MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (11)
Kucoba melangkah keluar. Hatiku berdegup kencang. Jujur
aku merasa sangat takut sekarang. Melebihi ketakutanku saat menyaksikan
metamorfosis mengerikan tubuh Ratu Bahari satu jam yang lalu.
Di ambang pintu kabin, aku tercekat. Pemandangan di luar
sudah berbeda dengan yang terakhir kuingat. Jika tadi kami dikelilingi warna
kelabu sebagai pengganti hilangnya langit dan laut, kini yang ada hanya warna
hitam kelam. Warna kegelapan.
Aku melangkah keluar dari kabin perlahan. Mataku
menangkap ada sesosok mirip manusia, berdiri tegap di sudut buritan kapal.
Tinggi tubuhnya mungkin sekitar 180 cm. Kepalanya plontos mirip Bimbim. Itukah
“perwira” yang disebutkan Ratu Bahari tadi? Ia memegang sebilah tongkat tinggi,
melebihi tinggi tubuhnya sendiri. Ujung teratas tongkat itu berpendar terang.
Kukira tadinya ada kobaran api seperti obor, tapi ternyata bukan, cahaya
berpendar itu berasal dari semacam permata di ujung tongkat tersebut. Ah, Ratu
Bahari sudah menyebutkan nama perwira itu di dalam kapal tadi, tapi aku lupa.
Saat aku mendekatinya. Kembali aku diselimuti ketakutan.
Ternyata perwira itu bukan hanya tak memiliki rambut. Tapi wajahnya juga tak
memiliki … apapun! Wajahnya putih polos tanpa telinga, hidung, mulut maupun
kedua mata seperti layaknya wajah manusia normal.
“Kapt, bagaimana ini?” Tanyaku kepada Kapten Togar. Aku
membutuhkan dukungan.
“Kenapa kau tanya aku?” Sahut Kapten Togar datar.
Om Yulian bergerak maju mendekati perwira itu. Sejak terbangun
dari tidurnya tadi, Om Yulian tidak pernah terlihat takut menatap sosok Ratu
Bahari. Sebagai saudara kembar, sifatnya memang mirip ayahku. Tak heran jika
sekarang Om Yulian terlihat cukup pede mendekati sosok yang menyeramkan
berikutnya.
“Permisi, Pak. Apakah Bapak yang bernama Ki Nala Pagon?”
Tanya Om Yulian.
Perwira tanpa wajah itu mengangguk. Sekarang aku ingat
namanya. Om Yulian menyebutkannya barusan.
“Ke arah mana kita harus mencari mustikanya, Pak?” Tanya
Om Yulian lagi.
Dengan isyarat tangan, perwira itu menunjuk ke satu arah
di dalam kegelapan.
“Yuk, Gung, pimpin kita semua menuju arah yang
ditunjukkan Pak Tourist Guide ini!”
Om Yulian telah sangat membantu. Aku melangkah bersiap
melompati tepian kabin, tapi agak sangsi. Apa yang terjadi saat kakiku
melangkah keluar dari kapal. Akankah aku terjatuh ke dalam ketiadaan yang serba
gelap ini?
Terdengar suara derik jangkrik dan suara uhu burung
hantu. Aku segera mendapati bahwa kegelapan yang menyelimuti kapal ini adalah
sebuah lingkungan darat. Bukan di laut. Jelas, bukan dalam dimensi ketiadaan.
Sepertinya ini di dalam hutan.
Kunyalakan cahaya senter di telepon genggamku. Kini aku
bisa melihat pemandangan semak belukar beberapa meter di depan. Dan juga
rimbunnya pepohonan besar di belakangnya.
Kuberanikan diri meloncat turun keluar dari kabin. Aku mendarat
di tanah dengan suara berdebam.
“Yuk, kita turun dari kapal!” Ajakku yang segera saja
diikuti oleh para penumpang lainnya.
Semua orang menurut. Dalam sekian detik kami semua sudah
melompat turun dan sudah sepenuhnya berada di luar kapal. Kecuali sang perwira
yang masih berdiri di buritan kapal.
