"THE BAJAU" REKAM JEJAK PERADAPAN MARITIM || ARAA

“The Bajau” Rekam Jejak Peradapan Maritim

Di masa lampau Nusantara merupakan penghasil rempah-rempah yang menjadi kebutuhan dunia. Hal ini tentu berkaitan dengan perdagangan antar pulau, benua bahkan negara. Jaringan perdagangan maritim pun terjadi dengan menggunakan sistem hubungan perdagangan dari sisi laut diperluas ke arah utara sampai ke daratan Tiongkok. Jalur perdagangan ini terus meluas sampai ke pantai timur Afrika dari jalur Selat Malaka sebagai pusat perdagangan.

           Sejak dua ribu tahun lalu, hasil perdagangan laut lokal dari Jawa dan Bali sudah diperdagangkan ke beberapa daerah di bagian Sumatera, Madura dan Maluku. Peran masyarakat Nusantara pun tidak hanya sebagai produsen dan konsumen tetapi juga sebagai pemilik kapal dan navigator. (Wardhana, 2016, p. 370).

Tetapi kegiatan maritim tidak hanya berkaitan dengan pelayaran dan perdagangan saja. Terdapat pula warisan budaya hasil kemahiran teknologi tradisional seperti produksi perahu, adat istiadat, ritual-ritual dalam prosesi pembuatan hingga peluncuran perahu-perahu tersebut ke lautan dan pengetahuan navigasi alamiah(tanda-tanda di alam). (Mulyadi, 2016,p 2-3)

Sejarah maritim klasik salah satunya membahas tentang kehidupan Suku Bajau (Bajo). Suku ini dikenal sebagai gipsi laut dikarenakan kehidupan mereka yang nomaden. Di masa lampau, suku yang berasal dari kepulauan Sulu, Filipina Selatan ini berperan penting di Kerajaan Sriwijaya yang merupakan salah satu kerajaan maritim di Indonesia.

Di masa kejayaan Sriwijaya, Suku Bajo berperan sebagai penjaga selat-selat, pengusir bajak laut, pemandu pedagang ke pelabuhan kerajaan dan pertahanan hegemoni daerah kerajaan. Pada masa kerajaan Singasari, Majapahit dan Malaka pun Suku Bajo berperan penting dalam menjaga keamanan maritim. Selain itu, mereka juga sangat berjasa dalam penyebaran Agama Islam. Suku Bajo dipercaya Malikusaleh untuk menjadi prajurit armada laut sebagai pendamping yang mengantar para penyiar Agama Islam ke pulau-pulau belahan timur dan menjadi awak perahu dan nahkoda para pedagang islam (H. Anwar, 2017, P.21-24).

Latar belakang sejarah inilah yang membawa Suku Bajo atau yang dikenal sebagai orang laut mempunyai peran penting dalam sejarah peradapan maritim di Indonesia. Suku Bajo ini dapat ditemui di berbagai perairan di Nusantara, diantaranya di Torosiaje Provinsi Gorontalo dan Morombo, Sulawesi Utara.

The Bajau merupakan film dokumenter yang merekam keseharian, dilematika dan problematika yang terjadi pada Suku Bajo yang hidup di perairan Torosiaje dan Morombo. Film dokumenter yang berdurasi 80 menit ini menyajikauku Bajo sebagai pengembara laut yang ulung. Mereka menangkap ikan dengan alat-alat tradisional dan keterampilan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Hal ini mereka lakukan bukan hanya semata-mata untuk melestarikan budaya tetapi juga melestarikan alam khususnya ekosistem laut.

Dandhy Dwi Laksono sebagai sutradara film Dokumenter ini dalam acara nobar di Taman Baca Kesiman Denpasar pada Sabtu 11 Januari 2020 lalu mengatakan film ini merupakan rekam jejak peradapan maritim di Indonesia yang masih tersisa hingga kini.  Dandhy juga mengatakan bahwa saat ini sulit menemukan Suku Bajo yang tinggal di perairan dikarenakan mereka banyak yang telah hidup di daratan.

 Dilematika yang ditayangkan di film dokumenter ini adalah Suku Bajo yang telah dibentuk oleh nenek moyang mereka hidup di laut terpaksa hidup di darat dikarenakan kewajiban birokrasi yang berkaitan dengan identitas mereka sebagai warga negara. Namun, mereka diperhadapkan dengan permasalahan lahan kelapa sawit yang diambil alih oleh perusahaan. Akibatnya, lahan yang mereka tanam digusur tanpa adanya uang ganti rugi. Suku Bajo ingin kembali ke laut tetapi air laut tercemar oleh polusi tambang nikel. Dalam catatan film dokumenter ini terdapat 141 perusahaan tambang nikel  dan 4000 perkebunan sawit dengan izin. Akibatnya, pada tahun 2019 terjadi banjir yang parah melanda Kecamatan Asera, Oheao dan Wiwirano. Banjir yang parah ini sebagai bukti telah terjadi eksploitasi alam hingga merusak ekosistem darat dan laut.

Film dokumenter yang diproduksi oleh rumah produksi WatchDoc ini menggambarkan suatu kritik sosial bagi pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah sebagai instansi yang seharusnya mengayomi warganya dengan memberikan solusi yang tepat bagi kehidupan Suku Bajo yang masih memegang teguh warisan nenek moyang mereka sebagai orang-orang laut. Film ini diharapkan membuka mata hati masyarakat yang bergerak di bidang industri pertambangan maunpun industri lainnya agar berpikir tentang pelaksanaan pengelolaan industri yang ramah lingkungan untuk menjaga ekosistem alam. 

Film yang pernah ditayangkan di Festival Film Hamburg 2019 ini dapat disaksikan di Channel You Tube. Memang The Bajau tidak diperuntukkan semua usia dikarenakan penduduk Suku Bajo menggunakan bahasa Suku Bajo sehingga film ini dapat ditonton mulai dari usia 10 tahun dengan pendampingan orang tua atau tenaga pendidikan. The Bajau dapat menjadi suatu referensi mengenai sejarah dan budaya maritim Indonesia. Ada banyak adegan dalam film ini yang mengajak kita  menjaga kelestarian alam sebagai salah satu warisan yang bernilai dan penting untuk keberlangsungan hidup dari generasi ke generasi.

Posting Komentar

0 Komentar