CERBUNG MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (8) || CYGALLA

 

Ilustrasi Pixabay.com

MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (8)

 “Dengarkan, kalian semua. Aku belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya, tapi aku cukup yakin saat ini kita dalam bahaya. Jangan tanya kenapa aku bisa demikian yakin, karena naluri seorang pelaut sejati jarang salah,” ucap Kapten Togar lirih.

Tak ada yang seorang pun yang bersuara menanggapi Kapten Togar.

“Aku yakin ini semua ada hubungannya dengan gurita raksasa tadi, Kapt,” ucap Bimbim.

“Aku pun meyakini demikian.” Kapten Togar melirik ke arahku.

Aku mengalihkan pandangan dari Kapten. Rasanya tak nyaman jika kita berada dalam situasi berbahaya dan mengetahui bahwa kita sendiri lah yang dianggap sebagai penyebab situasi berbahaya tersebut.

“Setidaknya kita bisa meminta bantuan lewat radio kapal, kan?” Tanya Om Wira.

“Barusan aku sudah memeriksanya. Radio kapal, mesin kapal, bahkan kompasku di anjungan, semua peralatan navigasi tak berfungsi,” ungkap Kapten dengan nada cemas.

“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Kapt?” Tanya Bimbim.

“Sebaiknya kita… “ Kapten Togar gagal menyelesaikan kalimatnya. Penyebabnya karena lampu kabin tiba-tiba mati seluruhnya. Terdengar suara Carla menjerit tertahan. Situasi dalam kabin kini jadi gelap gulita dan semakin mencekam.

“Jangan ada yang bergerak, aku akan mencari senter,” terdengar suara kapten Togar.

Selang beberapa detik, penerangan kembali menyala normal. Situasi kabin sepertinya tak berubah. Tapi ada sesuatu. Sesuatu yang tadinya tak ada di dalam kabin, namun kini muncul di hadapan kami.

“Ayaaah!” Carla berbalik mendekap ayahnya sambil menjerit.

“Ya Tuhan.” Bimbim menutupi mata dengan kedua tangannya.

Aku pernah beberapa kali merasakan mati lampu di kamar kost pada malam hari. Pandangan gelap dan hati seolah ikut menyempit. Lalu, setelah berjam-jam dalam kegelapan, sama seperti kepergiannya yang mendadak, listrik tiba-tiba datang mengembalikan nyawa penerangan. Sensasi yang kurasakan saat lampu kembali menyala itu biasanya terasa sangat melegakan.

Sayangnya kali ini sensasi melegakan itu tak terasa sama sekali. Karena begitu lampu penerangan di atas kabin kembali menyala, hal pertama yang terlihat oleh mata kami adalah; sesosok makhluk sedang berdiri tepat di tengah-tengah ruangan kabin. Bagian kepala makhluk itu memang berwujud kepala manusia, tepatnya kepala wanita berambut merah dengan wajah yang sangat cantik dengan kedua matanya terpejam. Sedangkan sekujur tubuhnya terbalut jubah putih yang bersinar. Jubah itu menutup rapat dari leher hingga bagian terbawah tubuhnya dan agak menggelembung di bagian tengah sehingga perutnya terlihat bulat serta berukuran besar tak proporsional. Tak terlihat pergelangan tangan maupun kakinya karena rapatnya jubah itu. Jika diperhatikan dengan seksama, jubah putih itu seperti bertabur manik-manik kecil yang berkilauan. Bagiku makhluk itu mirip manusia yang berselimutkan semacam gorden. Masalahnya aku tak melihat tubuhnya menyentuh lantai kabin. Ia mengambang di udara sekitar satu meter di atas lantai. Jadi ya, pastinya makhluk itu memang bukan manusia.

Terlintas di pikiranku, dan mungkin juga di pikiran penumpang lain; makhluk yang berdiri mengapung di hadapan kami ini adalah semacam hantu atau roh jahat. Carla sudah membalikkan tubuh sepenuhnya memeluk Om Wira sambil terisak ketakutan. Bimbim ternganga dan tubuhnya gemetar. Aku sendiri seumur hidup belum pernah melihat setan ataupun spesies makhluk halus lainnya. Dan pengalaman pertamaku ini menurutku cukup menarik. Selain karena wajah makhluk itu sangat cantik melebihi Carla, aroma seisi kabin juga mewangi. Berani bertaruh aroma wangi ini datang dari tubuh makhluk itu. Hanya Kapten Togar yang kulihat tetap tenang. Sementara Om Yulian … hmm, ia masih beristirahat dengan sangat damai di sofa kabin sambil mendengkur.

