Gambar google.com |
PERANG
Sama sekali tidak terlintas dalam benakku.
Wajah Ayah yang keriput itu tidak lagi secerah kemarin. Seperti langit yang tak
lagi memancarkan warna keperkasaanya biru. Ia mendadak hitam dipenuhi
butiran-butiran air yang sebentar lagi akan menyirami bumi. Entah apa yang ia
pikirkan. Ia hanya diam dan terus diam. Seolah-olah raut wajah yang keriput itu
telah dibelenggu oleh rasa penyesalan dan rasa cemas yang amat mendalam.
Di rumah hari ini tidak lagi sama seperti sebelumnya.
Semuanya itu mendadak berubah. Suasana ramai tak lagi hadir. Suasana itu
terlalu mencekam, terlalu mencekam. Aku tak bisa memprediksinya, entah kenapa.
Tak lama kemudian kami semua ikut tenggelam dalam sunyi, tanpa cakap seperti
biasanya lagi. Aku berpikir mungkin ada sesuatu yang tidak beres yang terjadi
pada Ayah. Dalam hati kecilku berpikir; Mungkin Ayah masih merindukan Ibu yang
telah pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya beberapa bulan yang lalu
atau mungkin ia merasa cemas terhadap peristiwa kematian yang sedang menantikanya.
Tetapi, hari ini aku juga merasa bersalah, karena aku agak terlambat membelikannya
koran di Kios Om Ito yang letaknya tidak jauh dari rumah. Karena Seperti
biasanya, setiap pagi Ayah senang membacakan dan mendengarkan berita baru baik
yang disiarkan langsung di TV maupun dari surat kabar Pos Kupang yang sangat
populer untuk dibacahkan oleh masyarakat umum di Provinsi kami.
Dengan hati yang tidak tenang Aku terus
melawan suasana ini. Dari pintu utama secara perlahan aku memberanikan diri
berjalan mendekati Ayah yang lagi duduk di kursi roda tepatnya di branda rumah.
Ia hanya termangu sembari menatap alam yang begitu cerah.
“Selamat pagi Ayah?” Sapaku dengan tenang.
Ia tidak menjawabku sama sekali. Aku hanya
melihat bibirnya bergetar, tetapi tak ada satu pun kata diucapkan. Matanya yang
coklat itu dipenuhi air, dan tidak lama kemudian air yang mengenangi matanya
jatuh membasahi pipinya yang keriput itu. Aku mendekat dan kemudian memeluknya.
Dalam pelukanku, aku merasa jantungnya berdetak tak terkendali, berdetak
kencang seperti dewa kematian akan menjemputnya segera. Kemudian dengan cepat
dari beranda rumah aku memangil istriku yang lagi sibuk mengurus anak-anak yang
sebentar lagi diantar ke Sekolah, siapa tahu ia memarahinya atau membuat
susunya tidak enak seperti yang ia inginkan sebelumya. Namun istriku sama
sekali juga bingung dengan pertanyaanku. Ah, Tuhan. Entalah.
Pikiranku menjadi kalang kabut. Serentak aku
pun tak memberanikan diri lagi untuk bertanya kepadanya, entah apa yang terjadi
pada dirinya. Aku ingin hatinya tenang. Karena Aku tahu sifat Ayah yang keras
itu masih berkobar dalam hatinya.
Meskipun sekarang Ayah sudah tua, sebagai
seorang anak aku selalu taat padanya. Setiap hari aku selalu meminta nasihat
dan motivasi darinya, khusus pendapatnya tentang pekerjaan yang aku geluti saat
ini. Aku senag mendengarkan kata-kata yang begitu bijak.
Sekarang
meskipun aku memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat, aku terus
menyimpan semua nasihatnya. Setiap kali kami berkumpul bersama, ia selalu menyampaikan
nasihat-nasihatnya kepada kami, katanya; “Nak, seberapa pun pangkat atau
kedudukanmu dalam kehidupan bermasyarakat, kamu harus tetap menjaga dan
menghidupi sikap kerendahan hati, disiplin, jujur dan bertanggungjawab. Jangam
memberanikan diri untuk menjanjikan sesuatu kepada orang yang berharap padamu,
karena seringkali kita lupa dan mudah mengingkari janji itu. Jangan menghakimi
yang lain karena mengaangap dirimu peting. Singkirkan semua dalam hatimu rasa
angkuh dan sombong, karena hal itu akan membahayakan dirimu sendiri.” Semua
nasihat itu selalu aku ingat dalam segala kesibukan dan pekerjaanku.
