OBROLAN SORE HARI || YULPUTRA NOPRIZAL

 

Ilustrasi.google.com


Obrolan Sore Hari

Mereka duduk di kursi, dipisahkan meja mereka duduk berhadap-hadapan. Panas udara sore Jakarta sudah mendingan. Di jalan depan warung kopi itu sekali-kali kendaraan lewat. Suaranya meningkahi suara tv yang disetel keras.

            “Tak ada rencanamu Romi untuk bekerja di perusahaan,” kata Arif.

            “Mungkin aku tak akan mencicipi untuk kerja kantoran. Biarlah kukubur pekerjaan favorit itu untuk selama-lamanya,” kata Romi. Ia mengengeluarkan sebatang rokok yang tergelak di meja. Dengan jari kirinya yang mengunting, tangan kanannya gegas memnatik korek gas. Segera asap mengepul di sekitar mereka ngobrol.

            “Berarti usaha percetakanmu maju. Sampai-sampai tak kepikiran olehmu sebuah kantor yang ber-AC dengan cewek-cewek yang barangkali di sana kau bisa menemukan jodoh.”

            “Sudahlah Arif. Pendapatanku per bulan sudah lebih dari cukup. Bisa mengontrak ruko dan terpenuhi makan dan rokokku. Sekali-kali jalan-jalan ke tempat rekreasi. Itu sudah cukup bagiku. Tapi ngomong-ngomong, kau sudah berapa orang anakmu?” kata Romi sembari mengansurkan rokok yang tergeletak di meja ke dekat tangan Arif yang tak memegang apa-apa.

            Tak berapa lama dua gelas kopi hitam pesanan mereka tiba di meja.

            “Istriku baru hamil tiga bulan,” kata Arif sembari mengambil bungkus rokok, dan mengeluarkan isinya sebatang. “Alhamdulillah, semuanya berjalan baik-baik saja.”

            Mereka dua sahabat karib semenjak kuliah. Lama sekali mereka tak berjumpa secara tatap muka. Masing-masing sibuk dengan rutinitasnya. Tadi pagi Arif berinisiatif untuk bertemu dengan sahabat lamanya yang terkenal idealis itu di sebuah warung kopi tak jauh dari ruko tempat Romi buka usaha percetakan.

            “Kau masih berhubungan dengan Fira, Romi,” kata Arif menyela lamunan sahabatnya itu.

            Wajah Romi dedikit tertegun. Ia memandang ke jalan. Tapi matanya terlihat memandang begitu jauh.

            “Aku sudah melupakannya, Arif. Begitu sakit hatiku sewaktu ia tinggalkan. Seminggu berikutnya apa coba, foto pacarnya menghiasi instagram-nya.”

            Ya, Fira adalah pacar Romi sewaktu kuliah di Bandung dulu. Sering ia berkata kepada Arif jika perempuan itu cinta sejatinya. Tapi Romi pernah ngambek dengan Fira gara-gara Fira sering menasehatinya tentang kegiatannya berpuisi. Datang ke acara-acara sastra dan kadang diundang pula baca puisi membuat Fira merasa dinomorsekiankan.

            Suatu hari Fira bilang sama Romi. “Kau yakin dengan kegiatan sastramu Romi. Tidakkah kuliah lebih penting. Kalau kau hidup hanya dari puisi, bagaimana kau menafkahi keluargamu kelak.”Itu kata-kata Fira yang membuat Romi ngambek. Hampir sebulan mereka tak berhubungan.

            “Kalau kau lihat di-intagram-nya sekarang,” kata Arif. “Fira sudah menikah dengan laki-laki yang kau maksud. Posisi laki-laki itu bagus di kantor.”

            “Apa, menikah,” muka Romi kaget bukan kepalang. “Sudah kuduga. Pantas dulu dia terus-menerus meyakinkanku untuk bercita-cita jadi orang mapan. Ia begitu tak suka kegiatanku berpuisi. Rupanya dia mencari laki-laki yang mapan rupanya. Kupikir dia cuma main-main atau sekedar memanas-manasiku saja. Tak lama juga bubar pikirku waktu itu.”

            Romi menyambung rokoknya. Sementara rokok Arif baru setengah batang dihisap. Di jalan nampak sinar matahari sudah mulai memudar. Dari kendaraan yang lewat, nampak orang-orang sudah pulang dari tempat kerja. Terdengar suara klakson sesekali.

                                                                                                     ***

           

“Ngomong-ngomong,” kata Arif. ”Bagaimana kegiatan bersastramu?”

