MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (10)
Oleh: Cygalle
Kami semua menanti dalam harap
cemas sambil berdoa. Berharap semoga ini semua hanya mimpi buruk, dan kami segera
terbangun. Tentu saja harapan itu tak terwujud. Aku sendiri berharap Ratu
Bahari itu lupa untuk kembali muncul. Enggan rasanya melihat wujudnya setelah
perubahan yang mengerikan tadi. Portal dimensi itu memang sebuah fenomena yang sangat
menarik untuk dibicarakan, tapi bukan untuk dialami sendiri seperti saat ini.
Tentu akan lebih melegakan andai lantai kapal kembali bergerak terayun-ayun
seperti sebelumnya sebagai pertanda kami sudah kembali ke dunia nyata.
Carla dan ayahnya barusan
mengecek telepon genggam masing-masing dan wajah mereka memperlihatkan ekspresi
kecewa. Tak ada sinyal sama sekali. Aku sendiri jarang menggunakan gawaiku di
hari libur seperti ini. Om Yulian malah saat ini sedang asyik memainkan game snake di gawainya.
Lalu, tiba-tiba kami merasakan
lantai kabin bergetar pelan. Hampir saja aku bersorak karena mengira getaran
itu akan berubah menjadi ayunan yang mengombang-ambingkan kapal sebagai tanda
bahwa kapal kami kembali berada di tengah laut di dunia nyata. Tapi ternyata
getaran itu semakin kuat diiringi munculnya aroma aneh dan bau amis yang
menguar di ruangan kabin. Om Wira melirik jam tangannya.
“Dia datang, ini sudah tepat
satu jam,”
Dan, benar saja. Lampu kabin
kembali padam beberapa detik. Saat lampu itu kembali menyala, sosok menjijikkan
yang membuat kami trauma satu jam lalu kini hadir kembali tepat di tengah
ruangan kabin. Kali ini tentakelnya terlilit rapi membungkus tubuhnya. Tidak
menggelepar dan menggapai ke segala arah seperti kemunculannya yang terakhir.
Tapi mata seram dan moncong yang seperti rak penyimpanan gigi taring itu masih
ada di sana, membuatku segan mengangkat wajah.
“Selamat berjumpa lagi
denganku, para manusia, sudah tak sanggup menahan rindu rupanya,” Suara makhluk
itu bergema mengisi penjuru kabin.
“Wahai Ratu Bahari, aku sudah
siap menerima perintahmu. Akan kucari mustikamu sampai ketemu satu persatu atau
semuanya sekaligus. Tapi mohon jaminan untuk keselamatan para penumpangku.
Kembalikan mereka semua dengan selamat ke dunia yang sebelumnya kami tempati.”
Kapten Togar berkata lantang tanpa memperlihatkan rasa takut.
“Manusia bodoh memang selalu
bodoh setiap berlisan. Baru satu jam dan kau sudah lupa bahwa aku adalah Ratu
Bahari. Ratu TIDAK MENERIMA PERINTAH dari siapa pun! Kau memang kapten dari
kapal ini, tapi bagiku tak ada seorang manusia bodoh pun yang layak mengaku
mewakili manusia bodoh lainnya. Lagipula, entah kau beragama atau tidak, tapi
yang jelas memang kau cukup bodoh untuk memahami bahwa jaminan keselamatan itu
bukan di tanganku, itu milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dia lah Tuhanku, dan Tuhan
kalian semua. Hanya saja ... memang benar jika, kalian menolak membantuku, maka
aku lah yang akan membantu kalian … untuk segera bertemu Tuhan kita. Hahaha!!”
Ratu Bahari memberi wejangan sekaligus ancaman yang membuat perutku merasa tak
nyaman.
Kapten Togar terlihat kesal
tapi tampaknya ditelannya bulat-bulat perasaan itu karena kulihat mulutnya
menutup rapat, tak hendak membantah.
