TAKSA || DENSI CLAUDIA

 

Ilustrasi Pixabay.com

TAKSA

      Setelah bulan tak tampak dimataku, yang muncul hanyalah deru angin ribut. Hidup yang muram tanpa kasih yang nyata. Bayangan terkumpul di jendala kamar itu masih tergeletak tak terurus. Bumi yang rapuh untuk bertumbuh dengan siraman lidah yang tak bersih. Saat gelap lahir yang terlupakan bertumpuk kembali. Masa lalu yang diam-diam menguntit jejakku. Kehidupan yang mahir menceritakan lara menggendong kisahku hingga semuanya terlelap dalam naungannya. Kata-kata yang telah aku pupuk untuk harapan membentengi jiwaku, tetapi kehidupan tampaknya penuh dengan nyanyian perkabungan.

       Jalan tampak sepi dan sunyi, aku pikir ini bukan isyarat yang mengantarku kembali dalam pangkuannya. Rasanya akrab di hidupku seperti kisah yang menerobos merasuki duniaku. Pada sebuah kejadian yang membentuk kita dalam harmoni yang menancap  di bibirnya. Keadaan yang mengingatkannya kembali seperti yang pernah dituturkannya. Apa yang tengah dibentuk dalam pikirannya saat hujan reda kala itu? Menyirami aku dengan bunga-bunga cinta yang mekar di hatinya.  Penderitaan yang  kualami adalah aku tidak bisa menerka saat gerimis jatuh dan melihat bagaimana hatinya memangsa  aku dalam kehangatannya. Penglihatanku yang liar akan hidup dan romansa yang terkampung  di dalamnya membuat jiwaku lesu tak berdaya. Kita yang lahir dari ribuan kata hingga terlena dalam pangkuannya. Jika kita bertarung melawan angina lalu, apakah sayap-sayapmu masih siap menjaga senyum dalam hubungan kita?

      Awal yang tak bercerai dengan ceritanya mengatasnamakan rindu yang bersujud di sanubari. Ketika itu Ayata sedang bersandar di tempat pertama kali aku menangkap senyumnya. Saat itu cahaya matahari meragukan hujan akan turun seolah-olah dunia sedang jatuh cinta pada kami. Dan sesaat kemudian dia mempersiapkan isyarat yang tak mudah kubaca dalam pemahamanku yang aku tahu matanya selalu tertuju pada mataku hingga aku kesulitan memfokuskan pandangan. Ketika aku memikirkannya kembali kemalangan selalu menimpa  hidup.

“Izinkan aku  menjaga senyummu agar tak padam saat dunia terbakar.”

      Barangkali hal ini yang menciptakan keheningan di antara kami. Aku pikir Ayata sedang bersenda gurau bersama angin liar. Namun, dia menyatakannya sekali lagi dengan tajam nadanya jelas dan tegas.

     “Terima kasih,” jawabku yang tak tampak mengartikan apa-apa suara yang datang begitu saja dari  bibirku. Keyataannya,   dia menyelipkan  keinginannya untuk berlabuh.

     Tidak ada  yang  bisa kuubah dalam kenyataan ini. Tangisan selalu menitipkan rindu pada sunyi yang menggambarkannya. Betapa hujan menyiksaku dalam kekelaman yang menyedihkan ini. Aku merundung pilu. Ini mungkin bunyi-bunyi halus yang mengusik di kamar. Aku berteduh di malam itu seakan-akan aku tidak pernah merasakan apa yang sedang terjadi. Bibir tak mampu menyebutkan namanya sebab akan tergampar luka di sana.

   Sepertinya, aku sedang membimbingi  langkah atas namanya yang sudah terjadi sejak dulu. Bukan apa sebenarnya, hanya dia tetap tenang dalamnya. Diriku sendiri yang patah. Aku melihatnya begitu jauh, tetapi dia merekat erat hidupku. Aku tak tahu pasti tentang apa yang sedang terjadi.

     “Ini mungkin hanya gelora yang mengatasnamakannya.”

