Kabar Burung Bukan Kabar Langit
Seiring derasnya arus perkembangan teknologi yang
disinyalir maraknya media sosial, memudahkan orang-orang berselancar ria di
dalamnya. Menyebar informasi, baik dibutuhkan atau tidak, sangatlah mudah.
Cukup nyalakan gadget, masuk ke salah satu akun media sosial, tumbahkan isi
pikiran, posting, maka orang lain akan melihat dan membaca tulisan itu.
Kadang juga mereka menyukainya dengan memberi ‘jempol’ atau tanda ‘cinta’ dan
tak jarang pula yang menanggapi melalui kolom komentar.
Semakin mudahnya orang lain mengakses informasi
menjadikan mereka mudah ter-triger (tergiring oleh sebuah opini)
terhadap informasi terebut. Yang disayangkan dari perkembangan teknologi yang
semakin sanggih dan mudah adalah sikap tergesa-gesa dalam menelan informasi
tersebut, lalu meyakininya dan kita sebar luaskan kepada teman, krabat atau
keluarga tanpa mencoba mengkalsifikasi (tabayyun) terlebih dahulu
perihal, benarkah informasi itu? Bersumber dari mana kabar itu? Subjektif atau
objektif berita itu? Jangan-jangan berita itu sekedar ingin memancing emosi
kita dan mempengaruhi sisi psikologi kita?
Allah Swt. Dalam firman-Nya di Surah Al-Hujurat
sebenarnya telah memerintahkan kita untuk mengkalsifikasi setiap informasi yang
kita peroleh;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (6)
“ Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu kabar.
Maka periksalah dengan teliti (kabar tersebut) agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbbuanmu itu.”
Dari firman ini sudah jelas agar kita bisa
lebih bijak lagi dalam menerima suatu kabar berita, baik yang sifatnya berupa
opini atau semacamnya. Penerimaan suatu kabar yang tanpa melalui
pengklasifikasian pernah terjadi saat zaman Nabi Muhammad saw. yang mana ketika
itu ‘korban’ dari pemberitaan kurang baik adalah Sayyidah Aisyah ra. Dan
peristiwa ini sangat masyhur terkenal dengan hadist al-Ifki (berita
hoaks). Ketika itu Sayyidah Aisyah ra. difitnah oleh kaum munafik atas tuduhan
perselingkuhan dengan sahabat Shafwan ibn Muathal – terkait cerita lebih
spesifiknya bisa dilihat dalam kitab yang mengulas sejarah hidup Nabi Muhammad
saw.
Sejatinya berita seperti demikian memiliki
motif dan kepentingan tersendiri. Biasanya ciri khas dari berita semacam ini
menindikasikan ada unsur hendak memecah belah umat. Yang mana kita ketahui,
setiap umat sangat rawan sekali dipecah belah. Oleh karenanya, dalam salah satu
redaksi hadis Nabi ada yang menyatakan bahwa, “Seseorang yang gemar mengadu
umat (agar terpecah belah) tidak akan diperkenankan mendiami surga.”
Namun, perlu diketahui lebih lanjut, bahwa
keburukan akan sirna selama kebaikan masih mengakar dan dipegang teguh oleh
setiap umat. Sebab, dari peristiwa hadis al-Ifki Allah Swt.
Menyelamatkan repurtasi nama baik Sayyidah Aisyah ra. selaku istri Nabi
Muhammad saw. dengan menurunkan ayat yang sama sekali tidak membenarkan berita
hoaks yang dibuat-buat oleh kaum munafik itu. Sebagaimana Allah Swt. berfirman;
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا
بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ
مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ (11)
“Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah (berasal) dari golongan kamu juga. Janganlah
kamu kira bahwa berita hoaks itu buruk bagi kamu, bahkan ia (berita hoaks)
adalah baik bagi kamu (dalam sisi lain). Tiap-tiap seseorang dari mereka
mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang
mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab
yang besar.” (QS. An-Nur: 11)
Dari ayat ini seakan ingin mempertegas bahwa sering
kali berita yang bernuansa pengaduan domba ini berasal dari kalangan dekat
kita, entah satu agama, golongan, atau hubungan dll. Dan ayat ini juga ingin
memberikan kita pemahaman lain terkait berita hoaks yang sering kita temui di
realita atau dunia maya. Bahwa adakalanya munculnya berita hoaks memiliki nilai
plus jika kita ingin mendalaminya lebih spesifik. Bisa jadi dengan munculnya
kabar yang bernada simpang siur, dan di sisi lain keingintahuan kita terhadap
berita itu sangat besar, akhirnya kita mendalaminya dan mendapatkan ilmu baru.
Contoh kecil, masalah politik. Biasanya menjelang
pesta demokrasi acap kali kita temui berita sumbang berseliweran di media.
Sedangkan kita sebagai seorang santri sangat minim pengetahuan terkait politik.
Tanpa diduga kita mencoba menyelaminya, mencari sumber-sumber terpercaya guna
membuktikan apakah kabar itu benar adanya atau sebatas tipu daya belaka. Yang
pada akhirnya mengantarkan kita kepada pemahaman baru yang sama sekali asing
bagi kita – karena selama di pesantren mungkin kita hanya mendalami ilmu agama
terkait ubudiyah dan muamalat dan lain sebagainya, yang tidak
menyentuh pembahasan politik. Dari sini ternyata memiliki sisi lain bagi
wujudnya kabar burung tersebut; kita memperoleh pengetahuan baru.
Dan selanjutnya tentu saja, bagi siapa pun sangat
tidak dianjurkan membuat dan menyebarluaskan berita yang bisa menimbulkan tuhmah
(salah presepsi) yang puncaknya adalah perpecahan di antara umat. Sebab,
apa pun yang kita lakukan, entah kebaikan atau keburukan, keduanya akan
memperoleh Balasan kelak di Hari Perhitungan. Wallahu a’lam.[1]
[1] Sumber, Tim Bahtsul
Masa-il Himasal, Fikih Kebangsaan 2 Menebar Kerahmatan Islam, Lirboyo.
H.100.
_______________________
Tri Wicaksono, asal Jakarta Timur. Saat ini sedang menempuh jenjang pendidikan S-1 di Ma'had Aly Lirboyo, Kediri, dan mengambil studi kajian Fiqh Kebangsaan. Ia juga merupakan penggiat literasi pesantren melalui majalah dinding. Dan saat ini sedang mengembangkan media literasi di instagram dengan nama @gemuruhsastra.
0 Komentar