Suara Ratu yang tajam mengiris
telinga kembali terhunus, “Kabar baiknya ialah, aku sudah berhasil mendeteksi
tempat-tempat di mana mustikaku disembunyikan oleh kaum pencoleng. Jadi aku
hanya tinggal membuka portal dimensi ke arah tempat itu berada. Lalu kalian
semua akan bersama-sama menuju lokasi tersebut, mengambilkan mustika itu
untukku, karena tubuhku sedang dalam masa pemulihan yang membuatku tidak bisa
menyentuh mustika itu secara langsung. Kalian semua bergerak di bawah perintah
pemimpin kalian. Pengambilan mustika itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang
orang. Dia hanya bisa diambil oleh seseorang yang memiliki sifat sama dengan sifat
mustika itu.”
“Tapi, bagaimana aku
mengetahui yang mana dari penumpangku, yang merupakan orang yang tepat untuk mengambil suatu mustika??” Tanya Kapten
Togar.
“Pemimpin kalian sudah pasti
mengetahui siapa orang yang paling tepat,” kata Ratu Bahari lagi.
“Tapi bagaimana cara aku
mengetahuinya, apakah nanti aku akan tiba-tiba mendapat ilham atau ....”
“Kau tak mengetahuinya, karena
memang BUKAN KAU PEMIMPINNYA!” Bentak Ratu Bahari kepada Kapten Togar yang
langsung mundur selangkah karena terkejut.
Sejujurnya bukan Kapten saja
yang terkejut. Tapi aku yakin kami semua terkejut dengan kalimat Ratu Bahari
barusan. Bukankah Kapten Togar pemimpin kami di atas kapal ini? Kalau bukan dia
... lantas siapa?”
“Ekspedisi ini adalah untuk
menemukan benda-benda berharga milikku. Tentu saja hanya aku yang berhak
menentukan orang yang pantas untuk memimpin tim pencari benda tersebut.
Lagi-lagi kau, Kapten, merasa lebih berkuasa dari seorang ratu dalam menentukan
sesuatu!” Tukas makhluk itu.
Kami semua terdiam. Kulihat
kali ini Carla sudah lebih berani untuk menghadapkan badannya sambil menatap
Ratu Bahari, meski masih memeluk erat lengan ayahnya. Om Wira dan Om Yulian
memilih duduk di kursi kabin dengan tenang. Bimbim berdiri di sisi kapten
sambil mengepalkan kedua tangannya.
Ratu bersuara lagi, “Pemimpin
kalian sudah kupilih. Dia lah yang paling mengetahui seluk beluk dari lokasi
tempat mustikaku disembunyikan. Dia pula yang nantinya mengetahui dengan pasti
siapa orang yang tepat untuk mengambil mustika itu. Pemimpin kalian adalah
Agung, si putra Yunai.”
***
Hah, apa yang Ratu Bahari
katakan barusan?! Apakah aku tak salah dengar? Bagaimana mungkin makhluk
penunggu laut itu bisa mengetahui namaku dan nama ayahku?
Dan yang membuatku semakin tak
nyaman ialah, kini wajah monster itu terarah kepadaku. Demikian juga tatapan
mata para penumpang lainnya. Menjadi pusat perhatian mungkin seharusnya terasa
menyenangkan bagi sebagian orang, tapi tidak buatku. Terutama di momen seperti
ini, ditunjuk oleh sesosok ratu monster untuk memimpin misi yang tak jelas ke
tempat antah berantah.
“Ma ... maaf, Ratu. Mungkin salah
pilih orang. Saya tidak mau, eh ... saya tidak mampu.” Kuberanikan diri
bersuara.
“Jadi kau menolak perintah
ratu, bocah ingusan? Baik, ucapkanlah selamat tinggal kepada teman-temanmu.”
Ratu Bahari membuka lebar-lebar moncong penuh giginya dan bergerak mendekatiku.
“Eh, iya-iya-iya aku mau,
Ratu. AKU MAUU!!” Aku menjerit ketakutan.
“Bagus!” Makhluk itu
mengatupkan lagi moncong lebarnya yang berbau amis.
