MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (16) || SAID CYGALLA



MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (16) 

“Oke, tunggu aba-abaku, kita tarik bersama dengan sekuat tenaga, siap? Satu-dua-tiga, TARIK SEKARANG!!” Bimbim berseru.

Aku menarik sambil melangkah mundur. Selangkah demi selangkah. Ruas jari telunjukku terasa perih.

“Cepat Gung, Kapten bisa kehabisan napas … AYO TARIIK!!” Bimbim ikut menarik sambil bergerak sekuat tenaga menjauhi danau.

Om Wira dan Om Yulian datang tergopoh untuk membantu dengan ikut menarik tubuh kami berdua.

Dalam waktu sekian detik kemudian, tubuh Kapten Togar terlihat di bawah permukaan air. Mendekat dan terus semakin dekat ke arah permukaan. Hingga akhirnya wajahnya tersembul ke udara sambil menyemburkan air sekeras mungkin.

“Tarik aku keluar, CEPAATT!!” Teriaknya panik.

Kapten Togar terlihat lemah. Tidak terlihat gerakan mengayuh di air seperti layaknya orang yang sedang berenang. Mungkin ia kelelahan. Tubuhnya terseret begitu saja keluar dari air menuju ke arah kami. Semeter demi semeter, hingga akhirnya berhenti tepat bersentuhan dengan kakiku. Matanya terpejam.

“Kapt, Kapt, kau tak apa-apa kan?” Bimbim menampar-nampar pipi Kapten dengan cemas.

Kapten Togar mengangkat tangan kanannya ke udara dan mengacungkan ibu jarinya. Memberi tanda bahwa dia tak apa-apa.

“Aku tak apa-apa tapi kalau kau menampar-namparku sekuat itu ya aku bakal pingsan betulan, Bim”

Mau tak mau kami ikut tersenyum mendengar ucapan Kapten Togar barusan.

“Kapt, kenapa tangan kirimu mengepal, kram ya?” Tanya Om Yulian.

“Tidak.” Kapten Togar mengacungkan tangan kirinya ke hadapan Om Yulian. Lalu dibukanya kepalan tangannya yang sedang menggenggam sesuatu.

Lalu kami semua menjerit tertahan menyaksikan isi genggaman tangan kiri Kapten Togar.

Sebuah benda seukuran telur bebek, berwarna putih pucat. Bersinar redup di telapak tangan Kapten Togar.

---

 

Kami semua mengerumuni Kapten Togar seperti kawanan semut yang baru saja menemukan sebutir gula pasir. Benda bulat oval itu terlihat bersinar semakin terang tapi tak menyilaukan. Cahayanya seolah memiliki kekuatan yang terasa mendamaikan hati. Persis seperti benda bersinar yang terdapat pada ujung tongkat Ki Nala Pagon, abdi dari Sang Ratu Bahari.

“Hey, dia terbang.” Seru Kapten Togar takjub.

Mustika itu memang terlihat melayang beberapa senti dari telapak tangan Kapten Togar. Perlahan semakin tinggi meninggalkan tangannya. Lalu tiba-tiba saja mustika itu melesat cepat menuju ke suatu arah. Tepatnya ke arah tangkapan tangan Ki Nala Pagon yang berdiri tegak di atas batu sejak tadi.

Sang perwira lantas memasukkan mustika putih itu ke dalam saku di bagian depan jubah hitamnya. Lalu, nyaris tanpa suara, ia meloncat turun dari batu dengan bersalto ke depan.  Setelah mendarat dengan mulus nyaris tanpa suara, dengan langkah tegapnya ia langsung berjalan lurus, melintasi tempat kami berkerumun dengan sikap acuh.

“Hey, Perwira Ki Nala, apakah kita akan kembali ke kapal?” Teriak Om Wira.

Sepertinya aku melihat Ki Nala mengangguk, tapi entahlah, mungkin itu hanya gerakan ayunan kepalanya saja saat berjalan. Apakah memang seperti itu sikap makhluk halus? Begitu dingin dan acuh. Saat tadi aku berdebat dengan Om Wira, lalu beradu argumen dengan Kapten Togar maupun Bimbim, Ia tak terlihat berusaha mendekati atau melerai kami, seolah tak mau ikut campur urusan manusia bahkan andai kami saling berbunuhan sekalipun. Mungkin ia sekedar jadi abdi yang baik bagi ratunya dengan hanya terfokus pada urusan yang menjadi misinya.

“Yuk, semua, kita segera kembali ke kapal. Mari ikuti si perwira supaya kita tetap berada dalam area terang di bawah naungan cahaya tongkatnya. Repot kalau kita tersandung-sandung dalam kegelapan,” Ajakku pada yang lain.

“Aku setuju. Hutan ini menyeramkan. Yuk!” Om Yulian ikut beranjak.

“Kapt, cukup kuatkah berjalan atau mau kupapah?” Aku menawarkan bantuan pada Kapten Togar.

Kapten Togar berdiri. Ia menolak dengan isyarat telapak tangannya, “Kau sudah sangat membantu, Gung. Aku berhutang padamu. Pada kalian semua.” Ditepuknya bahuku.

Seiring kami semua bergerak, aku menghentikan langkah dan membiarkan semua orang melewatiku satu persatu sambil menghitung jumlah mereka. Dan tentu saja yang paling belakang adalah Carla dan ketiga anak-anak penyusup itu.

“Hey, kenapa kau basah kuyup?” Kutanya salah seorang anak laki-laki yang berambut cepak tipis berbaju merah.

“Tercebur, kak.” Katanya sambil menggigil kedinginan.

