Rindu Ibunda
Bunda, saat ombak pesisir marah pada senja
Tak mampu kubertahan, jasad lemahmu terbujur kaku
Ada senyum di bibir tak berdarah, malaikat menunjukkan tempat terindah
Bulir-bulir air mata di telagaku membasahi bumi
Dalam dekap kupeluk Bunda pada raga tak bernyawa, di akhir jumpa kita
Kafan putih bersih, kupakaikan jadi selayarmu Bunda
Kumandikan, kusalatkan jejak terakhirmu menapak bumi
Peluk cium tak berbalas, sedingin Kutub Utara
Kutitipkan Bunda, pada Pemilik Semesta
Langit runtuh menimpaku, samudra menggulungku
Aku rubuh, tak ada lagi langit kujunjung, bumi kuinjak
Kamboja dan selasih menangis, melihatku ringkih tertatih di perkampungan tua
Memeluk nisan berukir kasih di pusara bunda
Ya, Rahman, Ya, Rahim
Kutitipkan bundaku pada-Mu, peluklah ia dalam dekap kasih-Mu
Jadikan kubur bundaku, miniatur taman surga-Mu
Agar senyumnya membahana di jagat raya
Kelopak-kelopak mawar di taman istana menjadi tanda
Riak gelombang pantai
Pesisir Selat Malaka
Membelaiku, bercengkerama dengan elang laut
Menyematkan lencana kerinduan, kasih bunda tak terganti
Memahat rindu di setiap bait syair dalam rimbunan puisi
Tanjungbalai, 23 November 2023
Sajak Rindu
Sekeping hati, menapak pegunungan Alpen
Memetik edelweis, keabadian cinta
Beribu luka, kalibut berlalu, menguatkan cinta seia sekata
Laila majenun, pelipur duka lara cinta
Kita terpisah jarak dan waktu
Ribuan kilometer melintasi selat dan samudra
Di lubuk sanubari terpatri, namamu bertahta
Kau berikan sekuntum mawar merah, pangeran berkuda
Cintamu begitu indah,
Mencariku dari mimpi bermadah
Mengubah haru jadi rindu
Mengubah pilu jadi surga
Mengubah cerita jadi fakta
Berselancar di cakrawala, selayar kuning anugerah paduka
Lewat angin malam kutitipkan salam
Untukmu kasih, memangku kejora
Rangkaian aksara kususun menjadi diksi lautan klausa
Dalam setiap ritme dan bait cinta penuh asa
Kerinduan tiada tara, masih tertunda tujuh purnama
Tanjungbalai, 23 November
Samudra sedang Marah
Dirgantara semakin ganas, ia tak lagi bersahabat dengan pantai
Pun tak peduli lambaian nyiur
Nelayan pantai, menjerit menantang surya
Binatang laut meraung menjauhi pemancing dan pengail
Gelombang memecah pantai, badai pun riuh
Kilat dan petir berdendang, menyanyikan lagu kemesraan
Samudra memanggil mereka yang pongah menghadapnya
Kenapa hanya diam, saat daratan dengan angkuhnya menghalau
Bumi mengguncang pasaknya
Siklon, tornado riang menyapu buana
Di mana rahang-rahang kokoh, haus kekuasaan itu?
Apakah mereka berpikir bersemayam di nirwana?
Bayi menangis di malam durja, serigala melolong di belantara
Sebuah penjelasan
Negeri ini tidak baik-baik saja
Jika semesta telah bicara, mengikuti takdir Sang Penguasa
Dendang, rentak tari terarah memukul pecah gendang, memutus dawai gitar
Suara merdu berubah isak tangis
Air laut bertandang ke kota, merampas kasih, harta dan nyawa
Saat kebenaran dan keadilan dikebiri
Alam akan membabi buta dengan caranya sendiri
Tanjungbalai, 23 November 2023
_______________________________
Ida Almira, merupakan nama pena dari Siti Wahidah, S.Ag. Ia alumni Fakultas Dakwah UIN SU, jurusan Komunikasi. Lahir pada 04 April di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Ia Instruktur di kekaderan HIMMAH (Himpunan Mahasiswa Al-washliyah) Sumatera Utara.
Kelas literasi yang pernah diikutinya yakni: Sinar Pena Amala, KSB, Lintas Sastra, BB Rulit, KMO Aleniaku, KMO Indonesia Bacth 26, 43, 51 dan 60. Kelas Premium yang pernah diikutinya yakni AIS, KMOI yaitu Kelas Novel Asma Nadia, Kelas Skenario Tisa TS, Kelas Puisi Dr Helvy Tiana Rosa, Kelas Lay out, Kelas Artikel dan Kelas Editing. Kelas Pena Editor, Kelas Pena Lay Out.
Aktif di Omah Karya Indonesia sebagai Koordinator Puisi OKI, 2020. Ia juga penulis terbaik 1 lomba cerpen Perpustakaan Umum Daerah Kota Tanjungbalai, 2019. Dan ia aktif sebagai tenaga edukatif.
Jejak literasinya dapat dilihat pada 13 antologi cerpen, puisi, memoar dan artikel serta senandika. Sekarang ia ikut di 35 besar, Anugerah Competer Indonesia (ACI, 2024), yang pemenangnya akan umumkan pada 1 Januari 2024. Ia pun ada di sosial media FB dan IG @Ida Almira.
0 Komentar