“Tugasmu adalah memimpin
seluruh rekanmu ini untuk bergerak menuju lokasi tempat kaum pencoleng menyembunyikan
mustikaku. Saat lokasi ditemukan, pilihlah satu orang rekanmu yang tepat untuk
mengambilnya. Jika salah pilih, orang tersebut takkan mampu menyentuh
mustikanya, bahkan bisa jadi mustika itu melawan karena menolak disentuh oleh
tangan yang salah,” Jelas Sang Ratu.
“Tapi, bagaimana kalau orang
yang saya pilih itu menolak untuk mengambilnya, Ratu?” Tanyaku setelah
memperhitungkan segala kemungkinan.
“Ah, tentu saja penolakan
berarti sebuah penyerahan diri untuk jadi santapan. Hahaha. Hanya saja sebelum
kusantap, tentu saja orang itu akan kupotong terlebih dahulu kedua tangannya
agar bisa kupinjam untuk mengambil mustikanya.” jawab Ratu Bahari membuat bulu
kudukku meremang, sebelum ia melanjutkan, “Hei, Bocah! Sebaiknya kau berhenti
mengucapkan kebodohan-kebodohan seperti yang diucapkan oleh temanmu si Kapten
Togar. Segera bergerak! Pintu portal dimensi telah kubuka tepat di lokasi
mustika yang pertama. Bagi kalian, seharusnya ini mudah dan tak layak mengeluh,
karena lokasi ini terletak dekat dan masih dalam batas negara yang sama. Kalian
akan dikawal oleh perwiraku bernama Ki Nala Pagon. Ia sudah siap di luar.
Tugasnya adalah untuk memastikan bahwa kalian tak macam-macam dalam misi ini.”
Secara mengejutkan pintu kabin
menjeblak terbuka dengan suara keras. Deru angin kencang memasuki kabin. Sosok
Ratu Bahari menghilang perlahan dalam tiupan angin tersebut.
Om Yulian berkata lirih,
“Jadi, bagaimana sekarang, Kapten?”
“Jangan tanya aku. Bukan aku
pemimpinnya!” Kapten Togar melirikku.
Rasanya benar-benar tak nyaman
saat ini. Tak hanya Kapten Togar, tapi semua mata kini tertuju kepadaku, seperti
menungguku memutuskan. Padahal aku sendiri tak tahu harus melakukan apa.
“Mmm, kata Ratu tadi, dia
sudah membuka pintu portal dimensi. Mungkin kita harus menunggu munculnya
lubang yang terbuka di dinding kabin, atau terbuka di lantai, seperti di
film-film?” Aku tahu kata-kataku terdengar aneh, tapi aku harus mengatakan apa
lagi, coba?
“Gung, tadi jelas-jelas Ratu
itu bilang, pintunya SUDAH dia buka. Tak perlu kita tunggu lagi kemunculan
lubang-lubang seperti yang kau bilang tadi. Dan di luar sudah menunggu seorang
perwiranya untuk mengawal kita. Ditambah lagi Ratu menutup briefingnya dengan adegan pintu kabin terbuka. Bukankah, artinya
sudah cukup jelas? Kita disuruhnya KELUAR dari kabin ini untuk segera memulai pencarian,”
Om Wira menjelaskan dengan penekanan pada setiap kata-katanya yang membuatku
merasa jadi orang paling dungu di ruangan.
Om Wira benar. Kenapa tak
terpikirkan olehku, sih? Aku terlalu fokus pada ekspektasi akan pintu portal
dimensi yang sesuai dengan imajinasiku saja.
“Benar, Om. Sepertinya memang
kita harus keluar dari sini. Kalau begitu, mari, Kapten Togar, Carla,
semuanya.” ajakku.
Tak seorang pun bergerak. Tiada
yang beranjak dari tempatnya berdiri. Semua mata masih memandangku seolah
menunggu sesuatu.
Bimbim lah yang pertama
memecah kecanggungan situasi, “Maaf, ya, Pak Ketua regu. Dimana-mana yang
namanya ketua atau pemimpin itu bergerak di depan. Lalu baru anak buahnya
mengikuti di belakangnya.”
“Oh, eh, baiklah. Kukira juga
benar begitu. Terima kasih, Bim,” ucapku. Duh, bodoh sekali sih, aku ini.
(Bersambung)
0 Komentar