CERBUNG MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (10)

 

Ilustrasi. Pixabay.com


MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (10)

Oleh: Cygalle

Kami semua menanti dalam harap cemas sambil berdoa. Berharap semoga ini semua hanya mimpi buruk, dan kami segera terbangun. Tentu saja harapan itu tak terwujud. Aku sendiri berharap Ratu Bahari itu lupa untuk kembali muncul. Enggan rasanya melihat wujudnya setelah perubahan yang mengerikan tadi. Portal dimensi itu memang sebuah fenomena yang sangat menarik untuk dibicarakan, tapi bukan untuk dialami sendiri seperti saat ini. Tentu akan lebih melegakan andai lantai kapal kembali bergerak terayun-ayun seperti sebelumnya sebagai pertanda kami sudah kembali ke dunia nyata.

Carla dan ayahnya barusan mengecek telepon genggam masing-masing dan wajah mereka memperlihatkan ekspresi kecewa. Tak ada sinyal sama sekali. Aku sendiri jarang menggunakan gawaiku di hari libur seperti ini. Om Yulian malah saat ini sedang asyik memainkan game snake di gawainya.

Lalu, tiba-tiba kami merasakan lantai kabin bergetar pelan. Hampir saja aku bersorak karena mengira getaran itu akan berubah menjadi ayunan yang mengombang-ambingkan kapal sebagai tanda bahwa kapal kami kembali berada di tengah laut di dunia nyata. Tapi ternyata getaran itu semakin kuat diiringi munculnya aroma aneh dan bau amis yang menguar di ruangan kabin. Om Wira melirik jam tangannya.

“Dia datang, ini sudah tepat satu jam,”

Dan, benar saja. Lampu kabin kembali padam beberapa detik. Saat lampu itu kembali menyala, sosok menjijikkan yang membuat kami trauma satu jam lalu kini hadir kembali tepat di tengah ruangan kabin. Kali ini tentakelnya terlilit rapi membungkus tubuhnya. Tidak menggelepar dan menggapai ke segala arah seperti kemunculannya yang terakhir. Tapi mata seram dan moncong yang seperti rak penyimpanan gigi taring itu masih ada di sana, membuatku segan mengangkat wajah.

“Selamat berjumpa lagi denganku, para manusia, sudah tak sanggup menahan rindu rupanya,” Suara makhluk itu bergema mengisi penjuru kabin.

“Wahai Ratu Bahari, aku sudah siap menerima perintahmu. Akan kucari mustikamu sampai ketemu satu persatu atau semuanya sekaligus. Tapi mohon jaminan untuk keselamatan para penumpangku. Kembalikan mereka semua dengan selamat ke dunia yang sebelumnya kami tempati.” Kapten Togar berkata lantang tanpa memperlihatkan rasa takut.

“Manusia bodoh memang selalu bodoh setiap berlisan. Baru satu jam dan kau sudah lupa bahwa aku adalah Ratu Bahari. Ratu TIDAK MENERIMA PERINTAH dari siapa pun! Kau memang kapten dari kapal ini, tapi bagiku tak ada seorang manusia bodoh pun yang layak mengaku mewakili manusia bodoh lainnya. Lagipula, entah kau beragama atau tidak, tapi yang jelas memang kau cukup bodoh untuk memahami bahwa jaminan keselamatan itu bukan di tanganku, itu milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dia lah Tuhanku, dan Tuhan kalian semua. Hanya saja ... memang benar jika, kalian menolak membantuku, maka aku lah yang akan membantu kalian … untuk segera bertemu Tuhan kita. Hahaha!!” Ratu Bahari memberi wejangan sekaligus ancaman yang membuat perutku merasa tak nyaman.

Kapten Togar terlihat kesal tapi tampaknya ditelannya bulat-bulat perasaan itu karena kulihat mulutnya menutup rapat, tak hendak membantah.

