MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (12)
Di belakang sang perwira berwajah rata bernama Ki Nala Pagon itu, kami
berjalan saling berdekatan dan saling waspada. Karena tanah yang kami pijak
tidak semulus jalan raya. Terkadang ada dahan besar atau akar pohon melintang.
Tak ada seorang pun yang tidak tersandung. Aku berusaha mengawasi semua orang,
terutama Carla. Karena ia satu-satunya wanita dan ia harus pula menjaga tiga
anak kecil di dekatnya.
Aku belum pernah berjalan di dalam hutan di malam hari. Sebetulnya seru,
tapi saat perjalanan sudah memasuki jam kedua, mulai terdengar engah napas di
sana sini.
“Hey, Pak Pagon ... bisakah kita beristirahat dulu sebentar?!” Teriakku
pada sang perwira yang masih terus melangkah tegap sepuluh meter di depan
rombongan kami.
Ki Nala Pagon menghentikan langkahnya. Si Kepala pucat tanpa wajah itu
menoleh ke arah kami. Lalu dengan isyarat tangan kanannya ia mengacungkan tiga
jari. Kubalas dengan acungan empat jari. Ia mengangguk. Tak kusangka bahwa aku
akan bernegosiasi tentang durasi waktu istirahat dengan makhluk non-manusia.
Dengan isyarat tangan pula aku meminta semua orang duduk. Aku berputar
menghitung jumlah seluruh penumpang kabin. Semuanya masih utuh, dan semuanya
dalam kondisi terengah-engah. Kami sama sekali lupa untuk membawa bekal air
minum. Lagipula saat berangkat tadi, tak ada yang menyangka akan berjalan
sejauh ini.
“Om Wira tidak mau duduk dulu, Om?” Tanyaku pada Om Wira. Satu-satunya
orang dalam rombongan kami yang masih tegak berdiri.
“Terima kasih, Gung. Aku trauma dulu pernah disengat kalajengking di
hutan alas roban saat sedang duduk-duduk seperti ini,” Jawab Om Wira.
Tentu saja jawaban itu membuat bergidik bagi yang mendengarnya. Bimbim
dan Carla langsung berdiri lagi.
Ki Nala Pagon mengambil sikap sempurna dengan berdiri tegap setelah
menancapkan tongkat panjangnya ke permukaan tanah. Sinar di ujung tongkat itu
cukup menenangkan karena memberikan penerangan yang nyaman. Tidak terlalu
redup, tidak pula terlalu silau. Cukup terang bagiku untuk bisa mendeteksi aura
kecemasan di wajah Carla, Bimbim, dan Om Wira. Juga wajah santai Om Yulian dan
Kapten Togar. Ketiga anak misterius yang belum kuketahui namanya itu pun tampak
jelas ekspresi ketakutannya. Ssatu-satunya yang tidak bisa kulihat ekspresinya
hanyalah wajahku sendiri dan wajah Ki Nala Pagon tentunya.
“Hey, Bocah, kau mau suruh kami berjalan sampai kapan? Kakiku pegal.
Seharusnya tengah malam seperti ini kita semua beristirahat!” Seru Bimbim.
“Ya, maaf. Ini kan bukan mauku, Bim. Kalau kau ingin tahu lokasi tujuan
kita, tanyakanlah langsung pada Pak Muka Rata,” jawabku dengan nada tinggi.
Orang seperti Bimbim sepertinya memang diciptakan Tuhan untuk membuat kesal
orang lain.
Seketika itu juga Ki Nala Pagon mengarahkan telunjuknya padaku. Aku
tersentak.
“Aduh, maaf, Pak, saya tidak bermaksud mengatai muka Bapak yang rata.”
Ki Nala Pagon menunjuk-nunjuk pergelangan tangannya.seolah ingin
menunjukkan waktu yang tertera di arlojinya. Meski aku tahu ia tak memakai
arloji dan itu sebetulnya merupakan isyarat bahwa ia ingin kami segera
melanjutkan perjalanan karena durasi waktu istirahat yang tadi disepakati telah
usai.