“Aku yang salah tidak mengawasinya,” Bela Carla. “Tadi waktu kau sedang menarik Kapten Togar keluar dari danau, kulihat anak ini ada di dalam air, untung masih di tepian yang dangkal, jadi aku segera menariknya dibantu adik-adiknya.”

“Oh, jadi mereka bertiga bersaudara?” Bisikku.

“Sepertinya demikian, karena aku mencuri dengar mereka saling panggil dengan sebutan ‘Kak’ dan ‘Dik’. Mereka tak selalu menjawab pertanyaanku, Gung. Lebih sering terdiam dan menunduk,” Jawab Carla dengan berbisik juga.

“Terima kasih infonya. Awasi terus mereka ya.”

“Iya, Gung.”

“Bim, bagaimana senar pancingmu? Maaf aku tak sempat membantu menggulungnya kembali tadi.”

Bimbim mengacungkan ibu jarinya tanpa melirikku sama sekali dan terus berjalan.

“Bim, maaf, bolehkah kau berjalan agak pelan? Sepertinya Carla dan tiga anak ini butuh ditemani karena perjalanan kembali ke kapal jalurnya akan banyak menanjak.” Pintaku.

Bimbim mengangguk dan memperlambat langkahnya agar bisa menyejajarkan posisinya dengan Carla dan ketiga anak tadi. Aku agak terkejut juga dengan perubahan sikap Bimbim yang terlihat jadi lebih pendiam dalam perjalanan kembali ke kapal. Tak terlihat lagi sinar matanya yang selalu tajam dan bengis menatapku seperti sebelumnya.

“Eh, kalau senar pancingmu rusak, nanti kuganti deh.” Aku iseng saja mencoba memancingnya bicara.

Di luar dugaan ia tersenyum. “Enak saja kau, bocah. Senar semahal ini tak akan mudah rusak tentunya. Aku tak menyesal membelinya karena hari ini ternyata ia jadi alat penyelamat nyawa manusia. Benar-benar tak kuduga.”

“Eh, syukurlah kalau begitu,” Aku sebetulnya tak tahu harus bereaksi seperti apa terhadap kata-kata Bimbim.

Good job, Bro!” Bimbim mengacungkan ibu jarinya lagi kepadaku. Eh, aku tidak salah dengar kan? Apakah dia barusan memujiku?

“Sudah sana kau jalan di depan saja. Nanti si muka rata itu hilang tak terkejar. Aku tak sudi jalan di dekatmu!” Bimbim mengusirku. Tapi aku tahu kali ini Bimbim tak sungguh-sungguh meluapkan kebenciannya padaku. Atau setidaknya, kali ini aku sudah lebih berlapang dada dalam menerima sikap menyebalkannya dibandingkan dengan sebelumnya.

Rasanya lega sekali tugas pencarian mustika sudah berhasil kami tunaikan dengan baik. Tentunya peran terbesar adalah milik Kapten Togar yang berjuang menyelam ke dalam danau. Namun, kurasa semua orang punya andil. Aku senang kami semua saling bantu meski melalui hambatan dan kendala komunikasi yang tak mudah.

Aku menambah tenaga sedikit pada langkahku, karena menurutku kata-kata Bimbim di awal perjalanan tadi memang benar. Pemimpin harus berjalan terdepan diikuti seluruh timnya. Kulihat di depan sana, tepat beberapa langkah di belakang langkah-langkah tegap Ki Nala Pagon, berjalan Kapten Togar dengan sedikit tertunduk. Mungkin ia masih kelelahan. Sementara bajunya basah.

Di belakangnya berjalan dua orang pria sebaya yang tampaknya sedang mengobrol. Om Wira dan Om Yulian.

Kutambah kecepatan langkahku saat melewati mereka berdua. Rupanya mereka sedang berdebat seru dengan suara yang cukup keras menyaingi suara serangga-serangga malam di hutan lebat ini.

 “Sialan kau Wira! Dalam semalam wajahku kau basahi dua kali. Waktu di kabin kau siram wajahku dengan air teh. Sementara tadi malah tersembur langsung dari mulutmu itu.” Om Yulian mengomel tapi sambil menyeringai juga.

“Heh, bukan salahku. Tadi kita di kabin sedang dalam kondisi genting berhadapan dengan murkanya Ratu Bahari. Sementara kau terus saja mengigau dalam tidurmu, meracau tentang berebut ikan patin dengan Vladimir Putin. Kalau tak kusiram wajahmu mungkin kau juga akan mengajak Ratu Bahari mendirikan warung pecel lele,” Balas Om Wira sengit.

Aku terkikik sambil mendahului mereka. Kini aku sudah berjalan berdampingan dengan Kapten Togar.

“Bagaimana kondisimu, Kapt, pasti lelah, ya?”

“Nah, kebetulan kau muncul. Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Gung,” Kata Kapten.

“Silakan, Kapt, mau bicara tentang apa?”

“Tentang makhluk di dasar danau.”

Bulu kudukku meremang seketika demi mendengar ucapan Kapten Togar.

“Gung, di dalam danau tadi, ada hal yang sangat aneh terjadi,” ucap Kapten Togar setengah berbisik padaku. Diliriknya sekilas Om Wira dan Om Yulian yang masih berdebat seru beberapa langkah di belakang kami berdua. Seolah ia ingin memastikan kata-katanya tak terdengar oleh orang lain.

“Aneh bagaimana, Kapt? Apakah kau bertemu juga hantu perempuan penunggu danau yang melempar Om Wira?” Tanyaku.

“Yang jelas, aku memang bertemu ‘sesuatu’. Mungkin ‘dia’ juga yang melempar Wira keluar dari danau. Entahlah, Gung. Namun, yang jelas, aku harus menceritakan satu hal kepadamu.”

 

(BERSAMBUNG)


Posting Komentar

0 Komentar