Suara Ratu yang tajam mengiris telinga kembali terhunus, “Kabar baiknya ialah, aku sudah berhasil mendeteksi tempat-tempat di mana mustikaku disembunyikan oleh kaum pencoleng. Jadi aku hanya tinggal membuka portal dimensi ke arah tempat itu berada. Lalu kalian semua akan bersama-sama menuju lokasi tersebut, mengambilkan mustika itu untukku, karena tubuhku sedang dalam masa pemulihan yang membuatku tidak bisa menyentuh mustika itu secara langsung. Kalian semua bergerak di bawah perintah pemimpin kalian. Pengambilan mustika itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Dia hanya bisa diambil oleh seseorang yang memiliki sifat sama dengan sifat mustika itu.”

“Tapi, bagaimana aku mengetahui yang mana dari penumpangku, yang merupakan orang yang tepat untuk mengambil suatu mustika??” Tanya Kapten Togar.

“Pemimpin kalian sudah pasti mengetahui siapa orang yang paling tepat,” kata Ratu Bahari lagi.

“Tapi bagaimana cara aku mengetahuinya, apakah nanti aku akan tiba-tiba mendapat ilham atau ....”

“Kau tak mengetahuinya, karena memang BUKAN KAU PEMIMPINNYA!” Bentak Ratu Bahari kepada Kapten Togar yang langsung mundur selangkah karena terkejut.

Sejujurnya bukan Kapten saja yang terkejut. Tapi aku yakin kami semua terkejut dengan kalimat Ratu Bahari barusan. Bukankah Kapten Togar pemimpin kami di atas kapal ini? Kalau bukan dia ... lantas siapa?”

“Ekspedisi ini adalah untuk menemukan benda-benda berharga milikku. Tentu saja hanya aku yang berhak menentukan orang yang pantas untuk memimpin tim pencari benda tersebut. Lagi-lagi kau, Kapten, merasa lebih berkuasa dari seorang ratu dalam menentukan sesuatu!” Tukas makhluk itu.

Kami semua terdiam. Kulihat kali ini Carla sudah lebih berani untuk menghadapkan badannya sambil menatap Ratu Bahari, meski masih memeluk erat lengan ayahnya. Om Wira dan Om Yulian memilih duduk di kursi kabin dengan tenang. Bimbim berdiri di sisi kapten sambil mengepalkan kedua tangannya.

Ratu bersuara lagi, “Pemimpin kalian sudah kupilih. Dia lah yang paling mengetahui seluk beluk dari lokasi tempat mustikaku disembunyikan. Dia pula yang nantinya mengetahui dengan pasti siapa orang yang tepat untuk mengambil mustika itu. Pemimpin kalian adalah Agung, si putra Yunai.”

 

***

Hah, apa yang Ratu Bahari katakan barusan?! Apakah aku tak salah dengar? Bagaimana mungkin makhluk penunggu laut itu bisa mengetahui namaku dan nama ayahku?

Dan yang membuatku semakin tak nyaman ialah, kini wajah monster itu terarah kepadaku. Demikian juga tatapan mata para penumpang lainnya. Menjadi pusat perhatian mungkin seharusnya terasa menyenangkan bagi sebagian orang, tapi tidak buatku. Terutama di momen seperti ini, ditunjuk oleh sesosok ratu monster untuk memimpin misi yang tak jelas ke tempat antah berantah.

“Ma ... maaf, Ratu. Mungkin salah pilih orang. Saya tidak mau, eh ... saya tidak mampu.” Kuberanikan diri bersuara.

“Jadi kau menolak perintah ratu, bocah ingusan? Baik, ucapkanlah selamat tinggal kepada teman-temanmu.” Ratu Bahari membuka lebar-lebar moncong penuh giginya dan bergerak mendekatiku.

“Eh, iya-iya-iya aku mau, Ratu. AKU MAUU!!” Aku menjerit ketakutan.

“Bagus!” Makhluk itu mengatupkan lagi moncong lebarnya yang berbau amis.