“Selamat siang. Aku Togar, kapten di kapal ini. Mohon Tuan Putri sudi kiranya memperkenalkan diri dan janganlah mengganggu kami,” Kapten Togar bersuara dengan lantang. Aku mengagumi keberaniannya.

Makhluk itu bergeming. Ia mengambang tak bergerak di hadapan kami.

Kulihat Kapten Togar tetap bernapas dengan normal. Namun tubuhnya tidak mengeluarkan gerakan yang berarti. Ia terlihat sangat tenang.

“Selamat Siang ... Aku Togar ....” Kapten Togar mengulangi kalimatnya namun terputus. Penyebabnya adalah terdengar sayup-sayup suara tawa wanita di sekeliling kabin.

“Hm-hm-hm .…” Tawa berdeham lembut yang misterius. Tawa itu terdengar lembut seperti ayunan ombak di Dermaga Marina pagi tadi. Tapi lambat laun suaranya meninggi. Lalu semakin melengking.  Carla memeluk ayahnya semakin erat.

Aku merasakan keanehan. Ekspresi dingin wajah makhluk mirip wanita itu tak berubah, tetap datar dan matanya masih terpejam seperti orang yang sedang tidur. Meski terdengar suara tawa membahana namun wajah makhluk itu tetap datar. Tak ada guncangan lembut seperti yang biasa terlihat pada tubuh orang yang sedang tertawa.

“Berbicara satu kali … kesalahan tiga kali,” tiba-tiba terdengar suara lembut seorang wanita bergema di ruangan kabin. Makhluk itu kah yang mengucapkannya? Tapi aku tak melihat ada gerakan di mulutnya yang terkatup rapat.

“Kesalahan pertama, aku bukan tuan putri, aku ini RATU!” Terdengar geraman menyeramkan saat kata ‘ratu’ diucapkan.

“Kesalahan kedua, kau TIDAK meminta kesudian kepada seorang ratu untuk memperkenalkan dirinya. Ratu bebas melakukan apa pun, dan kapan pun sesuai kehendaknya sendiri.”

Aku menatap Kapten Togar. Ia benar-benar terlihat seperti burung elang yang melayang santai, perkasa mengangkasa. Tak terlihat ada ketakutan di kedua matanya. Sebaliknya, justru ia terlihat sangat tenang.

“Kesalahan ketiga; apa katamu tadi? ‘Jangan-mengganggu-kami’?!”

“Siapakah yang mengganggu, Kapten? Tuan rumah yang bicara baik-baik kepada tamunya, ataukah ... tamu tak diundang yang datang untuk mengganggu dan mengganyang anak-anak tuan rumah? Kalian memasuki wilayahku dan menangkapi anak-anakku dengan tali yang diberi kail ujungnya.”

Aku yakin Kapten Togar memahami kalimat itu melebihi pemahamanku. Karena gestur dan ekspresi wajahnya kini terlihat bersiap menjawab.

“Aku sebagai Kapten sepenuhnya akan bertanggung jawab untuk kesalahanku maupun kesalahan teman-temanku ini. Hukumlah aku dan tolong biarkan mereka pergi dengan selamat.”  Kapten Togar menjawab dengan lantang dan tetap tenang dalam bersikap. Aku semakin mengaguminya.

“Berbicara untuk yang kedua kali, kesalahan semakin berkali-kali,” kembali suara wanita tadi terdengar lembut, meski dengan nada yang sinis.

“Kau tak bisa bertanggung jawab untuk orang lain. Tanggung jawab adalah kewajiban setiap makhluk atas dirinya masing-masing.”

“Dan aku kesini, bukan untuk menghukum, tapi untuk menuntut bantuan.”