“Ki Nala, apakah kau tidak ikut turun?!” Tanyaku pada
perwira nirwajah tadi.
Mendadak tangannya melayang menamparku. Aku jatuh
terduduk. Telapak tangannya terasa sangat dingin di pipiku.
“Eh, kenapa, Pak? Saya salah apa?” Tanyaku dengan
memegangi pipi yang perih.
Perwira itu menunjuk-nunjuk ke arah kabin. Apakah ia
menyuruhku untuk masuk lagi?
“Kenapa sih, Pak?” Tanyaku lagi.
Perwira itu masih saja menunjuk-nunjuk ke arah kabin.
“Pak, ngomong aja deh. Ada apa? Saya mana tahu maksud
Bapak kalo cuma bahasa isyarat begitu?!! Aku berteriak frustasi.
“Gung, sepertinya kau melupakan satu peraturan penting
dari Ratu,” Kata Om Wira.
“Apa, Om? Aku kurang paham, nih ….” Tanyaku.
“Tadi Ratu Bahari kan bilang. Seluruh penumpang kapal
harus ikut keluar menuju lokasi.” Om Wira mengingatkan.
“Lah, ini kan kita sudah keluar semua, Om.”
“Masih ada yang ketinggalan, Gung.”
“Eh, Siapa yang ketinggalan, Om?” Tanyaku lagi.
“Ketiga anak-anak penyusup itu, yang ditemukan dan
ditahan di ruang mesin oleh Bimbim,” Om Wira mengingatkan.
“Oh, benar juga. Bim, tolong ajak ketiga anak tadi untuk
ikut keluar,” pintaku pada Bimbim.
Tapi Bimbim bergeming. Matanya menatapku tajam. Orang
ini benar-benar mengesalkan.
“Jadi kau sekarang merasa boleh memberiku perintah untuk
menangani penyusup di kapalku sendiri, ya?!” Tantang Bimbim. “Kapt, apa kau
akan membiarkan bocah ini mengambil alih kapal kita juga?”
Kapten Togar tak menjawab sepatah kata pun selain ikut
menatapku. Sikap yang menunjukkan bahwa ia mungkin saja sepakat dengan Bimbim.
Menurutku memang wajar kalau Kapten Togar dan anak buahnya itu tidak ikhlas
menerima perintah dariku, tapi situasi ini kan juga di luar kehendakku.
Om Wira mendekati perwira berkostum serba hitam tadi.
“Pak, Anda menunjuk ke dalam kapal itu, apakah maksudnya
kita harus membawa juga anak-anak yang berada di ruang mesin?”
Perwira itu mengangguk.
“Baiklah, Kapten Togar. Kau lihat sendiri jawaban dari
anak buah Ratu Bahari. Bisakah kita bawa keluar ketiga anak itu?” Pinta Om
Wira.
“Agung memang pemimpin kita sekarang. Tapi aku tetap lah
kapten sejati di atas kapal yang bertanggungjawab atas segala permasalahan di kapalku.
Kalau aku menolak, kau mau apa?” Tantang Kapten Togar dengan tajam ke arah si
perwira.
Lalu perwira tanpa wajah itu mengarahkan telunjuknya
kepada Kapten Togar, Lalu ke arah Om Wira, kepadaku dan secara bergiliran ke
arah semua orang. Setelah itu ia mengarahkan telunjuknya ke lehernya sendiri,
membentuk isyarat seperti memotong leher. Baiklah, aku tak butuh kitab
translasi bahasa isyarat untuk gestur yang diperagakannya barusan. Yang lain
pun cukup memahami.
“Dia sudah memberi jawaban jelas, Kapt. Ayolah, toh tak
masalah juga mengajak anak-anak itu keluar. Kau jadi bisa mengawasi mereka
secara langsung, bukan?” Kata Om Wira lagi.
