MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (15) || SAID CYGALLA

 


MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (15)

 

“Aku tak peduli ucapanmu, Gung. Aku akan menyelamatkan para penumpangku, dengan caraku sendiri, dan kau takkan mampu mencegahnya!”

“Oke Kapt, Deal, aku setuju!” Jawabku cepat.

Kapten Togar tertegun sejenak. Aku segera beralih ke Bimbim.

“Hey, mana senar pancing merahmu, tadi?” Tanyaku.

“Dasar bocah sok tahu, warnanya putih, bodoh!! Nih, lihatlah sendiri dengan mata lemahmu itu ... Hey, kembalikan!!”

Segera saja kurebut senar pancing Bimbim seketika. Aku memang sengaja salah menyebutkan warna senarnya agar Bimbim terpancing menyodorkannya untuk membuktikan kesalahanku. Kalau kuminta baik-baik mana mungkin dia mau menyerahkannya. Langsung saja kucari ujung senar itu dan kuurai sepanjang mungkin. Lalu kudekati Kapten Togar.

Kapten Togar mengenakan celana kargo gelap dengan sabuk kulit terpasang kuat di bagian pinggangnya. Langsung saja kusisipkan ujung senar pancing itu ke jalur sabuknya. Mau tak mau posisi tanganku jadi melingkari pinggang Kapten.

“Hey, apa-apaan ini?!’ Kapten Togar menepis tanganku. “Kau mau apa, Gung?!”

“Aku mau menyelamatkan kapten kapalku, dengan caraku sendiri, dan kau tak boleh mencegahnya!” Semburku sekeras mungkin dan sedekat mungkin dengan wajah Kapten Togar.

Kami saling bertatapan seperti sedang menantang satu sama lain. Suasana hening. Aku tahu orang-orang semua sedang memperhatikan kami berdua sekarang. Tapi aku tahu dan sangat yakin dengan apa yang sedang kulakukan. Kalau Kapten Togar tak terima atau bahkan sampai memukulku, aku sudah siap dan berniat akan tetap melanjutkan rencanaku. Menurutku lebih baik kupakai cara keras sekalian daripada aku diremehkan terus menerus.

“Kau tak butuh izinku saat kau ingin memastikan keselamatan penumpangmu, kan? Demikian juga aku tak butuh izinmu untuk memastikan keselamatan kapten kapalku. Sudah, selesai perkara. Tak perlu berdebat lagi!” Bentakku lagi ke wajah Kapten Togar.

Kapten terdiam, matanya masih menatapku tajam. Aku tak peduli. Kulanjutkan menyisipkan senar pancing Bimbim ke sela jalur sabuk di celana Kapten Togar. Satu persatu hingga kembali ke titik awal sebagai tanda senar pancing telah melingkari celana Kapten Togar melalui jalur ikat pinggangnya. Kapten Togar tak bereaksi, tapi aku tetap siaga andai dia tiba-tiba menempelengku atau semacamnya.

Dari ekor mataku bisa kuperhatikan bahwa orang-orang mematung tegang melihat aksiku, tak terkecuali Bimbim yang bergeming tak seperti biasanya.

Aku berusaha mengikat ujung senar pancing itu dengan simpul kapal, tapi aku agak lupa tekniknya.

“Kapt, maaf, aku lupa. Ujung yang ini masuk dulu atau melingkar dan langsung ikat?” Tanyaku.

Kapten terdiam lama, sebelum akhinya ia berucap,

“Ya, kau sudah benar, Gung. Masukkan itu dan langsung ikat,”

Nada suaranya terdengar sudah kembali tenang.

Saat kutuntaskan simpul itu. Kapten menariknya dengan tangan kanannya. “Ulurlah, Gung..!”

Aku pun mundur hingga berjarak sekitar empat meter jauhnya dari kapten sambil memegang sisa gulungan senar pancing itu di tanganku.

“Sekarang pegang senarnya dengan ibu jari dan telunjuk, biarkan senarnya melewati ruas kedua dari jari telunjukmu!” Perintah Kapten Togar lagi. Aku menurut.

“Nah, sekarang kau rasakan ya … longgarkan ibu jarimu dari telunjuk!“ Kapten menarik perlahan senarnya. Terasa senar itu bergesekan perlahan dengan kulit ibu jariku.

“Bedakan dengan yang ini .…” Kapten tiba-tiba menyentak tarikan senarnya. Ibu jariku terasa agak perih karena gesekan kuat yang tiba-tiba itu.

“Jika terasa menyentak seperti ini, kau ulur dulu sedikit, saat kekuatan sentakan itu mereda, barulah kau gulung dan tarik lagi sekuatnya, paham?!”

“Baik, Kapt!” Jawabku.

“Dalam memancing, sentakan seperti tadi menandakan bahwa umpanmu disambar ikan,” Jelas Kapten.

Aku mengangguk, tapi tak berani membayangkan, andai dalam perjalanan menyelami danau nanti akan menerima sentakan seperti itu dari Kapten Togar, karena itu berarti sama saja dengan .....

“Aku masuk dulu, doakan aku teman-teman. Gung, biarkan terulur terus sampai dua puluhan meter kalau perlu,” Kapten Togar mengakhiri kalimatnya dengan langsung meloncat ke air. Suara kecipak air yang ditimbulkan hampir tak terdengar jika dibandingkan dengan saat Om Wira menceburkan diri tadi. Kapten terlihat lebih berpengalaman dalam menyelam.

