Metamorfosis Sempurna
“Telur-telur, ulat-ulat, kepompong, kupu-kupu, kasihan
deh lu!”
Nyanyian
tersebut menyeret Karmin ke masa lalu. Meskipun teman-temannya sering mengejek
karena kemelaratan keluarganya, ia tidak gundah gulana karena dulu ibunda masih
bersamanya. Ia seperti telur yang menemukan kehangatan tatkala tangan perempuan
renta jatuh ke pundaknya. Itu dahulu karena ibunda masih ada, sekarang ibunda
telah berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Hal itu memaksa ia memeluk dirinya
sendiri ketika nestapa melanda.
Ponsel Karmin berdering melantunkan suara perempuan yang
lagunya sedang naik daun berkat perjuangannya dalam persaingan industri musik.
Bagaikan seekor ulat yang sudah mencapai pucuk daun teh karena kegigihannya
dalam menyingkirkan lawan-lawannya.
“Min gimana lu udah ketemu tanah kuburan sesuai
spesifikasi perdukunan belum?” tanya Sakum.
“Santuy, kemarin ada perawan yang baru saja meninggal.”
“Piling gud, gue juga udah ketemu mangsa empuk nih,”
tutur Sakum.
“Kita ketemu di tempat biasa min, jangan ngaret!”
“Siap bosque, otw enggak pakai rem,” jawab Karmin.
Selain tanah kuburan yang di dalamnya terdapat perawan
yang baru saja di makamkan. Ada ketentuan lain yang harus dijalankan, orang
yang ingin mendapatkan ilmu sirep harus masuk dan keluar ke area kuburan dengan
cara merayap.
Karmin mengambil tanah kuburan yang tidak begitu jauh
dengan tempat tinggalnya, kuburan yang akan dituju memang tergolong sepi. Hanya
ada seorang penjaga kuburan. Malam ini udara sangat dingin, angin malam yang
menggigit tulang-tulang membuat penjaga kuburan meringkuk dalam kain sarungnya.
Kidung malam terdengar samar-samar hasil kolaborasi suara jangkrik, kodok, dan
cecak. Karmin merasa aman karena tidak ada orang yang melihatnya. Dipandangnya
lamat-lamat langit hitam, rembulan bersembunyi di balik tirai awan seakan-akan
tidak peduli akan perbuatannya yang telah berkawan dengan setan.
Setelah Karmin mengambil tanah kuburan, ia bertemu dengan
Sakum di persimpangan jalan dekat penjual nasi kucing. Di sana Sakum berdiri
mengenakan jaket jin berwarna biru dengan celana bahan berwarna coklat. Mirip
Dilan—tokoh dalam film Dilan 1991—yang ingin melakukan kegiatan pramuka.
Setelah kedua mata saling bertemu tanpa ada rasa mencintai satu sama lain,
mereka langsung menuju lokasi yang telah
ditentukan oleh Sakum.
Jam dua mereka telah sampai di tempat target, rumah seorang pengusaha tahu bundar yang
digoreng tanpa perencanaan. Cabang usahanya berhamburan hampir di tiap-tiap
kota. Rumah besar dengan pagar berwarna biru laut dan bunga-bunga yang beraneka
ragam menghiasi perkarangan rumahnya. Sebelum beraksi mereka menaburkan tanah
kuburan di depan rumah sambil mulut membaca mantra-mantra. Mereka menunggu
beberapa menit hingga penghuni rumah benar-benar terlelap. Setelah merasa aman, mereka langsung melompat
pagar tanpa menunggu aba-aba satu, dua, tiga. Berjalan mengendap-endap menuju
jendela lalu dicungkilnya jendela tersebut menggunakan pisau kecil. Melakukan
lompatan yang kedua, mencari-cari barang berharga.
“Min, lihat ada televisi berukuran 32 inch, ayo kita
sikat,” ujar Sakum.
“Jangan kum, jika
kita mencuri televisi kemudian menjualnya. Secara tidak langsung kita sedang
memperdagangkan kebodohan. Kau tahu sendiri banyak acara televisi yang merusak
moral,” ucap Karmin.
“Lalu apa yang dapat kita ambil min?”
“Kita coba cari brankasnya, mungkin ia mengendapkan
barang berharganya di sana. Menurut media cetak ia adalah pria saleh. Kalau itu
memang benar, tentu ia tidak mau terjerumus ke dalam riba,” jawab Karmin.
Sakum hanya mengangguk saja, karena ia tidak mengetahui
banyak tentang riba. Mereka melanjutkan pencarian brankas tanpa peta maupun google maps. Langkah mereka terhenti di
depan pintu berwarna coklat tua dengan tulisan ucapkan salam sebelum masuk.
Diucapkannya salam dengan suara sekecil mungkin, mereka tidak ingin
membangunkan suami-istri yang sedang melayang di alam mimpi. Dilihatnya istri
pengusaha tersebut, wanita dengan rambut mencapai bahu dan kulit putih gading sedang memeluk suaminya.
