MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (14)
Diamku sebetulnya bukan karena menyetujui ucapan Om Wira. Tapi lebih ke
kondisi mental yang jatuh. Sejak bertemu semua orang di kapal tadi pagi, kini
lengkap sudah semua orang yang lebih tua dariku, membentakku dengan emosi.
Meskipun aku merasa tak melakukan kesalahan apapun kepada mereka. Oh, kecuali
Om Yulian, tentu saja. Ia kan tak mungkin membentak kemenakannya sendiri.
Mungkin arogansiku memaksakan diri menarik joran saat memancing tadi memang harus
kubayar mahal. Sepertinya aku layak menerima semua perlakuan ini.
“Kau tak harus membentaknya. Lagipula bukan keinginannya untuk menjadi
pemimpin tim kita. Kita semua seharusnya saling bekerja sama, Wira,” seru Om
Yulian pada Om Wira yang kini sedang melakukan senam pemanasan sambil
bertelanjang dada setelah melepaskan kaos oblongnya. Tubuh kekarnya menunjukkan
bahwa Om Wira memang seorang olahragawan.
“Memang bukan keinginannya, Yulian, tapi kalau menunggu keinginannya,
maka kita tak pulang-pulang karena misi brengsek ini tak selesai-selesai!” Seru Om Wira sambil mendekati Ki Nala Pagon.
“Hey, Perwira, seperti apa bentuk mustika itu?” Om Wira setengah
berteriak kepada si perwira berwajah rata.
Ki Nala Pagon membentuk gerakan memutar seperti bola dengan kedua
tangannya.
“Oke, bentuknya bulat. Sebesar ini kah?” Om Wira mengacungkan kepalan
tinjunya.
Ki Nala Pagon menggeleng. Ia mendekatkan ibu jari dan telunjuknya untuk mengisyaratkan
bahwa bentuk benda itu lebih kecil dari ukuran kepalan tangan Om Wira.
“Oke, bulat dan kecil. Apa warnanya, biru?” Tanya Om Wira lagi.
Ki Nala Pagon menggeleng.
“Putih?!”
Ki Nala Pagon mengangguk.
“Baik, cukup petunjukmu, terima kasih,”
Lalu, setelah mengambil ancang-ancang beberapa langkah mundur, Om Wira
berlari dan meloncat ke dalam danau, menimbulkan suara ceburan keras di
permukaan air. Tubuhku terciprat air dingin. Perasaanku dipenuhi tanda tanya
dan ketakutan. Betulkah Om Wira orang yang tepat untuk mengambil mustika di
dalam danau? Andai bukan, maka konsekuensi apa yang akan diterimanya? Hal-hal
buruk memenuhi pikiranku seiring tubuh Om Wira terlihat bergerak di bawah
permukaan air Danau Kaco yang biru bening.
Beberapa detik berlalu sebelum lamunanku dibuyarkan oleh sesuatu yang
terlempar keluar dari dalam danau. Sesuatu itu berukuran cukup besar, terlontar
cukup tinggi di udara.
“Hey, itu Wira, tangkap diaaa!!” Om Yulian berseru panik.
Kami semua menengadah dan tergopoh-gopoh mengambil posisi untuk menangkap
tubuh yang sedang dalam perjalanan untuk menghujam bumi itu.
Aku dan Bimbim sudah siap menangkap di titik yang sama, tapi tetap saja
semua terasa terlambat. Tubuh kekar Om Wira menimpaku dan seluruh napasku
seperti disemburkan dengan paksa keluar dari dada saat aku terempas ke tanah.
Sayup-sayup terdengar jeritan Carla memanggil ayahnya. Dengan pandangan
yang masih berkunang-kunang aku mencari kejelasan situasi.
Tubuhku terbaring telentang. Tubuh Om Wira juga telentang menindihku.
Sebagian tubuh Bimbim juga tertindih. Kepala Om WIra ditumpu oleh tangan Kapten
Togar yang rupanya berhasil menangkapnya. Kakinya terpegang oleh Om Yulian. Rupanya
mereka berdua berusaha menangkap tubuh Om Wira tapi kurang sempurna karena
akhirnya tetap menimpaku dan Bimbim.
“Baringkan ia di tanah, Kapt!” Seru Om Yulian.
“Gawat, dia tak bernapas!” Seru Bimbim.
Om Yulian berseru, “Kalian semua jangan terlalu dekat, beri dia ruang!
Ada yang paham proses CPR di sini?”
“Aku bisa!” Jawab Kapten Togar.
Carla terduduk gemetar.
“Maaf, Sayang, kau duduk saja dulu
ya. Ayahmu akan baik-baik saja.” Om Yulian menenangkan Carla. “Bim, Gung ...
tolong jaga Carla dulu sebentar,”
Aku dan Bimbim segera menuruti Om Yulian dan menarik tubuh Carla yang masih
shock dan gemetar, agar sedikit menjauh dari ayahnya.
“Baik, ayo kita lakukan bersama, Kapt. Kau yang pompa dadanya, aku yang
tiup mulutnya.” Om Yulian memberi komando.
Aku ketakutan menyaksikan tubuh Om Wira yang basah kuyup terkapar tak
bergerak. Apakah ia meninggal? Ini benar-benar seperti mimpi buruk. Kenapa aku
harus ada dalam situasi seperti ini sih? Kucubiti lenganku sekeras mungkin tapi
aku tak juga terbangun di kamar kostku. Sial, rupanya ini semua memang nyata
dan benar-benar terjadi!
