MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (9)|| CYGALLA

 

Ilustrasi Pixabay.com

MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (9)

 

Mulut itu terbuka mengikuti garis yang tadi melebar. Begitu lebar, hingga kurasa mampu menelan seekor kucing bulat-bulat. Dia bukan lagi wanita yang berwajah cantik. Di dalam mulutnya yang ternganga aku bisa melihat ratusan gigi tajam saling bertumpuk, mirip seekor buaya yang sedang menyeringai lebar. Tapi, berani sumpah … buaya pun masih jauh lebih cantik dibandingkan dengan makhluk ini. Om Wira dan Bimbim memalingkan wajahnya. Aku pun ingin, tapi di sisi lain aku juga penasaran. Pengalaman pertama kali melihat setan ini harus kunikmati sebaik mungkin.

Sang ratu menunjuk ke arah Bimbim, dan kembali mengeluarkan suara. Kali ini dengan nada yang ratusan kali lebih sinis dibanding sebelumnya.

“Coba bayangkan itu, manusia bodoh yang bahkan tak menyadari kebodohannya. Kau menanyakan keadaanku seolah berbaik hati, padahal kaulah pelakunya yang menyakitiku!”

Bimbim tampak ketakutan melihat sang ratu menunjuk ke arahnya. Ia kini memeluk Om Wira sama halnya seperti yang sedang dilakukan Carla. Om Wira sendiri memejamkan mata dan ikut berpelukan erat bertiga dengan mereka. Hanya tinggal aku dan Kapten Togar sajalah yang masih menatap makhluk yang kini wujudnya jadi sangat menyeramkan itu. Terlebih setelah rambut merah meriap-riap di atas kepalanya bagaikan tarian lidah api. Tanpa perlu menjadi seorang ahli di bidang persetanan pun aku memahami bahwa makhluk tersebut saat ini sedang tersulut emosinya.

Kedua mata sang ratu yang sejak tadi tertutup, saat ini mulai terbuka. Begitu melihat sepasang mata itu, hilang sudah kuatnya pertahanan dan semangatku yang dipenuhi rasa ingin tahu terhadap wujud setan. Kakiku langsung tertekuk sebelum kuizinkan. Aku jatuh berlutut melihat sepasang mata makhluk di hadapanku. Mata itu, tak ada pupilnya. Tak seperti mataku yang putih dengan pupil hitam di tengahnya, mata makhluk ini lebar, dua kali lipat ukuran mata manusia normal, berwarna kuning terang, dan ... berlendir.

Suara sang ratu kembali memecah keheningan, “Wahai manusia, aku memang terlalu emosi hingga lupa memperkenalkan diri. Namaku Ratu Bahari. Istanaku ada di titik terdalam lautan yang terdekat dengan perut bumi. Seluruh makhluk laut adalah anak-anakku. Kalian mengambil mereka setiap hari sesuka kalian dalam jumlah tak terhitung. Aku tak masalah dengan itu. Toh, aku hanya memakan satu manusia setiap tahunnya. Apakah aku tak cukup bermurah hati?”

 

Kali ini, mendengar suara tersebut membahana sambil melihat moncong lebar yang terbuka dan bergerak-gerak mengucapkan kata demi kata, benar-benar membuatku jengah dan tak mampu lagi menatap langsung ke wajah sang makhluk yang baru saja mengaku sebagai ratu itu.

Monster itu melanjutkan, “Bahkan, karena murah hati dan belas kasihku terhadap makhluk-makhluk bodoh sepertimu, maka kujawab pertanyaanmu. Betul, aku sedang dalam pemulihan kondisi tubuh, tepatnya ada bagian tubuhku yang sedang terluka karena disakiti dan dihilangkan paksa olehmu, wahai manusia dengan kepala tanpa rambut,”

Sang ratu rupanya sedang berbicara kepada Bimbim. Kuperhatikan, jubah putih yang menggelembung rapi membungkus sekujur tubuhnya, perlahan tersingkap. Dan saat jubah itu terbuka seluruhnya, tampaklah olehku bahwa tubuh Ratu Bahari memang bukan tubuh manusia. Dari bagian leher hingga bagian terbawah tubuhnya yang mengapung di udara, terlihat seperti sedang dililit oleh ular-ular besar. Lalu ular-ular tersebut saling bergerak mengurai melepaskan diri dari lilitannya masing-masing.