Karmin tak habis pikir, kenapa wanita secantik dia mau dinikahi oleh bandot tua
yang kulitnya sudah kadaluwarsa. Mungkin karena uang membutakan segalanya,
seperti profesi yang sudah dijalankan Karmin dan Tono selama setahun kurang delapan
bulan.
Karmin sadar kata terpaksa tidak bisa dijadikan alasan
utama untuk mencari rezeki dengan cara yang kotor. Sebenarnya ia masih bisa
menjadi kuli bangunan, pedagang sendal jepit, tukang seblak, atau sebagainya
yang menurut agama Islam merupakan pekerjaan halal. Namun pekerjaan tersebut
membutuhkan waktu lama untuk mengumpulkan banyak uang. Karmin menginginkan
kemakmuran dengan cara instan, ia benci akan tatapan orang-orang yang memandang
rendah dirinya dari masih kecil hingga sekarang. Seolah-olah orang miskin
adalah produk Tuhan yang gagal. Jika tidak bisa mengulurkan tangan, setidaknya
berhenti melontarkan cacian, itu yang diharapkan Karmin.
Matanya menyala dengan hati yang membara, dilihatnya
sekali lagi pasangan Beauty and the beast—film
garapan Walt Disney Pictures dan Mandeville films—di atas kasur bermotif bunga
mawar. Lalu diusir pikirannya jauh-jauh, ia tak ingin seperti orang-orang
tersebut yang merasa mempunyai hak prerogatif untuk menilai orang lain bahwa
itu benar dan bahwa itu salah. Seharusnya kedatangannya ke sini untuk merampok
bukan untuk berprasangka buruk. Boleh jadi perempuan tersebut memang mencintai
dengan tulus pria tua yang sedang membentuk pulau kecil di bantalnya.
“Min itu brankas seperti yang lu bilang bukan?” Sakum
menunjuk lemari besi yang terletak di pojok kamar.
“Sepertinya iya kum.”
“Bagaimana cara membukanya min? Kelihatannya tidak
mudah.”
“Kita harus memecahkan kata sandinya kum.”
“Apa sesulit mengisi teka-teki silang min?”
“Bahkan lebih sulit daripada itu.”
Karmin terus mencari cara untuk membuka kota brankas.
Baru kali ini ia berhadapan dengan lemari besi dengan angka-angka yang tertanam
di sana. Karmin merasa bodoh dalam matematika apalagi jika harus memecahkan
kode tersebut. Mengharapkan temannya membantunya adalah pekerjaan yang sia-sia,
kebodohan Sakum di atas satu tingkat daripada kebodohan Karmin. Terkadang
Karmin merasa bahwa Sakum bukanlah rekan kerja yang tepat untuk menemaninya
dalam melakukan aksi kriminal. Seandainya Sakum adalah Plankton—tokoh dalam
kartun Spongebob Squarepants yang mempunyai ambisi untuk mencuri resep krabby patty—keberadaan di sisinya
terasa sedikit berguna, setidaknya ia membantunya berpikir bukan malah banyak
bertanya.
Jarum jam gendut menunjukkan angka empat dengan jarum
panjang menyusul di angka enam. Jam terus berputar tanpa peduli kotak brankas
sudah terbuka atau belum. Keringat mengalir deras di kulit Karmin yang sedang
mengotak-atik brankas. Sementara Sakum tetap setia di samping Karmin, berharap
keajaiban muncul lantas menjadikan Sakum seorang kriptolog.
Azan Subuh mulai berkumandang. Karmin sadar ilmu sirep
akan pudar ketika terdengar suara azan. Ia beranjak dari tempat duduknya, di
tariknya tangan Sakum menuju pintu.
Tetapi terlambat, istri Pak Karyo dengan roh yang baru setengah terkumpul
berteriak begitu melihat ada dua orang asing. Karmin dan sakum panik, lalu
berlari secepat mungkin. Suara teriakan dan langkah orang berlari merambat ke
telinga Pak Karyo, mengantarkan ia ke dunia nyata. Di lihatnya sekilas dua
orang dan istrinya yang ketakutan. Tanpa menanyakan apa yang telah terjadi
kepada istrinya. Instingnya mengatakan bahwa ia harus mengejar kedua orang
laki-laki tersebut. Tentu ia merasa dua orang yang datang ke kamarnya bukanlah
tukang pos atau musafir yang tersesat, pastinya orang jahat yang ingin menguras
hartanya.
Pak Karyo mengambil senjata tajam yang ia sembunyikan di
kolong kasur. Pria tua tersebut terus
mengejar dengan nafas yang tersengal-sengal, golok terayun-ayun di tangannya.
Terjadi kejar-kejaran tanpa diiringi musik India antara seorang pria tua yang
beruntung mendapatkan istrinya yang jelita dengan kedua pria muda yang masih
melajang.
Karmin dan Sakum juga mendapatkan keberuntungan, mereka
berhasil lolos dari sergapan lelaki tua. Langit yang masih menyisakan gelap
membantu pelarian mereka, menyelinap ke gang-gang kecil hingga ke jalan raya.
Diberhentikannya mobil angkot yang kebetulan lewat di depan muka mereka. Angkot
melaju meninggalkan asap yang mengepul.
