Teropong Reruntuhan
Kalimat-kalimat asing itu mencuri
benih perhatian yang menyeruak
dari sepasang mata yang tersulut
mencari kebenaran dalam polusi kata.
Sepanjang waktu jemari menggelar
marathon panjang di hamparan layar ponsel
menelaah sejarah asa yang terkubur
sketsa tragedi muslihat burung besi.
Serupa kitab kuning, aku tak hendak curiga
dalam mengkaji derita yang terhampar
dalam diari kuli tinta layar telegram.
Menggenggam kamera mengupas fakta
Sebab sudah tujuh puluh lima tahun,
ladang semangka terjarah, pecah berhambur,
terbakar api-api angkara dan syahwat
dari bintang enam yang membahana di angkasa.
Kepada instagram, aku mencari fatwa
tentang akhir dari sengketa panjang ini
kala semua cetakan kertas dan sinyal
sibuk meramu dusta, meracuni akal sehat.
Meski keadilan tak bisa dicari senantiasa
dalam standar manusia-manusia bias
yang tersembunyi dalam mufakat jahat
perburuan lahan, jiwa, dan harta karun.
Jakarta Selatan, 6 November 2023
Dialog Secawan Picollo
Dalam secawan picollo hangat
Aku menitip penat mengendap
Menyemai ladang puisi dan kisah
Dari kepala yang terus berputar
Bersama arah rotasi bumi
Yang menggulirkan zaman
Rasa pahit, diteguk perlahan
Mata tertutup, melepaskan kekakuan
Otot yang ditempa laksana pedang
Oleh rimba beton dan aspal
Bertubi menghimpit laju napas
dan perguliran akal sehat.
Kantuk segera berlari kencang
Tanpa mengucap salam perpisahan
Dinginnya kenyataan dunia, mengetuk benak
Menyeru tanpa suara, menebar angin
“Lelaki tak boleh cengeng dan merajuk,
jalankan saja tugas seperti ternak dipecut!”
Bayangan putih muram bertamu
Di hadapan mata yang masih menjahit
Benang-benang ilham dan intuisi
Menggali hikmah dan sisi terang
Dari rahasia terlarang dan dusta
Yang hendak dikabarkannya lantang
“Sampai kapan, mulutmu terkunci?
Bunyikan peluitmu, jangan biarkan
manusia berkusi dan berdasi jumawa
bermain hakim terhadap nasibmu,
dan takdir jutaan anak yang menjemput
hampa dalam gejolak lambungnya!”
Tukas sang bayangan putih,
membuat bulu kudukku berdiri,
tetapi tak henti membuatku mengutuk diri,
“Mengapa hingga saat ini tetap diam,
sementara manusia belia tak lelah berharap
dan menanti kepastian uluran tangan?”
Cawan kuletakkan, aku beranjak
Berdiri tegap, pamit dari warung kopi.
Berazzam hati dan ototku, bahwa semua
Anggaran raksasa tercetak dan terketok palu
Takkan berakhir sekedar jadi puisi dan cerpen
Apalagi hanya jadi semangkuk sawi dan tahu.
Jakarta Selatan, 23 November 2023
Bau Tangan
Semisal di ujung-ujung jariku
Terselip bawang-bawang menyengat
Hingga menarik paksa air mata
Kuseka pula kucuran keringatmu
Bersama, kita hadapi teriknya mentari
Bilamana di pangkal telapak tanganku
Terhirup aroma tanah dan humus
Akan kubangun benteng perkasa
Supaya damai menyertai selalu
Dari hingar bingar dusta dunia
Manakala sepasang sikut bertaut
Dengan dedaunan layu meranggas
Biar kupintal atap hijau dan rimbun
Semoga udara resik mengerubungimu
Membawa segenap ilham ketenangan
Kala waktu tak bisa mengelak,
Akan datangnya tengik lumpur
Pada kedua pundak yang merapuh
Kuhamparkan segera, agar ladangmu gembur
Menumbuhkan semesta hayati dari tubuhnya
Manakala batas usiaku mengetuk,
Mengundang kabut lambaian tangan
Akan kujahit awan yang mengepungmu
Dalam pusarannya, rahasiamu terjaga
Kelak aku yang menguncinya rapat di dunia ini
Semuanya hanya tanda dan bekal
Untuk suatu waktu petang menanti
Kala renta dan uban jadi teman
Serta bergilirnya rentang siklus
Membawamu berkelana menuju malam
Kita tahu, sepi takkan jadi bahaya
Sebab tangan bertabur aroma ini
Merajut rantaii ingatan kokoh
Mempertautkan ikatan hati nurani
Melewati terjalnya lapisan sang waktu
(Jakarta Selatan, 11 November 2022)
__________________________
0 Komentar