Ketika mereka sudah terurai dengan sempurna, terlihat dengan jelas bahwa yang tadi kukira ular yang saling melilit, ternyata adalah tentakel gurita berukuran besar. Persis seperti potongan tentakel yang ada di buritan.

Tiba-tiba saja kabin kapal kini terasa sempit. Tentakel-tentakel tadi seolah mengembang dan ukurannya membesar memenuhi seisi ruangan. Menari-nari liar dan berbau amis. Hilang sudah aroma wangi yang tadi tercium dari tubuh sang ratu.

Kuhitung tentakel itu. Semuanya ada delapan buah. Tapi ada satu tentakel yang ukurannya paling pendek dibanding tentakel lainnya. Tentakel pendek itu terlihat penuh darah. Paham lah aku sekarang. Inilah makhluk yang tadi tersangkut di ujung kail Carla, yang kutarik hingga tentakelnya terbawa naik ke atas perahu, dan ditebas putus oleh Bimbim. Sang korban kini berhadapan langsung dengan para penganiayanya.

“Aku sedang sibuk mencari hartaku dan tiba-tiba saja ada tamu datang ke rumahku, dan hebatnya, tanpa permisi menangkapi anak-anakku hingga melukaiku. Aku akan dengan senang hati menyantap kalian satu persatu andai bukan karena kebutuhanku akan bantuan darimu, wahai manusia!” Suara sang ratu sepertinya sudah berbeda dengan yang tadi. Karena kini terdengar semakin kasar dan kering, mirip suara hewan. Lalu ia melanjutkan kalimatnya,

 

“Hartaku, mustika-mustikaku, dicuri dan disembunyikan ke banyak tempat di penjuru dunia ini. Pelakunya adalah gerombolan pencoleng yang mampu berpindah-pindah dimensi ruang tanpa harus membuka kunci portal gaib. Sayangnya, saat mustika itu berada terlalu jauh dari wilayah kekuasaan gaibku, aku tak dapat mengejarnya dengan tubuh gaib ini. Hanya manusia-manusia terpilih lah yang bisa mengambilnya kembali. Manusia-manusia terpilih semacam ….

“VLADIMIR PUTIN!!” Tiba-tiba terdengar suara seseorang memotong ucapan sang ratu. Alangkah kurang ajarnya ia.

Suara teriakan itu berasal dari kursi penumpang kabin. Tepatnya keluar dari mulut seseorang yang sedang tidur di sana; Om Yulian.

“IKAN PATINKU … KEMBALIKAN PATINKU, VLADIMIR PUTIN! Aku memancingnya dengan susah payah. Gung, tolong, Gung … Aguunnng!!” Om Yulian berteriak-teriak tak terkendali. Mengigau rupanya.

Aku bergegas menghampirinya. Situasi sedang gawat darurat seperti ini terlalu beresiko untuk diganggu orang yang mengigau.

“Om, bangun, Om!” Aku menggoyang-goyangkan bahu Om Yulian dengan panik. Tapi langsung ditepisnya dengan kasar.

“Jangan berani-berani kau menyentuhku, Vladimir Putin! Aku tahu kau jago beladiri, tapi aku pun belajar pencak silat sedikit. Sini! Kembalikan ikan patinku!!”

“Om, ini aku, Agung!”

“Diam! Kau bisa menyerang Ukraina, tapi jangan kau berani-berani menyerang Yulian, karena aku belum tentu berani melawan!”

Aduh, pamanku ini benar-benar memilih waktu yang salah untuk mengigau.

“Kalau kau mau mendirikan warung makan Patin Putin, silakan cari ikan patin di tempat lain. Jangan ambil patinku, sebab … PUAH!!” Igauan Om Yulian dibuyarkan oleh siraman sisa teh hangat dari gelas yang diguyurkan ke wajahnya.

 

Om Yulian terbangun, lalu duduk terbatuk-batuk sambil menyeka wajahnya. Rupanya pelaku penyiraman itu ialah Om Wira.

Kemudian suara Ratu Bahari kembali membahana, “Aku akan buka pintu portal dimensi. Kalian semua akan membantuku, yang menolak akan langsung menemui takdirnya menjadi menu makan siangku.”

“Tunggu, Ratu, biarkan kami berpikir dan berdiskusi terlebih dahulu!” Seru Kapten Togar.