Kapten Togar mengangguk ke arah Bimbim, yang segera
beranjak malas kembali ke atas kapal. Bimbim dengan sengaja menyenggolku dengan
bahunya saat melintas. Aku kesal sekali padanya tapi tak mampu berkata apapun.
Sementara Om Yulian terlihat berkasak-kusuk seru dengan
Carla. Rupanya ia mempertanyakan identitas anak-anak penyusup itu. Carla
terlihat sangat sabar menjelaskan dengan rinci peristiwa yang terjadi
sebelumnya saat Om Yulian masih tertidur di kabin.
Tak lama Bimbim muncul kembali. Ia menggiring ketiga
anak yang masih saja memancarkan aura ketakutan dari wajah mereka.
Aku baru menyadari satu di antara mereka adalah anak
perempuan. Tubuhnya paling kecil di antara ketiganya.
“Sini, biar mereka berjalan bersamaku,” ajak Carla.
“Tidak perlu, biar mereka bersamaku saja. Aku tak mau
penyusup-penyusup ini melarikan diri karena tak terjaga dengan ketat,” tukas
Bimbim.
“Kau tak percaya padaku, ya?” Tantang Carla.
“Biarlah anak-anak itu bersama Carla. Kalau ada yang
kabur, biar aku yang bertanggung jawab. Kau boleh siksa aku sepuasmu,” aku ikut
menantang Bimbim.
“Nah, tawaranmu sangat menarik. Sebaiknya kusuruh mereka
kabur sekarang saja, kalau begitu.” Bimbim menyeringai senang.
“Hei, sudahlah, kalian berdua. Mari kita fokus
menyelesaikan misi kita ini. Aku cuma ingin segera pulang dengan selamat,” Om
Wira melerai.
“Oh, tentunya bukan hanya orang kaya saja yang ingin
pulang dengan selamat, Tuan Prawira Koesmodjo,” ucap Kapten Togar sarkas.
“Tuan-tuan sekalian. Tak bisakah kita semua
menyingkirkan ego masing-masing dan fokus saling bekerjasama agar bisa segera
keluar dari masalah ini?” Kali ini giliran Om Yulian yang bersuara.
“Ini kan bukan peristiwa biasa yang terjadi setiap hari
dalam hidup kita. Wajar kalau kita jadi panik dan mudah emosi. Tapi coba
bayangkan andai kita berada dalam kondisi ini sendirian. Mengalami keanehan ini
semua seorang diri tanpa teman. Bukankah kita sekarang sebaiknya bersyukur dan
mencoba saling bantu?” Om Yulian mengatakan hal yang menurutku sangat mengena.
“Bim, ikuti instruksi ‘sang pemimpin’ kita,” Pungkas
Kapten Togar yang dituruti Bimbim dengan menyerahkan ketiga anak tadi kepada
Carla.
Aku mencari-cari perwira tadi. Ternyata ia sudah berdiri
jauh di depan kami dengan tongkatnya yang teracung tinggi. Ujung tongkat
berpendar sangat terang bagaikan lampu neon 30 watt. Sinarnya menerangi area dalam radius sekitar
sepuluh meter. Namun di luar area itu tetap saja kegelapan terasa pekat
menyelimuti sekeliling kami. Aku berlari kecil menyusul perwira itu.
Ranting-ranting dan daun kering berderak berisik terinjak-injak. Kusempatkan
menoleh ke belakang ke arah kapal yang kami tinggalkan. Kapal speedboat cantik
itu terlihat amat janggal teronggok di sana. Di tengah kepungan lebatnya
pepohonan tinggi. Hanya nyala lemah lampu buritannya yang membuat ia terlihat
dari jarak tempatku berdiri saat ini.
Perwira bernama Ki Nala Pagon itu mulai bergerak. Ia melangkah mantap, masuk semakin dalam menembus lebatnya pepohonan. Kami semua mengekor di belakangnya, berusaha tetap berada dalam radius penerangan tongkatnya, karena kegelapan di hutan ini teraasa sangat mencekam. Kami juga saling menyamakan kecepatan agar tidak jauh tertinggal.
(Bersambung)
0 Komentar