***
Karmin dan Sakum tiba di suatu tempat dengan rumah-rumah
yang terbengkalai, mereka memilih rumah kosong yang berbeda dan berjauhan untuk
melepas lelah. Atapnya nyaris ambruk dengan dinding-dinding yang bernuansa
kata-kata kotor. Mereka merasa aman untuk sementara, setidaknya untuk beberapa
jam. Saking capeknya mereka tertidur dengan nyenyaknya. Dalam tidurnya Karmin
bermimpi berada di pinggir jurang, di bawahnya cairan lava mengalir dengan
derasnya. Ia merasa takut terjatuh ke dalamnya. Ketakutannya bertambah tatkala
melihat ular besar di belakang dengan mulut yang siap menerkamnya. Pilihannya
hanya dua, melompat ke jurang atau merelakan dirinya dilumat ular. Ia hanya
berdiam diri bingung akan pilihannya. Dipejamkan matanya sambil memohon kepada
Allah agar diselamatkan dari mara bahaya.
Suara berisik membangunkan Karmin. Jendela matanya
terbuka perlahan-lahan. Ia lihat di depannya dua orang polisi menatapnya dengan
tajam, lebih tajam dari golok kepunyaan Pak Karyo yang sewaktu itu tak sanggup
dilawan dengan pisau kecil milik Karmin. Kedua polisi tersebut langsung
menggiring Karmin menuju mobil yang telah terparkir tak jauh dari rumah kosong.
Satu orang polisi bertugas mengendarai
mobil dan dua orang lainnya berada di kanan-kiri Karmin.
Karmin bertanya pada polisi di sebelah kanannya, “Pak ke
mana teman saya yang mengenakan jaket jin?”
Pak polisi menjawab tanpa mengarahkan pandangan ke
Karmin, “Teman sampean itu sudah meninggal, ia nekat melompat ke jurang ketika
kami kejar. Tim kami sedang mengevakuasi jenazahnya."
“Ya Allah.” Karmin teringat mimpinya barusan. Sakum lebih
memilih melompat ke jurang daripada mendekam dalam jeruji besi.
Karmin sudah berada di rutan ketika mentari menanggalkan
jubahnya. Di cecarnya Karmin dengan banyak pertanyaan, setelah memakan waktu
yang lama Karmin digiring ke dalam ruangan kecil. Ia merasa seperti kepompong,
ruangan ini pengap tanpa cahaya matahari, seakan-akan para penjahat tak pantas
menerima karya Tuhan. Di dalamnya terdapat tiga orang dengan tato doraemon,
digimon, dan pokemon yang terukir di tubuh mereka.
“Orang-orang
ini pasti pernah berada dalam lembah kenistaan,” ujar Karmin dalam hati. Ia
teringat kembali masa-masa jahiliahnya, tak terasa air mata mengalir di tebing
pipinya. Ia alirkan kesedihan tersebut dengan memohon ampun kepada zat Yang
Maha Pengampun.
Karmin minta izin kepada penjaga untuk mengambil air
wudu. Di jantung malam ia melakukan salat tobat. Arus baliknya terasa semakin
kuat, hati dan lisannya terus-menerus menyebut nama Allah swt. Ia ingin
memperbaiki akhlaknya, membersihkan hati yang pernah dilumuri dosa.
Isak tangisnya membangunkan tiga orang yang semula
tertidur. Setelah Karmin mengucap salam sambil menengok kanan kiri. Seorang
pria berbadan besar dengan muka siap perang bertanya, “Apa yang kau lakukan
anak muda? Kau mengganggu kami tidur.”
“Aku sedang memohon ampunan kepada Allah swt. atas
dosa-dosa yang pernah kuperbuat,” ujar Karmin yang masih tersisa air matanya.
“Tak bisakah kau melakukannya esok pagi?”
“Aku takut malaikat maut telah merenggut nyawaku sebelum
diriku bertobat.”
“Apakah Allah akan mengampuni dosa-dosa kau?”
Karmin membacakan surat Az
Zumar ayat 53. Suaranya cukup merdu, membentur tembok-tembok yang warnanya
mulai memudar, melesap ke nurani manusia. Dulu sewaktu kecil Karmin pernah
memenangkan lomba MTQ tingkat kecamatan. Karmin lalu membacakan artinya yang berbunyi:
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas
terhadap diri mereka sendiri. Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tiga orang tahanan yang mendengar suara dan penjelasan
dari Karmin tersentuh hatinya. Mereka ingin juga bertobat seperti Karmin. Lalu
mereka bersama-sama memperbaiki diri menjadi manusia yang lebih baik dari waktu
ke waktu. Mengisi lebih banyak hari-hari mereka dengan mendekatkan diri kepada
Allah swt. Melepaskan diri dari hawa nafsu dunia yang berlebihan, terbang
seperti kupu-kupu dengan sayap-sayap Iman, Islam, dan Ihsan untuk
menyempurnakan nilai ketakwaan.
________________
Rudi Setiawan, pria introver yang
kadang-kadang menulis cerpen dan puisi, serta mengabadikan momen melalui
fotografi. Bergiat di beberapa komunitas literasi. IG: rudi_setiawan36
0 Komentar