Kapten Togar memompa kedua telapak tangannya di dada Om Wira. Om Yulian
sudah mengambil posisi untuk memberikan napas buatan. Dan tepat saat wajah Om
Yulian berada di atas wajah Om Wira, tiba-tiba Om Wira terbangun dan menyemburkan
air dari mulutnya, tepat ke arah wajah Om Yulian dengan deras.
“Bahh!!” Om Yulian menyeka wajahnya dengan gelagapan.
Demikian juga Om Wira. Ia terduduk dan terbatuk-batuk. Napasnya tersengal
dan matanya nanar.
“Ayaah ... Ayah masih hidup!” Carla berlari menerjang ayahnya sambil
tersenyum lega.
“Alhamdulillaah.” Tanpa sadar aku dan Bimbim mengucap syukur bersamaan.
Om Wira sudah hampir bangkit berdiri, tapi dicegah oleh Kapten Togar. “Tenangkan
dulu napasmu, Kawan. Biarkan tubuhmu kembali normal perlahan sebelum bergerak.”
Kapten melepaskan bandana merah di kepalanya. Aku kembali melihat tato
burung hitam di tengkuknya. Kapten membuka lipatan bandananya. Rupanya kain
bandana itu cukup lebar juga. Dengan itu kapten menyelimuti tubuh Om Wira,
sambil menepuk-nepuk bahunya. “Bersantailah dahulu, sobat. Jangan berkata
apapun.”
“Ada yang harus kukatakan!” Om Wira menatap Kapten Togar dengan tubuh
yang masih bergetar.
“Ayah ....” Carla memeluk dan mengusap punggung ayahnya.
“Di dalam air, dasarnya tak terlihat. Kupikir hanya sekitar sepuluh
meter. Tapi ternyata sangat dalam! Semakin ke dalam, air semakin gelap. Lalu
aku melihat benda sialan itu!” Om Wira menerawangkan matanya ke arah danau.
“Benda apa? Mustika itu kah?” Tanya Bimbim yang berjongkok mendekat.
“Betul, di kedalaman air yang gelap. Dekat pangkal pohon yang terendam.
Benda itu memancarkan sinar putih redup, tapi cukup terlihat. Aku sudah hampir
meraihnya, tapi ....” Om Wira menghentikan kalimatnya.
“Tapi kenapa, Ayah?” Carla bertanya dengan ekspresi ketakutan.
“Tanganku ....”
“Tangan Ayah kenapa?”
“Tanganku sudah hampir menyentuh mustika itu. Tapi tiba-tiba ... ada
tangan lain yang memegang tanganku. Tangan milik seorang anak perempuan,
bergaun putih. Seluruh tubuhnya putih pucat, seperti warna mustika itu, dan dia
berbicara dengan suara yang jelas terdengar di telingaku, meski sedang berada
di dalam air!” Kata-kata Om Wira bergetar. Tubuhnya pun memang terlihat semakin
gemetar saat ini.
Kapten Togar kini ikut mengusap punggung Om Wira, “Apa kata anak
perempuan itu padamu, Wira?”
“Anak itu berkata, KAU BUKAN AYAHKU!” Om Wira menghela napas. “Lalu
tangannya yang pucat itu mencengkeram lenganku dan melemparkanku keluar dari
air dengan kekuatan yang luar biasa. Dan aku tak ingat apa-apa lagi.”
“Kau terlontar tinggi keluar dari air dan menimpa si bodoh ini,” Jawab
Bimbim dengan enteng sambil menunjukku.
Kapten Togar bangkit berdiri. Dibukanya bajunya lalu kaus kutangnya.
“Hey, Kapt, jangan terburu-buru. Mari kita diskusikan dulu siapa yang
tepat untuk masuk ke air.” Cegah Om Yulian.
“Aku tak butuh diskusi. Dari cerita Wira barusan, aku sudah mengetahui
arah dan letak mustika itu berada. Akan kuambil benda itu secepatnya. Kalau perlu
kulawan setan penunggu danau ini.”
“Kapt?” Aku berseru. “Aku ingin bertanya, tato di tengkukmu, apakah itu
burung gagak?”
“Penting hal itu kau tanyakan?” Tukas Kapten Togar. “Kalau benar itu tato
burung gagak memangnya kenapa? Jangan bicara lagi omong kosong tentang siapa
orang yang tepat.”
Aku tak menanggapi kalimat Kapten, “Bim ... kulihat kau membawa gulungan
senar pancing cadangan di saku celanamu. Berapa panjangnya, dua puluh meter
kah?” Kucolek bahu Bimbim yang sudah tentu langsung melirikku tajam.
“Betul kata Kapten, pertanyaan-pertanyaanmu memang tak penting. Senar
pancingku lima puluh meter, ini bukan barang mainan. Senar tipis berkualitas
tinggi yang sangat kuat, mampu menahan beban satu kwintal. Kau lihat sendiri
tadi kan, joran yang dipakai Carla? Monster sebesar gurita raksasa saja bisa
tersangkut tanpa terputus senarnya.” jawab Bimbim ketus.
“Tepat, memang itulah yang kita butuhkan saat ini. Hey Kapt, tunggulah
sebentar,” Seruku pada Kapten Togar yang sedang meregangkan tubuhnya, semacam
pemanasan sebelum menceburkan diri ke dalam danau.
“Aku tak peduli ucapanmu, Gung. Aku akan menyelamatkan para penumpangku,
dengan caraku, dan kau takkan mampu mencegahnya!”
(Bersambung)
0 Komentar