“Baiklah, semuanya, mari kita lanjutkan perjalanan,” ajakku. Dalam hatiku
terbersit pertanyaan besar. Akan dibawa ke mana rombongan ini? Masih jauhkah
perjalanan menuju ke sana? Apakah di dalam hutan ini berkeliaran hewan-hewan
buas yang bisa membahayakan kami?
***
Sekitar satu jam berikutnya, saat langkah-langkah kami semakin berat
karena perjalanan yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, topografi
medan secara melegakan mulai terasa landai dan menurun. Sangat menguntungkan
bagi tenaga kami yang mulai terkuras.
“Nah, kalo begini kan enak, jalannya agak menurun nih,” seru Om Yulian
setengah bersorak.
Kebahagiaan Om Yulian rupanya menghilangkan kewaspadaannya karena tepat
setelah mengucapkan kalimat itu, kaki Om Yulian tersandung dan ia langsung
jatuh terguling-guling hingga beberapa meter ke depan. Aku bergegas
menolongnya.
“Om Yulian, tak apa-apa, ada yang luka, kah?” Tanyaku panik.
“Wooow, indah sekali!” Mata Om Yulian berbinar-binar. Gawat, habis jatuh
bergulingan malah menunjukkan ekspresi ketakjuban. Mungkinkah kepalanya terbentur
batu?
“Om, Om Yulian, ini angka berapa, Om? Aku mengacungkan dua jariku di
depan wajahnya.
“Apa sih kau ini, Gung?? Memangnya di jari tanganmu ada tulisan
angkanya?!” Seru Om Yulian gusar.
“Oh, iya betul juga. Maaf, maksudnya, ini jari Agung ada berapa, Om?”
“Iya, jarimu ada dua.”
“Trus, kok Om tadi bilang ‘indah sekali’? Maksudnya apa?”
“Itu lho, lihatlah sendiri. Di balik pohon yang besar itu.”
Aku melongokkan kepala mengikuti arah yang ditunjuk Om Yulian. Agak sulit
karena tertutup pepohonan yang lebat dengan dahan saling melintang, tapi akhirnya
terlihat apa yang dimaksud Om Yulian. Ada setitik cahaya biru terang di
kejauhan. Cahaya apakah gerangan?
Om Wira tergopoh menyusul ke tempat Om Yulian terguling, “Hai, Kakek tua!
Kau tak apa-apa? Macam pemain sirkus saja di tempat kayak gini malah berakrobat
seperti tadi.”
“Aku bukan pemain sirkus, tapi dulu memang pernah bermain reog di
kampung. Nah, cobalah kau lihat, Wira, apa itu yang menyala biru di kejauhan
sana?”
“Hmm, apa itu, ya? Eh, mungkin Ki Nala Pagon mengetahuinya. Lagipula
langkahnya memang menuju ke sana. Yuk, kita bisa tertinggal jauh kalau tidak segera
menyusulnya.”
Kami melanjutkan langkah kami menyusul Ki Nala Pagon yang masih berjalan dengan
tegap membawa tongkatnya yang mirip tombak dengan ujung yang berpendar terang. Dengan
ketenangan dan kecepatan berjalannya yang stabil, memang terlihat jelas bahwa
ia bukan manusia normal seperti kami yang sudah kehabisan tenaga.
Suara hewan malam bersahutan di sekitar kami. Dalam waktu beberapa menit
kemudian, semakin dekat dan jelaslah apa yang tadi terlihat sebagai titik
berwarna biru seterang berlian. Benda itu adalah semacam cermin bercahaya berukuran
raksasa yang menghadap langit. Cahaya yang dipantulkannya kemungkinan besar
berasal dari cahaya bulan purnama yang bersinar terang di langit. Aku juga baru
memperhatikan langit. Karena sedari tadi fokus perhatianku hanya pada kondisi
timku. Tapi, siapa yang meletakkan cermin di tengah hutan, dan untuk apa?
“Wah, Lihat itu, Gung. Siapa yang menyangka, coba?” Om Yulian
terkagum-kagum saat kami sudah semakin mendekati lokasi benda yang mirip cermin
biru tadi.
“Itu adalah ….” Bahkan Bimbim tak bisa menyembunyikan ketakjubannya.
(Bersambung)
2 Komentar