Gulungan senar di tanganku berputar dengan cepat. Aku kembali merasakan sensasi memancing di atas kapal White Angel tadi siang. Dari kecepatan putaran gulungan itu, aku bisa menebak kecepatan menyelam Kapten Togar di bawah permukaan air danau. Sangat cepat!

“Gung.” Om Yulian mendekatiku.

“Tak mengapakah kita biarkan Kapten Togar yang mengambil mustika itu? Kau lihat sendiri kan, apa yang terjadi pada Wira barusan?”

“Insya Allaah nggak apa-apa, Om. Lagipula, memang Kapten Togar lah orang yang tepat. Memang dialah orang terpilih yang bisa mengambil mustika di dalam danau ini,” ucapku pasti sambil tersenyum ke arah Om Yulian.

“Hah, kok bisa? Kau tahu dari mana, Gung?”

Mau tak mau aku tersenyum melihat wajah Om Yulian yang masih agak basah dan rambutnya yang berdiri berantakan mirip seorang punk rocker akibat tadi tersembur air oleh Om Wira saat akan melakukan CPR.

“Agung belum pernah ke sini, tapi pernah membaca tentang kisah legenda tempat ini, Om.”

“Memang seperti apa tepatnya legenda tempat ini, Gung? Coba kau ceritakan.” Pinta Om Yulian.

“Tentunya, tidak terlalu akurat dan mungkin ada berbagai versi mengenai legenda Danau Kaco ini. Agung hanya tahu garis besarnya saja, Om.”

“Oke, jelaskan padaku, mungkin dari namanya dulu. Kenapa dinamakan Danau Kaco, Gung?”

“Silakan Om perhatikan sendiri, danau ini begitu indah berkilau bagaikan cermin atau kaca, bukan? Itulah salah satu penyebabnya ia disebut Danau Kaco atau Danau Kaca.”

“Oh iya, benar juga. Lalu legendanya?”

“Sejauh yang Agung tahu, legendanya menceritakan tentang seorang raja yang memiliki anak gadis yang cantik. Kecantikannya membuat banyak pangeran ataupun raja dari kerajaan lain ingin meminangnya sebagai istri. Mereka rela mempersembahkan aneka perhiasan kepada sang putri. Namun sang raja yang tamak dan posesif kepada putrinya itu justru memanfaatkan semua pemberian itu untuk memperkaya diri lalu menimbunnya di dalam danau ini. Bahkan dalam salah satu versi cerita, sang raja tersebut sampai akhirnya menenggelamkan putrinya di danau ini agar tidak dimiliki oleh siapapun selain dirinya sendiri sebagai ayah kandungnya.”

“Lalu dari cerita legenda itukah kau menarik kesimpulan bahwa Kapten Togar sesuai dengan kriteria untuk dapat mengambil mustika di dalam danau??” Om Wira tiba-tiba datang menyela. Nadanya terdengar gusar seolah sedang mempertanyakan suatu kejadian yang tak masuk akal.

Aku tak sempat menjawabnya karena mendadak terasa sentakan pada senar pancing yang tadinya terulur perlahan diantara ujung ibu jari dengan ruas jari telunjukku.

Reflek aku menarik senar pancing itu untuk memberikan perlawanan. Untung Bimbim mengingatkan.

“Tahan, bodoh … kau sedang dapat ikan, ingat arahan Kapten Togar tadi. Biarkan ia membawamu sebentar, agar kau tahu pola dan arah pergerakannya,” Bimbim mendekatiku dari belakang.

“Sebaiknya kau segera menariknya, sebelum ia bernasib sama sepertiku, Gung. Lagipula sehebat apapun Kapten Togar, ia takkan mampu menahan napas nya lebih dari dua menit di dalam sana,” Om Wira ikut mengingatkan.

“Tenang Om, kita tidak boleh gegabah.” Sejujurnya aku ingin menuruti Om Wira dengan langsung menarik senar pancing itu. Tapi sepertinya aku lebih baik mempercayakan langkah-langkahku menghadapi situasi ini dengan panduan dari pelaut yang lebih berpengalaman seperti Bimbim.

“Bim, tolong aku, bisakah ujung senar pancing ini kau ikatkan pada sesuatu yang sangat berat untuk menahan agar kita tak kehilangan Kapten?” Pintaku kepada Bimbim.

“Betul juga katamu. Baik, akan kuikatkan ke pohon besar itu,” Bimbim dengan sigap berlari dan mengikatkan ujung senar pancing ke sebatang pohon besar di belakangnya. Diameter pohon itu mungkin sekitar dua meter. Usai mengikatnya dengan erat, Bimbim kembali menghampiriku.

“Apakah tarikannya bertambah kuat?” Tanya Bimbim.

“Tidak, dia konstan terulur lagi. hanya saja sentakan tadi mengagetkanku,” Jawabku.

“Tunggulah sebentar, rasakan di jarimu saat kecepatannya berkurang. Jangan ditarik saat sedang kencang seperti ini.”

Memang saat ini tarikan senar cukup cepat dan jariku mulai terasa agak perih. Aku menunggu momen berkurangnya kecepatan sesuai instruksi Bimbim.

Dan, momen itu tiba. Tarikan di jariku terasa melemah.

“Bim … sepertinya sekarang waktunya!” Seruku.

“Oke, tunggulah sebentar .…” Bimbim ikut memegang senar itu dengan tangannya. Ditarik-tariknya dengan tarikan yang berkedut seperti orang sedang bermain layangan.

“Oke, tunggu aba-abaku, kita tarik bersama dengan sekuat tenaga, siap? Satu-dua-tiga, TARIK SEKARANG!!” Bimbim berseru.

 

(BERSAMBUNG)

 

Posting Komentar

0 Komentar