MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (13)

 


MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (13)

 

 “Wah, Lihat itu, Gung. Siapa yang menyangka, coba?” Om Yulian terkagum-kagum saat kami sudah semakin mendekati lokasi benda yang mirip cermin biru tadi.

“Itu adalah ….” Bimbim pun terpesona.

“Sebuah danau biru,” ucap Kapten Togar takjub.

Hanya beberapa meter di hadapan kami, terbentang sebuah danau dengan ukuran hampir seluas lapangan sepakbola. Danau itu tampak sangat indah, karena airnya biru berkilau. Seolah ada yang menyalakan lampu neon di dalam permukaan airnya. Aku tak bisa memastikan apakah kilauan itu memang akibat pantulan cahaya bulan purnama, ataukah memang air danau itu sendiri yang memiliki kandungan cahaya berwarna biru, yang jelas, danau itu tidak terlihat seperti danau normal pada umumnya. Namun, harus kuakui, cahaya itu seperti mengandung unsur magis. Aku seperti merasakan kedamaian, sekaligus merasakan hawa tenang yang misterius.

Carla berbisik kepadaku, “Gung, ini kita … masih di Bumi, kan?”

“Tentu saja, Carla, kan kita masih bisa bernapas dengan normal. Bukankah oksigen yang kita hirup ini, sejauh yang kita tahu, hanya terdapat di bumi?” Jawabku, juga sambil berbisik.

“Bukan begitu, Gung. Maksudku ... apakah ini benar-benar di ‘dunia kita’, Gung? Bukan dunia gaib tempat habitat kerajaannya Ratu Bahari? Kan dia sendiri yang tadi bicara tentang ‘pintu-portal-dimensi’ atau apalah itu namanya?”

“Masuk akal juga pemikiranmu, Carla. Tapi seingatku, Ratu Bahari juga berkata bahwa lokasi tempat mustika itu disembunyikan berada dekat dan masih berada dalam batas negara yang sama. Kalau kata-katanya itu sesuai dengan perkiraanku, maka seharusnya lokasi ini masih berada dalam negara kita, Indonesia.”

“Hah, masak tempat seindah ini berada di negara kita, sih, Gung?”

“Kau akan terkejut dengan beragamnya keindahan yang ada di negara kita, Carla. Ada sebabnya kenapa Indonesia disebut tanah surga.”

Ki Nala Pagon, sang perwira berwajah rata, mendadak menghentikan langkahnya tepat sekitar dua meter di bibir danau. Ia meloncat ke atas batu besar yang cukup tinggi. Lalu ditancapkannya tongkat panjangnya. Tangannya menunjukku. Lalu melambai perlahan. Apakah ia memintaku mendekat?

“Heh, pemimpin! Dia memanggilmu, tuh!” Seru Bimbim dengan nada malas.

“Iya, aku tahu,” dengusku sambil bergegas mendekati Ki Nala Pagon.

“Ada apa, Ki Nala? Apakah kita sudah sampai di tempat mustika itu disembunyikan?” Tanyaku.

Ki Nala Pagon mengangguk.

“Bagus. Yuk, kita ambil saja mustika itu sekarang. Di mana tepatnya ia disembunyikan?” Tanyaku lagi.

Ki Nala menunjuk ke arah danau. Dia bergurau, kan?

“Maksudmu, mustika itu ... ada di dalam danau, kah?”

Ki Nala Pagon mengangguk lagi.

Perwira itu menunjukku, lalu menunjuk ke arah kami semua, sebelum akhirnya mengarahkan telunjuknya kembali ke arah danau. Maksudnya jelas, ia menginginkan aku, untuk menunjuk salah seorang dari rombongan kami, yang harus dipilih dengan tepat, untuk mengambil mustika di dalam danau. Duh, haruskah menyelam ke dalam danau? Aku bergidik ngeri.

Dengan berat hati kuumumkan kepada seluruh tim,

“Wahai, seluruh tim yang saya hormati, izinkan saya menyampaikan dua kabar. Kabar baiknya, kita sudah sampai di tempat mustika itu disembunyikan. Kita tinggal mencari dan menemukannya saja di titik yang sudah ditunjuk oleh Ki Nala Pagon.”

“Sudah jangan bertele-tele kau, bocah. Sekalian beritahukan kabar buruknya pada kami!” Seru Bimbim.

Aku menarik napas terlebih dulu sebelum melanjutkan,

“Kabar buruknya adalah, titik lokasi mustika tersebut berada … di dalam danau ini.”

Terdengar keluh kesah gelisah di sana sini.

“Ya sudah, sana langsung saja kau menyelam sendiri mengambilnya, Bocah!” Teriak Bimbim.

