Melindungi Alam dan Hak-Hak Masyarakat: Tantangan dan Panduan Moral dalam Konflik Agraria dan Pembangunan Infrastruktur di Flores dan Lembata

 


Melindungi Alam dan Hak-Hak Masyarakat: Tantangan dan Panduan Moral dalam Konflik Agraria dan Pembangunan Infrastruktur di Flores dan Lembata

 

Dalam perjalanan hidup manusia, kita seringkali dihadapkan pada tantangan kompleks yang melibatkan pembangunan ekonomi, konflik agraria, dan isu-isu lingkungan. Permasalahan seperti yang terjadi di Flores dan Lembata, yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur dan konflik agraria, mencerminkan dilema yang seringkali dihadapi dalam upaya untuk memajukan masyarakat sambil menjaga kelestarian alam.

Di wilayah Flores dan Lembata akhir-akhir ini mengalami peningkatan signifikan dalam pembangunan infrastruktur, termasuk proyek-proyek strategis nasional (PSN) yang dijalankan oleh pemerintah. Contoh konkret pembangunan infrastruktur meliputi pembangunan Waduk Lambo dan proyek wisata super premium di Labuan Bajo[1]. Meskipun pembangunan ini mungkin memiliki potensi untuk pertumbuhan ekonomi dan pariwisata, seringkali dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat setempat tidak dikelola dengan baik.

Salah satu isu kunci di wilayah ini adalah konflik agraria, yang berkaitan dengan klaim tanah dan hak guna usaha (HGU) perusahaan perkebunan besar yang masuk ke wilayah hidup masyarakat setempat. Status tumpang tindih antara klaim tanah oleh perusahaan dan hak-hak masyarakat dapat mengakibatkan ketegangan, konflik, dan ketidakpastian hukum. Hal ini juga berkaitan dengan masalah keadilan sosial, di mana masyarakat seringkali harus menghadapi tantangan dalam mempertahankan hak mereka terhadap tanah dan sumber daya alam.

Masyarakat di wilayah ini seringkali menghadapi kesulitan dalam mendapatkan informasi tentang rencana pembangunan, dan proses pengambilan keputusan seringkali tertutup dan tidak transparan. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian tentang nasib mereka yang akan tergusur oleh proyek-proyek tersebut. Partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan juga sering kali terbatas.

Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Cipta Kerja yang diberlakukan tahun 2020[2] telah mempermudah proses pengadaan tanah untuk proyek-proyek pembangunan, termasuk proyek strategis nasional. Terciptanya undang-undang ini telah memunculkan kekhawatiran bahwa perubahan dalam hukum tersebut dapat menimbulkan lebih banyak konflik agraria.

Isu-isu ini menciptakan ketegangan antara upaya memajukan ekonomi dan pembangunan infrastruktur dengan perlindungan lingkungan dan keadilan sosial. Masyarakat setempat sering kali menjadi pihak yang paling terdampak oleh perubahan lingkungan dan ketidakpastian dalam kepemilikan tanah mereka. Oleh karena itu, upaya untuk menyelesaikan isu-isu ini harus mencakup perhatian terhadap keberlanjutan lingkungan dan perlindungan hak-hak masyarakat, sesuai dengan ajaran-ajaran agama dan pandangan-pandangan yang mendukung nilai-nilai ini, seperti yang terkandung dalam Ensiklik "Laudato Si'" dan ajaran Kitab Suci.

Di tengah kompleksitas permasalahan ini, kita dipanggil untuk merenungkan ajaran-ajaran suci yang menyatakan pentingnya menjaga lingkungan alam dan keadilan sosial. Salah satu ayat Kitab Suci yang relevan adalah Kitab Kejadian 2:15 yang berbunyi, "Lalu Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam Taman Eden untuk mengusahakannya dan memelihara itu." Ayat ini menggarisbawahi tanggung jawab manusia untuk merawat dan memelihara alam, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk generasi-generasi yang akan datang.[3]

Selain itu, seruan Paus Santo Fransiskus dalam Ensiklik "Laudato Si'" memberikan pandangan yang mendalam tentang pentingnya menjaga bumi kita, "rumah bersama" yang kita bagikan dengan seluruh makhluk[4]. Dalam ensiklik tersebut, Paus Fransiskus mengajak kita untuk memikirkan dampak ekologi dari tindakan kita dan memahami bahwa isu-isu lingkungan, ekonomi, dan keadilan sosial saling terkait. Dengan demikian, kita harus mengkaji dengan seksama bagaimana pembangunan infrastruktur dan konflik agraria dapat memengaruhi ekosistem dan masyarakat setempat.

Dalam konteks yang dihadapi oleh masyarakat di Flores dan Lembata, penting bagi kita untuk merenungkan ajaran agama dan pandangan yang mengingatkan kita akan bertanggung jawab kita terhadap alam dan sesama manusia.