***
Meski saat ini aku telah menjadi seorang ayah
untuk kedua putriku, Aku masih ingat semua pengalaman-pengalaman sejak dulu. Aku dan Bang Doni serta kedua adik
perempuanku dididik oleh Ayah seperti halnya
dalam sekolah militer. Bangun pagi tepat waktu, membersihkan rumah, membantu
pekerjaan rumah, melatikan diri untuk bersikap jujur dan belajar tepat waktu
serta semua hal lainnya yang membuat kami bertumbuh menjadi anak yang lebih
baik.
Dulu, pada suatu waktu persis hari minggu Aku dan
Bang Doni mendapatkan hukuman dan teguran yang keras dari Ayah. Hal itu terjadi
karena Aku dan Bang Doni bermain tanpa menghiraukan Ibu yang memanggil kami
untuk menjaga kedua adik perempuan yang pada saat itu masi berumur tiga tahun.
Akibat dari kenakalan itu, aku tak sadar menjatukan gelas kesayangan Ayah yang
di luarnya berukir huruf TNI AD yang terletak di atas meja makan. Hal itu terjadi
karena Aku melarikan diri tanpa kendali dikejar oleh Bang Doni. Ibu hanya diam
saat itu. Malam pun tiba ibu memanggil kami untuk menghadap Ayah. Tanpa memakan
waktu yang panjang Ayah langsung mencubit dan menampar kami satu per satu. Tak
berani kami berteriak, karena merasa
bersalah kami hanya diam meski apa yang telah dilakukan oleh Ayah sedikit keras.
Dari pintu dapur ibu hanya senyum melihat wajah kami merah. Aku dan Bang Doni tamba
jengkel dengan ibu. Mungkin Ibu telah bekerja sama dengan Ayah untuk menghukum
kami seperti ini. Sejak saat itulah kami mulai berubah hingga kami memasuki
usia dewasa.
Setelah kami melewati waktu yang begitu lama,
kami semua sukses terhadap apa yang kami geluti. Bang Doni sebagai yang sulung melanjutkan
pekerjaan ayah yaitu menjadi perwira angkatan darat dan ia bekerja di pusat
kota. Sementara aku mendapatkan gelar sarjana ekonomi dan bekerja pada sebua
kantor camat di dekat rumah di tempat kelahiran kami, sementara kedua adikku mendapat gelar yang sama yaitu
menjadi perawat dan bertugas di pusat kota. Betapa bangganya hati Ayah dan ibu
melihat anak-anaknya sukses. Wajah ayah yang sedikit keras itu memancarkan
senyum kebahagiaan.
Saat ini, jika aku menceritakan kembali semua
pengalaman masa lalu kepada anak-anakku, dari kursi roda ayah tertawa mengenang
kembali semua itu. Sekarang hari-hari ayah dihiburi dan diwarnai oleh kehadiran
kedua putriku. Seperti biasa ia juga masih memberikan nasihat-nasihat seperti
biasa kepadaku, karena ia selalu cemas, jangan sampi aku di bunuh oleh
kata-kataku sendiri.
***
Pada suatu sore dikala senja mulai mewarnai di
ujung barat rumah, Ayah memintaku mendorong kursi rodanya untuk keluar rumah sembari
menikmati udara yang begitu segar. Cuaca
hari itu begitu bersahabat. Langit membentangkan warna keperkasaanya biru,
tanpa sedikit awan yang menyelimutinya. Wajah ayah juga begitu cerah. Dengan
suara kecil ia menyanyikan lagu yang sama sekali belum pernah aku dengar dan lagunya
juga tidak terdengar jelas di telingaku. Hanya beberapa kalimat yang aku dengar
dengan jelas di akhir lagunya itu: Tuhan kemanakah Engkau pergi? di sini
perang masih menghantuiku.
Aku hanya diam dan mencobah mengarahkan
pandanganku ke mulutnya. Aku berpikir ia masih mengingat masa lalunya yang amat
gelap itu, di mana ia berjuang di antara tembakan peluru yang berusaha merengut
nyawanya. Aku tak berani menanyankan maksud dari lagu itu. Entalah, hanya ia
yang tahu.