“Baik, kuberi kalian waktu berpikir selama satu jam. Aku akan kembali. Dan jangan merepotkan diri kalian untuk menyelamatkan diri. Kalian terkurung sepenuhnya di dalam kapal ini! Hihihi!” Ratu Bahari mengakhiri kalimatnya dengan lengkingan tawa yang memekakkan telinga. Lalu sosok tubuhnya menghilang begitu saja dari pandangan. Kepergiannya meninggalkan bau amis yang menguar di dalam kabin.

Kami semua terduduk di lantai. Aku tak tahu dengan penumpang lainnya, tapi saat ini di dalam hatiku muncul perasaan takut, jijik, dan sedikit rasa mual di perut ingin muntah. Aku tak menyangka perjalanan yang tadinya kupikir akan seru penuh suka cita, malah menjadi pengalaman pertamaku bertemu dengan makhluk yang seharusnya tak kasat mata. Selain itu aku juga merasa sangat bersalah karena ini semua memang terjadi karena kekhilafanku tadi. Andai aku menuruti Kapten Togar untuk melepaskan joran pancing itu.

Tapi di sisi lain, kata-kata makhluk tadi tentang pintu portal dimensi, pencarian mustika, kaum pencoleng, semuanya membangkitkan sisi petualangan di dalam diriku. Sudah lama kedua kaki ini tidak melangkah ke luar dari zona nyamannya yang hanya berputar di sekitar kamar kost dan tempat kerja. Aku penasaran andai portal dimensi itu benar-benar ada, seperti apakah wujudnya.

Carla terlihat masih memeluk ayahnya. Mereka berdua terduduk saling peluk. Bimbim memeluk lututnya. Kedua matanya diliputi sinar kemarahan. Aku tak bisa menerka penyebabnya. Apakah ia merasa bersalah karena sudah menebas tentakel yang ternyata bagian tubuh dari sang penunggu samudra, atau malu karena tadi terlihat takut di hadapan orang lain sampai memeluk Om Wira, entahlah.

Hanya Kapten Togar yang terlihat tetap berdiri dengan tenang. Matanya menerawang menatap lantai kabin. Tapi aku tahu di dalam otaknya dia sedang memikirkan sesuatu. Dilepasnya bandana merah di kepalanya. Terlihat rambut putih yang sudah menipis di sana. Disekanya keringat di tengkuknya menggunakan bandana itu. Aku baru memperhatikan di bagian atas tengkuk Kapten Togar yang tadinya tertutupi oleh bandana, tertoreh tato berbentuk seekor burung hitam yang sedang merentangkan sayapnya.

Dan Om Yulian … pamanku itu masih saja mengucek matanya. Nyawanya seperti belum seutuhnya ‘terkumpul’ setelah dibangunkan dengan paksa tadi. Usai puas mengucek mata, diminumnya sisa teh hangat di gelasnya.

“Gung, yang barusan teriak-teriak dan tertawa itu siapa? Setan kah, atau Kuntilanak? Kok dia mainnya jauh sekali sampai kesasar di tengah laut? Biasanya kan dia di kuburan atau di hutan,” Tanya Om Yulian santai.

Aku menceritakan kejadian dari awal tentang kemunculan makhluk yang mengaku sebagai Ratu Bahari tadi.  Perubahan wujudnya yang mengerikan dan apa yang menjadi tuntutannya.

“Ah, dasar setan banyak maunya. Sudahlah aku mau menghirup udara segar dulu di luar,” Om Yulian tiba-tiba beranjak dan menuju ke luar pintu kabin tanpa seorang pun sempat mencegah. Dibukanya pintu dan ditutupnya dari luar.

Kapten Togar berdeham beberapa kali sebelum membuka suara,

“Para penumpangku yang baik, apapun yang akan kita hadapi nanti saat makhluk itu datang kembali, akan kuhadapi sendiri. Mari kita berdoa untuk keselamatan kita bersama. Seumur hidup aku menjelajah lautan, baru kali ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri makhluk gaib yang mengaku menguasai samudra dan seisinya. Aku bukannya takut pada makhluk itu, tapi sepertinya saat ini kita tak punya pilihan lain selain menuruti kemauannya. Biarlah kucari jalan keluarnya untuk menyelamatkan nyawa kita semua.”

Pintu kabin menjeblak terbuka. Sosok Om Yulian terlihat panik di ambang pintu.

“Gawat, kawan-kawan! Di luar, langit dan laut menghilang, entah siapa yang mengambilnya!” 

***

(bersambung)

 

Posting Komentar

0 Komentar