Tak Ada Mainan Hari Ini
Hari ini apakah yang akan diberikan seorang lelaki renta
dengan gerobak tuanya kepadaku?
Saat akan mampir dan memunguti sampah dari rumah-rumah
tetangga sebelum orang-orang mabuk akan baunya.
Kemarin di dalam gerobaknya ada rembulan, dan ia berikan Kepadaku.
Untuk jadi main-mainanmu katanya.
Namun rembulan itu telah pecah kutendang.
Sebab kusangkak ia adalah bola.
Tiga hari yang lalu di dalam gerobaknya ada mobil-mobilan
yang ada wiu-wiunya, dan ia berikan kepadaku.
Untuk jadi main-mainanmu katanya.
Namun mobil yang ada wiu-wiunya itu terbakar.
Sebab kulempar ke kobaran api yang kunyalakan.
Karena kusangka ia adalah mobil pemadam kebakaran.
Seminggu yang lalu di gerobaknya ada robot-robotan,
dan ia berikan kepadaku.
Untuk jadi main-mainanmu
katanya.
Namun robot-robotan itu telah hilang.
Saat malam hari kutinggalkan ia di luar rumah sendirian.
Sebab kusangka ia adalah seorang pemberantas kejahatan.
Lalu kali ini setelah ia datang, di dalam gerobaknya
ada kumpulan huruf-huruf yang telah ia rangkai menjadi
kembang, dan aku minta itu untuk jadi main-mainanku.
Namun kembang itu tak ia berikan, sebab itu ia pungut dari baliho
dan akan ia taburkan di atas ranjang istrinya yang sedang sakit.
Dan aku pun bersedih, karena tak ada main-mainan hari ini.
(2024)
Seorang Pekerja Kantoran Berkata Kepada Temannya
Lihatlah di sana, seorang petani duduk di bawah
pohon yang rimbun. Ia rehat sejenak untuk
menghela nafas panjang sembari mendengar
lagu kenangan yang terputar dari radio tuanya.
Lalu ia bakar rokok kereteknya dan menyeruput
secangkir teh panas yang melepas letih dan dahaga.
Dan tak jarang, ia akan tertidur dan mendengkur
seirama dengan hutan. Bukankah ia begitu
paham arti letih dan penat, tetapi juga
mahir dalam menarik dan menghembuskan
Nafas. Sementara kita begitu sesak
berdesak-desakan di dalam kantor waktu
dengan ruangnya yang sempit
dan penuh
berbagai antrean yang macet dengan segala
urusan dan tuntunannya yang panjang. Hanya
untuk sekedar dapat menghela nafas panjang.
Lalu temannya menjawab, “siapa tahu,
ia malah ingin seperti kita.”
(2024)
Jarak
di antara pandang mata yang tak bertemu
roda-roda yang berputar tak henti
awan-awan kesepian di langit tak berujung
dan nyanyian rindu
adakah mendung akan menemui hujan
dan membasahi waktu yang telah berdebu
sehingga sinar akan muncul
ke tempat segelap apa pun
sebab yang aku inginkan
kita tak lagi mengenal pagi atau malam
siang ataupun sore
biarlah waktu tetap kekal
lalu kita saling bertukar kembang
dan abadi
(2024)
______________________
Boy Hagel Saputra Tarigan, lahir di Berastagi, Sumatera Utara, 11 Desember 2002. Saat ini sedang mengenyam kuliah di Universitas Sumatra Utara Fakultas Ilmu Budaya. Puisi-puisinya baru di kirim ke beberapa media dan baru di muat pula di beberapa media.
0 Komentar