“Hati-hati Nak, tanah kita masih berperang,”
serentak ia mengucapkan kata-kata itu, sembari aku duduk di sampingnya.
“Perang apa lagi ayah? Bukankah kita sudah
merdeka?” jawabku dengan agak binggung.
“Jangan pikir yang seperti itu Yah,” lanjutku
lagi.
Aku binggung mau menjawab apa lagi, ucapan
ayah sama sekali tidak aku mengerti. Entah dari mana kata perang itu ia
dapatkan. Ah, mungkin Ayah mengingat semua masa lalunya ketika ia berjuang
untuk berperang melawan penjajahan orang-orang Belanda dan Jepang yang ingin
menguasai tanah ini dan berperang melawan orang-oranya yang kontra dengan
kemerdekaan bangsa ini.
“Kamu lihat ngga Nak, berita yang
hangat diperbincangkan sekarang. Setiap hari terus mengabarkan berita yang
persis sama. Semua media membahas dan mengali berita yang sama. Tanpa ada
penyelesaian. Bosan juga kita mendengar.”
“Lantas, jika memang masi berperang Yah,
siapakah yang menjadikan musuh negara kita?”
Jika memang musuh masih ada aku akan menelpon Bang
Doni untuk mempersiapkan diri untuk berperang. Meremukan tulang-tulang mereka
yang berani menguasai tanah ini. Mungkin mereka tidak tahu bahwa negara kita
sekarang lebi kuat dan canggih dari pada negara mereka. Aku akan tertawa dan
menghina mereka dengan jelek ketika mereka kalah dalam perang itu. Perang itu
juga sebagai misi balas dendam atas kesengsaraan rakyat Indonesia beberapa puluh
tahun yang silam itu.
“Kita sendiri yang menjadi musuh,” Jawab ayah
singkat.
“Ha!”
“Kamu masi belum mengerti nak, Perang itu
sudah menjadi sahabat kita.” Dengan muka memerah ia menyampaikan hal itu.
“Tapikan kita sudah merdeka Yah,” Jawabku
dengan yakin.
“He-he-he, kita masih berperang Nak! Lihat,
sekarang banyak orang yang masih belum mengakui Yang Lain. Pembunuhan dan
ketidakadilan sering terjadi di mana-mana. Tindakan Pembunuhankan bagian dari
perang juga. Jabatan menjadi tolak ukur seseorang untuk menguasai Yang lain. Entalah
Nak, intinya kamu tidak tergoda oleh pekerjaanmu untuk memperlakukan Yang Lain dengan
tidak adil.”
Sejenak aku diam, menarik makna dari ungkapan
ayah itu. Aku baru sadar apa yang disampaikanya benar. Sungguh, janji yang
telah diucapkan oleh para pendahulu bangsa ini sudah tak lagi dihargai. Rasa
persatuan sudah mulai pudar.
Rasa cemas Ayah terhadap bangsa ini menjelang
kematiannya membuat ia tidak tenang, dan tidak menerima takdir yang akan segera menjemputnya.
***
Setelah beberapa hari kemudian Ayah mendadak
kritis. Kami tidak tahu hal apa yang kami harus lakukan lagi untuk menyelamtkanya.
Penyakit yang ia derita selama masa tuanya sudah mengakar ke seluruh tubuh dan
hal itu yang membuat nyawanya tak bisa tertolong lagi. Kini dewa kematian telah
menjemputnya. Kepergianya menyimpan luka yang amat mendalam bagi kami. Tak ada
lagi orang yang memberi nasihat kepadaku. Semoga kepergianya akan menjadi lebih
tenang dan ia akan selalu mendoakan bangsa ini, agar kata “perang” yang selalu
ia ucapkan itu akan secepatnya pergi.
Dan setela ia pergi bangsa ini akan menghidupkan kembali janji persatuan yang
telah dihidupi oleh para pendahulu. Mereka yang telah pergi pasti akan
tersenyum di alam sana jika melihat anak-anak bangsa menghidup kembali rasa
persatuan di atas bangsa ini.
@Pikirku, Juli 2023
________________________
Safry Dosom nama pena dari Saverinus Dosom, tinggal di maumere. penulis sangat senang membaca dan menulis cerpen.
0 Komentar