa-dosa yang pernah kuperbuat,” ujar Karmin yang masih tersisa air matanya.

            “Tak bisakah kau melakukannya esok pagi?”

            “Aku takut malaikat maut telah merenggut nyawaku sebelum diriku bertobat.”

            “Apakah Allah akan mengampuni dosa-dosa kau?”
            Karmin membacakan surat Az Zumar ayat 53. Suaranya cukup merdu, membentur tembok-tembok yang warnanya mulai memudar, melesap ke nurani manusia. Dulu sewaktu kecil Karmin pernah memenangkan lomba MTQ tingkat kecamatan. Karmin lalu membacakan artinya yang berbunyi:

            Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri. Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

            Tiga orang tahanan yang mendengar suara dan penjelasan dari Karmin tersentuh hatinya. Mereka ingin juga bertobat seperti Karmin. Lalu mereka bersama-sama memperbaiki diri menjadi manusia yang lebih baik dari waktu ke waktu. Mengisi lebih banyak hari-hari mereka dengan mendekatkan diri kepada Allah swt. Melepaskan diri dari hawa nafsu dunia yang berlebihan, terbang seperti kupu-kupu dengan sayap-sayap Iman, Islam, dan Ihsan untuk menyempurnakan nilai ketakwaan.
________________

Rudi Setiawan, pria introver yang kadang-kadang menulis cerpen dan puisi, serta mengabadikan momen melalui fotografi. Bergiat di beberapa komunitas literasi. IG: rudi_setiawan36


Posting Komentar

0 Komentar