            Romi memandang kepada Arif, sejenak ia hembuskan asap rokok ke udara yang tinggi. “Sama sekali tidak produktif. Semenjak kuliah kau tahu sendiri. Aku rutin mengirimkan puisi-puisiku ke media. Tapi apa hasilnya. Sampai sejauh ini baru dua kali puisiku diterbitkan media. Itu pun media kecil.”

            Arif meneguk kopinya, dan menghisap rokok dengan pelan.

            “Padahal kau tahu,” lanjut Romi. “Begitu tingginya cita-citaku untuk menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi. Buku kumpulan puisi itu berisi puisi-puisiku yang terbit di media.”

            “Tapi katanya kau juga sudah mulai menulis novel?” kata Arif.

            Ya, novel. Itulah rencana terbesar Romi setelah putus dengan Fira. Ia berencana merangkum semua kisahnya dengan Fira menjadi sebuah novel.

            “Ah, novel kau bilang. Belum selesai bab pertama aku sudah merasa bosan. Suntuk. Mati ide. Kering. Hanya rokok yang bisa kuhabiskan berbatang-batang,” kata Romi sembari menyesap kopinya.

                                                                                                    ***

           

Setelah putus dari Fira, Romi ada rencana untuk jadian dengan Sekar. Ya, Sekar. Gadis ayu yang memikat hati Romi sewaktu OSPEK dulu. Dan kawan OSPEK-nya sudah pula menjodoh-jodohkan Romi dengan Sekar waktu itu. Namun waktulah jawabannya. Orang-orang sudah pada lulus, termasuk Sekar. Sementara Romi masih di kampus menyesaikan mata kuliah-mata kuliah yang tercecer. Sekar berangkat ke Jakarta mencari kerja. Terakhir Romi dapat kabar, Sekar sudah dipinang oleh seorang perwira polisi di kota kelahirannya, Malang.

            “Berarti sudah lama juga kau hidup sendiri Romi,” kata Arif.

            “Sudah hampir sepuluh tahun,” mata Romi berkaca-kaca mengucapkan kata-kata itu.

            Arif bersiul kecil. Dan segera mengeluarkan hp dari tas selempang kecilnya. Ia nyalakan hp dan memperlihatkan sebuah foto di dalamnya.

            “Kau masih ingat Fitri, Romi. Ini foto terbarunya.”

            Segera Romi terpesona. Tentu ia ingat Fitri. Itu mungkin perempuan pertama yang menitip salam padanya pada Semester I di perkuliahan dulu. Tapi Romi tidak begitu tertarik pada sosok perempuan itu dulu. Selain tubuhnya yang mungil, bagi Romi dulu Fitri mungkin bukanlah tipe perempuan yang setia. Melihat tampangnya, Romi waktu itu berpikiran pasti Fitri punya pula laki-laki lain selain Romi yang ia titip salam.

            Namun, sekarang hati Romi berkata lain. Hatinya begitu girang melihat sosok itu dan mengenang beberapa obrolan mereka pada Semester I di kampus dulu.

            “Ini nomor wa-nya aku kirim ke nomormu. Sekalian instagram-nya,” kata Arif sambil menyuruh Romi menghidupkan paket data hp-nya.

                                                                                                   ***

 

            Hari sudah mau Magrib. Di lantai dua sebuah rukolah Romi berada kini. Sambil bersandar ke dinding dengan ditopang bantal, Romi membuka instagram. Segera ngetik nama Fitri seperti yang dikasih tahu Arif sahabatnya.

            Melihat foto-foto Fitri di instagram Romi begitu kesemsem dengan sosok perempuan itu. Tak banyak yang meski ia kenang lagi tentang sosok perempuan itu. Segera ia chat ke wa Fitri. Tak lama menunggu. Dijawab. Jawaban menyejukkan hati. Fitri mengatakan di chat, ia tak bisa melupakan sosok Romi.

            Saling chat terus-menerus, tentu saja Romi akhirnya menanyakan status Fitri sekarang.

            Bagai petir di siang bolong, tiba-tiba pula kepala Romi merasa pusing. Mendadak kamar itu menjadi gelap dalam pandangannya.

            “Hatiku sudah ada pimiliknya,” begitu chat Fitri yang dibaca Romi di hp.

           

           

     Yulputra Noprizal, lahir di Air Haji pada 11 November 1985. Penyuka dan penikmat sastra. Tinggal di Air Haji, Kab. Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Posting Komentar

0 Komentar