 

2. Pandangan Penulis Terhadap Isu.

Permasalahan yang lebih lanjut berkaitan dengan isu konflik agraria, pembangunan infrastruktur, dan penggunaan tanah di wilayah Flores dan Lembata mencakup beberapa aspek yang perlu mendalam pemahaman dan penyelesaian yang cermat:

Konflik Agraria dan Hak-Hak Masyarakat: Konflik agraria yang timbul akibat tumpang tindih antara hak guna usaha (HGU) perusahaan perkebunan besar dengan hak-hak masyarakat setempat adalah masalah yang memerlukan perhatian serius. Masyarakat setempat sering kali kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka, dan hak-hak mereka seringkali tidak terlindungi secara memadai. Seruan Paus Santo Fransiskus dalam Laudato Si' menggarisbawahi pentingnya menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat, terutama mereka yang paling rentan.

Pembangunan Infrastruktur dan Dampak Lingkungan: Pembangunan infrastruktur, terutama di wilayah dengan keanekaragaman alam dan ekosistem yang penting, dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan. Dalam hal ini, Ensiklik "Laudato Si'" mengingatkan kita akan tanggung jawab kita untuk merawat bumi dan ekosistemnya[5]. Perlindungan ekosistem dan keberlanjutan lingkungan adalah nilai-nilai yang ditekankan dalam ensiklik Laudato Si.

Keadilan Sosial: Konflik agraria sering kali mencerminkan ketidaksetaraan dalam distribusi sumber daya. Paus Santo Fransiskus sering menekankan pentingnya keadilan sosial dalam pandangannya. Seruan untuk memastikan bahwa kebijakan pembangunan dan penggunaan sumber daya memberikan manfaat yang adil bagi semua, terutama masyarakat miskin dan terpinggirkan, adalah pesan yang relevan dalam konteks ini.

Transparansi dan Partisipasi Masyarakat: Paus Santo Fransiskus juga menggarisbawahi perlunya transparansi dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi lingkungan dan masyarakat. Masyarakat harus memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses tersebut dan untuk mengetahui rencana pembangunan secara jelas. Hal ini mencerminkan seruan untuk mendukung partisipasi masyarakat dan transparansi dalam proses kebijakan dan pembangunan.

3. Seruan Kitab Suci dan Paus Fransiskus dalam Laudato Si

Seruan-seruan Kitab Suci dan Paus Santo Fransiskus dapat memberikan panduan dan inspirasi dalam menangani tantangan kompleks ini dengan cara berikut:

Pemahaman akan Keterkaitan: Seruan-seruan tersebut menekankan keterkaitan erat antara ekologi, ekonomi, dan keadilan sosial. Dalam artikel 139 dikatakan Tidak ada dua krisis yang terpisah, yang satu menyangkut lingkungan dan yang lain sosial, tapi satu krisis sosial lingkungan yang kompleks[6] Mereka mengingatkan kita untuk memahami bahwa isu-isu ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan bahwa upaya kita untuk memecahkan masalah ini harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan masyarakat.

Tanggung Jawab Bersama[7]: Ajaran Kitab Suci dan ensiklik Paus Santo Fransiskus memandang bumi sebagai "rumah bersama" yang kita bagikan dengan seluruh makhluk. Ini berarti kita memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga dan memelihara lingkungan alam serta keadilan sosial. “Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku” (Imamat 25:23).

Penghormatan Terhadap Hak-Hak Masyarakat[8]: Seruan-seruan tersebut menggarisbawahi perlunya menghormati hak-hak masyarakat, terutama yang paling rentan, seperti yang terdampak oleh konflik agraria. Pengakuan akan martabat manusia dan hak-hak mereka adalah prinsip yang ditekankan dalam pandangan ini. “Kebebasan di seluruh negeri bagi segenap penduduknya” (Imamat 25: 10).

Partisipasi dan Transparansi: Paus Santo Fransiskus mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi mereka. Seperti yang di sampaikan dalam aertikel 184, ‘keputusan-keputusan mesti didasarkan pada suatu perbandingan antara risiko dan manfaat yang dapat diperkirakan untuk setiap alternatif yang bisa dipilih[9] Hal ini mencakup pemastian bahwa proses kebijakan dan pembangunan adalah transparan dan masyarakat memiliki akses yang cukup terhadap informasi.

Dengan merujuk pada ajaran-ajaran Kitab Suci dan seruan Paus Santo Fransiskus, ajaran-ajaran ini dapat memberikan panduan moral sosial yang penting dalam menjalankan kebijakan dan tindakan yang berdampak pada masyarakat dan lingkungan.

 

 



[3] Feby Sri Yelvita, ‘Sumbangan Teologi Penciptaan Kristiani Dalam Ensiklik Laudato-Si Artikel 67-75 Bagi Ekologi’, Jurnal Teologi Berita Hidup, 5.8.5.2017 (2022), 2003–5.

[4] Paus Fransiskus, ‘Ensiklik Paus Fransiskus Laudato Si’’, Seri-Dokumen-Gerejawi-No-98-LAUDATO-SI-1, 2016,  hlm, 5.

[5] Fransiskus.Ibid., hlm. 57.

[6] Ibid., hlm. 87.

[7]Ibid., hlm. 127.

[8] Ibid.,hlm. 131.

[9] Ibid., hlm.112.

Posting Komentar

0 Komentar