Di Sudut Kapel Agustinus
Berkaca soal hidup mungkin dari sekian aku yang paling ambruk. Bagaimana tidak setelah menemui kata yang paling tepat kutemukan bait puisiku yang paling tragis. Seperti sedang menyuarakan dendam yang tak terbalas, Jubah Putih yang aku kenakan sedikit ternoda akibat kelalaianku sendiri, hampir-hampir Kitab Suci yang baru saja ingin ku baca jatuh ke lantai ruangan yang sedikit basah karena air.
Aku tersentak kaget tak mampu bicara hanya mampu meneteskan air mata ketika kawan akrabku memandang dengan mata yang tajam tetapi menyimpan rasa kasihan yang dalam untukku. Entahlah yang pasti luka itu masih sama saja tak ada yang berubah. Ingin sekali melirik keluar meninggalkan resah lalu ku buang luka yang hampir saja membuatku melayang dan tidak ingin pulang. Ini sudah tahun ketiga tapi luka ini belum sembuh-sembuh bahkan tidak ingin sejenak tidur dan tidak menghantuiku.
Entah mau jadi bagaimana yang pasti semua menjadi kehendak Tuhan.
Aku terus terhanyut tak sadar waktu hingga lupa jika tugas-tugas belum selesai. Ujian semester sudah di depan mata tapi aku masih terus berbicara dari sudut Kapela tentang luka kepergian Bapak yang paling kelam. Bapa pergi tanpa sakit tanpa pesan sedikit pun sedang Ibuku menjadi Janda yang akan menghidupi aku dan kedua adikku yang masih di bangku SMA.
Berjuang atau menyerah? Bertahan atau tidak? Yang pasti semua pilihan ini berat. Aku berusaha untuk tenang tapi tidak dengan mataku yang terus meneteskan air yang tak terhitung seberapa banyak ketika mulutku melafalkan doa agar Ibu tetap tegar. Tapi sanggupkah aku melihat Wanita itu berpura-pura tegar. Ku pikir tidak sebab bebannya terlalu berat melampaui segala batas samudera.
Ketika aku menginjakan Kaki di rumah tak lagi ku dapati wajah ceria perempuan berhati malaikat itu. Hanya ada cerita-cerita tentang Bapa dan kesetiaannya lalu setelahnya air mata jatuh seakan-akan meruntuhkan segala semangat dan menciptakan lelah yang berkepanjangan dalam hidupku. Ketika teman-teman ku mengirim pesan ada media tentang sambutan hangat aku hanya bisa melihatnya tanpa menuangkan sepatah kata pun sebab aku tak ingin cemburu. Hidupku tidak seperti mereka tapi aku mau berusaha menguburkan luka-luka agar kelak ku lihat wajah Ibu merona dengan gelak tawa berirama meski berkolaborasi dengan rindu tentang sosok lelakinya. Dan.....
Di sudut Kapela ku pandang Salib Suci. Aku utarakan segala gelisah sebab Tuhan lebih tahu tentang pergumulan yang aku alami.
0 Komentar