Jujur saja, aku takut sekali jika memang harus aku sendiri yang menyelam ke dalam danau biru ini. Airnya memang jernih. Bahkan dari kejauhan saja kita bisa melihat beberapa batang kayu pohon yang terendam di dalam danau tersebut. Juga beberapa tanaman yang hidup di kedalaman air danau. Namun, entah kenapa, hal itu justru semakin menghadirkan nuansa yang misterius pada danau itu. Belum lagi letaknya yang terpencil di tengah hutan seperti ini. Membuat banyak imajinasi buruk dan seram melintas di pikiranku. Bagaimana jika di dalam danau sana bersemayam penunggu dari kaum Ratu Bahari? Siap menyergap siapapun yang menyelam terlalu dalam. Bagaimana kalau penunggu danau tersebut berbentuk ular besar yang menghisap darah? Aku tak bisa membayangkan kehabisan napas saat menyelam di dalam air dan ditelan monster.

“Ayo, Pak pemimpin. Ceburkan dirimu ke danau kaca. Jangan lupa bercermin dahulu di permukaan airnya untuk memastikan ketampananmu tetap terjaga!!” Bimbim terus saja memancing emosiku. Bahkan kudengar Kapten Togar ikut tertawa.

Tapi kata-kata Bimbim tadi ternyata membangunkan sesuatu dalam ingatanku. ‘Danau kaca’? Sebentar, aku seperti pernah mendengarnya.

Aku menghadap Ki Nala Pagon lagi, “Ki Nala, apakah kau mengetahui nama lokasi tempat kita sedang berada saat ini?”

Ki Nala Pagon mengangguk.

“Apakah ini tempat yang dinamakan ‘Danau Kaco’?”

Ki Nala Pagon mengangguk.

“Jika ini benar tempat yang dinamakan ‘Danau Kaco’. Maka, artinya kita sekarang sedang berada di Taman Nasional Kerinci Seblat, di Gunung Kerinci?”

Ki Nala Pagon mengangguk.

“Baik, terima kasih, Ki.”

Ki Nala Pagon mengangguk lagi.

“Bravo, bocah. Aku salut dengan pengetahuan geografimu,” Bimbim bertepuk tangan sarkas. “Jadi, bisakah kau segera menyelam sekarang? Ayolah, kita semua ingin cepat pulang!”

Bimbim sebetulnya secara tidak langsung membantu dengan menggiring otakku menapaki selangkah demi selangkah urutan dalam berpikir. Betul, aku memang sudah mengetahui lokasi tempat kita berada. Sekarang tinggal memilih orang yang paling tepat dari anggota timku untuk menyelam ke danau. Tapi bagaimana cara memilihnya? Berdasarkan apa? Bahkan andai aku telah berhasil menemukan orang yang tepat, apakah orang tersebut MAU melakukannya?

Hmm ... Danau Kaco. Apa fakta-fakta tentang danau ini yang bisa kuhubungkan dengan faktor-faktor pemilihan orang yang tepat untuk menyelam di danau, ya? Pastinya orang itu haruslah memiliki kemampuan menyelam. Karena kalau tidak ….

“Jangan terlalu lama berpikir, Gung. Bimbim benar. Kita semua ingin cepat pulang. Biar aku saja yang menyelam,” Om Wira berseru. Ia langsung saja membuka sweaternya.

“Hati-hati, Ayah!” Jerit Carla.

Aku agak cemas juga, “Eh, Tunggu dulu, Om. Sebaiknya kita pikirkan dulu dengan matang. Karena Ratu Bahari bilang, jika bukan orang yang tepat, maka .…”

“Persetan kau, Gung. AKULAH orang yang tepat!! Aku juara renang jaman SMU dulu, dan sampai sekarang pun aku masih rutin berenang seminggu dua kali! Sudah, jangan terlalu lama kau berpikir, Pemimpin hijau!” Bentak Om Wira.

Aku terdiam seketika.

Diamku sebetulnya bukan karena menyetujui ucapan Om Wira. Tapi lebih ke kondisi mental yang jatuh. Sejak bertemu semua orang di kapal tadi pagi, kini lengkap sudah semua orang yang usianya lebih tua dariku, membentakku dengan emosi. Meskipun aku merasa tak melakukan kesalahan apapun kepada mereka. Oh, kecuali Om Yulian, tentu saja. Ia kan tak mungkin membentak kemenakannya sendiri. Mungkin arogansiku memaksakan diri menarik joran saat memancing tadi memang harus kubayar mahal. Sepertinya aku memang layak menerima semua perlakuan ini.

 

(Bersambung)

Posting Komentar

0 Komentar