Kalimat terakhir itu di luar dugaanku. Menuntut bantuan? Bukankah dia sendiri tadi berkata bahwa dia seorang ratu? Hal apakah gerangan yang demikian sulit didapatkan seorang ratu sehingga membutuhkan bantuan dari manusia-manusia jelata seperti kami ini? Kenapa pula ia menggunakan kata ‘menuntut’? Lalu kuralat sendiri pikiranku. Dia bukan ‘seorang’ ratu. Dia kan, bukan manusia. Jadi lebih baik disebut ‘sesosok’ ratu.

Suara sang ratu kembali membahana. “Perhiasanku, mustika-mustikaku, telah hilang dicuri oleh gerombolan pencoleng. Aku sedang dalam pencarian untuk menemukan benda-benda berharga tersebut melewati lubang portal dimensi, saat tiba-tiba perjalananku dihadang oleh manusia-manusia bodoh yang, jika bukan karena belas kasihku, pasti sudah kubunuh mereka semua.”

“Siapa kah manusia-manusia bodoh yang kau maksud itu, Ratu?” Tanya Kapten Togar.

“Kebetulan salah satunya adalah lawan bicaraku saat ini,” jawab sang ratu. Jawaban itu merubah air muka Kapten Togar jadi agak gelisah.

“Kami, eh, aku ... akan siap membantumu, Paduka Ratu,” ucap Kapten Togar lagi.

“Tunggu dulu ....” Om Wira tiba-tiba menyela.

“Jika benar kau seorang ratu, maka seharusnya kau lebih dari sekedar mampu untuk menemukan sendiri harta bendamu itu, bukan? Kenapa kau harus minta bantuan kami,” Pertanyaan Om Wira masuk akal bagiku. Tapi kulihat Kapten Togar menggelengkan kepalanya pelan, seolah ia menyesalkan pertanyaan Om Wira tersebut.

“Hmm ... sesama manusia bodoh, menanyakan hal bodoh,” dengus sang ratu sinis.

“Maaf jika pertanyaanku menyinggungmu, Paduka Ratu,” Om Wira tertunduk.

“Aku memang tak seharusnya membutuhkan bantuan manusia macam kau dan teman-temanmu ini. Aku sedang mengejar buruanku, tapi tiba-tiba kapalmu menghalangi pergerakanku, bahkan kalian dengan sengaja melukaiku!”

“Melukaimu?” Suara Bimbim mengejutkanku. Rupanya dia sudah kembali menemukan keberanian untuk bisa berbicara langsung dengan makhluk di hadapan kami ini.

Sedetik.

Dua detik .…

Tiga detik.

Hening, tak ada jawaban.

Lalu. Hal yang tak nyaman terjadi.

Wajah sang ratu yang sejak awal selalu datar tanpa ekspresi bagaikan seorang wanita yang sedang tertidur, mulai terlihat bergerak-gerak. Garis lurus bibirnya perlahan melebar. Hingga kupikir bibirnya seperti akan tersenyum. Tapi garis mulut itu terus melebar. Melebar dan semakin … aku tak percaya dengan penglihatanku sendiri, garis mulut sang ratu melebar hingga terus bergerak ke ujung pipi kanan dan kirinya. Ketika garis mulut itu menyentuh daerah yang seharusnya ada telinga, tak bisa kulihat telinganya karena tertutup rambut merah yang lebat, mulutnya mulai terbuka perlahan dengan suara menjijikkan seperti suara dari terbukanya sesuatu yang lengket berlendir.

Mulut itu terbuka mengikuti garis yang tadi melebar. Begitu lebar, hingga kurasa mampu menelan seekor kucing bulat-bulat. Dia bukan lagi wanita yang berwajah cantik. Di dalam mulutnya yang ternganga aku bisa melihat ratusan gigi tajam saling bertumpuk, mirip seekor buaya yang sedang memamerkan giginya. Tapi, berani sumpah … buaya masih jauh lebih cantik dibandingkan dengan makhluk ini. Om Wira dan Bimbim memalingkan wajahnya. Aku pun ingin, tapi di sisi lain aku juga penasaran. Pengalaman pertama kali melihat setan ini harus kunikmati sebaik mungkin.

 ***

  

Posting Komentar

0 Komentar