   Suatu hari  saat aku selalu bersembunyi dengan keceriaan. Seseorang yang sedang menggandeng tanganku saat ini, aku tidak tahu hubungan bersamanya mencapai titik yang dinginkan.

“Gib, aku tidak tahu lagi kata-kata apa yang paling pantas untuk orang seperti kamu selain ucapan terima kasih.” Aku melihatnya begitu lekat. Di matanya telah menggambarkan luka yang amat dalam. Namun, rasaku hanyalah sebuah kebinasaan yang menopang untuk jatuh pada orang yang telah meninggalkanku. Gibran hanya menyatakan apa yang sedang ia rasakan.  Harus kuakui bahwa jawaban itu membuatku semakin rapuh.

Waktu itu sepulang kerja, Gibran mengunjung tempat tinggalku. Walaupun  tempatku  tidak diizinkan untuk membawa laki-laki entah itu keluarga maupun teman. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu, dia mengunjungiku tanpa memberikan  apa pun. Dia memberanikan diri untuk berbicara kepada pemilik  kos-kosan tersebut.

“Bapak hari ini tampak lelah, saya pikirkan bahwa dia merengut segala yang telah saya lakukan hari ini,” katanya kepada  bapak itu. Bapaknya,terlihat bingung dan sedikit tersenyum.

Entahlah. Gibran, hanya menitipkan salam dan sebuah bungkusan rindu kata bapaknya. Bapaknya memang sedang bersenda gurau.

“Sunja, ada bungkusan rindu untukmu,” selorohnya.

Aku tidak langsung membuka apa isi dari bungkusan tersebut. Karena masa laluku membentengi hati dengan siulan manis bungkusan penghianatan.

Kesunyian yang mendiami hatiku dengan sedemikian rupa adanya. Kusulam lagi kata yang telah hilang maknanya. Kupikir biarkan dia berdiri bersama yang telah datang jangan biarkan dia pupus seperti kisah masa lalu yang mencakarku. Ada sesuatu yang mengganggu lamunanku. Bungkusan itu masih terlihat rapi, seolah-olah sedang merangsang otak. Ada sesuatu yang mencurigakan pada bungkusan itu, mungkinkah kehangatannya yang membawaku mendekapinya. Kurasa bukan hanya aku yang membahana membaca surat yang dia rangkaikan dengan kata-katanya yang mencoba merayu,  tetapi seperti mencuplik sebuah ketulusan di dalam isi tulisannya.

Aku tak sedang merayumu. Namun, aku sedang mengikrarkan kasih sayang yang kutumpang di kertas putih ini. Aku pun tak sedang berpuisi dan yang tergambar dikepalamu adalah sebuah melodi. Bukan itu maksudku. Ini adalah hatiku yang tampak gelisah dan resah seperti sedang menggila rasa. Sungguh, aku kesulitan menatapmu yang masih berpangku dengan masa lalumu. Bolehkah aku melunasi rasa sampai di mana tumpukan masa lalu itu musnah dengan kehadiranku? Biarkan aku menjadi rindumu setiap kau membuka mata.

 

Rasa ini tak pernah pergi bersamanya. Aku seperti tersihir olehnya kala itu. Yang dia bilang selamanya masih terekam di kepala. Aku tersiksa dengan keputusan yang kubuat sendiri. Seseorang yang sudah menyelamatkan aku dari tenggelamnya masa lalu yang rumit, tetapi aku selalu merasa sendirian. Meskipun aku tahu Gibran yang selalu jalan beriringan bersamaku. Ini seperti neraka yang kugali sendiri.

 

 Cinta adalah misteri yang membuat manusia membelenggu.

                                                   

SELESAI

 

_______________________________

Bionarasi

Densi Claudia. Seorang perempuan yang bermimpi menjadi  penulis. Mencitai kata-kata adalah hal yang patut diikrarkan. Dapat dihubungi melalui FB Densi Linggung, IG Densi Linggung, EMAIL densiyulita@gmail.com.

 

   

Posting Komentar

0 Komentar