“Tugasmu adalah memimpin seluruh rekanmu ini untuk bergerak menuju lokasi tempat kaum pencoleng menyembunyikan mustikaku. Saat lokasi ditemukan, pilihlah satu orang rekanmu yang tepat untuk mengambilnya. Jika salah pilih, orang tersebut takkan mampu menyentuh mustikanya, bahkan bisa jadi mustika itu melawan karena menolak disentuh oleh tangan yang salah,” Jelas Sang Ratu.

“Tapi, bagaimana kalau orang yang saya pilih itu menolak untuk mengambilnya, Ratu?” Tanyaku setelah memperhitungkan segala kemungkinan.

“Ah, tentu saja penolakan berarti sebuah penyerahan diri untuk jadi santapan. Hahaha. Hanya saja sebelum kusantap, tentu saja orang itu akan kupotong terlebih dahulu kedua tangannya agar bisa kupinjam untuk mengambil mustikanya.” jawab Ratu Bahari membuat bulu kudukku meremang, sebelum ia melanjutkan, “Hei, Bocah! Sebaiknya kau berhenti mengucapkan kebodohan-kebodohan seperti yang diucapkan oleh temanmu si Kapten Togar. Segera bergerak! Pintu portal dimensi telah kubuka tepat di lokasi mustika yang pertama. Bagi kalian, seharusnya ini mudah dan tak layak mengeluh, karena lokasi ini terletak dekat dan masih dalam batas negara yang sama. Kalian akan dikawal oleh perwiraku bernama Ki Nala Pagon. Ia sudah siap di luar. Tugasnya adalah untuk memastikan bahwa kalian tak macam-macam dalam misi ini.”

Secara mengejutkan pintu kabin menjeblak terbuka dengan suara keras. Deru angin kencang memasuki kabin. Sosok Ratu Bahari menghilang perlahan dalam tiupan angin tersebut.

Om Yulian berkata lirih, “Jadi, bagaimana sekarang, Kapten?”

“Jangan tanya aku. Bukan aku pemimpinnya!” Kapten Togar melirikku.

Rasanya benar-benar tak nyaman saat ini. Tak hanya Kapten Togar, tapi semua mata kini tertuju kepadaku, seperti menungguku memutuskan. Padahal aku sendiri tak tahu harus melakukan apa.

“Mmm, kata Ratu tadi, dia sudah membuka pintu portal dimensi. Mungkin kita harus menunggu munculnya lubang yang terbuka di dinding kabin, atau terbuka di lantai, seperti di film-film?” Aku tahu kata-kataku terdengar aneh, tapi aku harus mengatakan apa lagi, coba?

“Gung, tadi jelas-jelas Ratu itu bilang, pintunya SUDAH dia buka. Tak perlu kita tunggu lagi kemunculan lubang-lubang seperti yang kau bilang tadi. Dan di luar sudah menunggu seorang perwiranya untuk mengawal kita. Ditambah lagi Ratu menutup briefingnya dengan adegan pintu kabin terbuka. Bukankah, artinya sudah cukup jelas? Kita disuruhnya KELUAR dari kabin ini untuk segera memulai pencarian,” Om Wira menjelaskan dengan penekanan pada setiap kata-katanya yang membuatku merasa jadi orang paling dungu di ruangan.

Om Wira benar. Kenapa tak terpikirkan olehku, sih? Aku terlalu fokus pada ekspektasi akan pintu portal dimensi yang sesuai dengan imajinasiku saja.

“Benar, Om. Sepertinya memang kita harus keluar dari sini. Kalau begitu, mari, Kapten Togar, Carla, semuanya.” ajakku.

Tak seorang pun bergerak. Tiada yang beranjak dari tempatnya berdiri. Semua mata masih memandangku seolah menunggu sesuatu.

Bimbim lah yang pertama memecah kecanggungan situasi, “Maaf, ya, Pak Ketua regu. Dimana-mana yang namanya ketua atau pemimpin itu bergerak di depan. Lalu baru anak buahnya mengikuti di belakangnya.”

“Oh, eh, baiklah. Kukira juga benar begitu. Terima kasih, Bim,” ucapku. Duh, bodoh sekali sih, aku ini.

 

(Bersambung)

Posting Komentar

0 Komentar