TERJAGA || PIUS KRAENG

 

Ilustrasi google.com

TERJAGA

Pukul 02.59 WITA. Tinggal  seputaran lagi detik menuju pukul 03.00, pria itu masih belum juga dapat tidur. Di luar, lolongan anjing terdengar riuh. Sepintas dia lalu teringat akan cerita mamanya dulu, kalau para suanggi biasanya berkeliaran dari pukul 19.00 dan baru kembali ke alam mereka pukul 03.00. namun, bukan ketakutan ini yang membuatnya sulit memejamkan mata. Dia akhirnya memutuskan untuk bangun dan mengecek kasurnya. Ternyata, pada bagian- bagian yang berundak- undak itu, ada sederetan kutu busuk yang nampak buncit perut mereka. Dengan amarah di dada, dia lalu mengambil satu per satu dan meletakkannya di lantai kemudian menginjaknya sambil mencaci; “Matilah engkau beserta keturunanmu”. Setelah memastikan bahwa kasurnya sudah benar- benar bersih dari ketenggi jahanam, dia kembali merebahkan diri. Akan tetapi, justru yang sekarang terasa gatal bukan lagi bagian kaki atau tangannya sebagai sasaran empuk bagi nyamuk dan ketenggi tadi, melainkan kepalanya, tempat segala pikiran bersarang. Bolak- balik tiada henti, dia akhirnya kembali bangun dan mengambil secarik kertas HVS A4 yang tinggal tersisa bagian belakangnya, lalu mulai berkisah. Mungkin dengan cara ini, dia bisa berdamai dengan semua rasa yang bergejolak.

* * * * * * * * * * * *

Namanya; Elluna. Lebih lengkapnya adalah; Oktaviano Elluna da Gomes. Sejak berusia 6 tahun, dia sudah bercita- cita menjadi seorang Pastor, karena ketertarikannya kepada Misionaris SVD (Societas Verbi Divine) yang pernah berkarya di Parokinya; St. Antonius Padua Kalikasa. Seturut penuturan ibunya, mereka (Orang- orang kulit putih) sangatlah berjasa bagi orang- orang sekampungnya. Selain karena mereka sering membagikan manisan kepada anak- anak kecil, mereka juga memiliki kharisma khusus yang memungkinkan segala hal dapat terjadi. Konon, dengan menepi ke ruang bawah tanah yang terletak di lantai dasar kamar selama semalam suntuk maka segala kebutuhan dalam bentuk apapun itu yang mereka inginkan akan terkabulkan pada keesokan harinya. Gudang yang semulanya kosong, tiba- tiba sudah didapati penuh sesak oleh semen dan pipa- pipa berukuran kepala orang dewasa, yang kemudian dipakai untuk membangkitkan listrik tenaga air (PLTA) di kampung mereka. Tentu, hal ini cukup mengundang decak tanya di kepala para warga kampung, mengingat letak kampung mereka yang jauh dari lautan, ditambah dengan tak seorang pun yang mengaku kalau- kalau mereka terlibat dalam pengangkutan barang- barang tersebut. Hingga sekarang, misteri- misteri itu belum juga terpecahkan, meski pipa- pipa itu tak lagi difungsikan karena sudah adanya PLN. Berbekalkan cerita- verita yg demikian fantastis itu, dia kemudian bermimpi agar kelak bisa menggantikan posisi orang- orang kulit putih tadi. Alhasil, perjalanan panggilannya pun mulai disusuri satu per satu, sejak dari Seminari Menengah selama kurun waktu 4 tahun, lanjut ke formasi dasar (Novisiat) selama 2 tahun hingga akhirnya melangkah ke Seminari Tinggi Ledalero ini. 

Dia sadar, kalau impiannnya ini sudah sepenuhnya didukung oleh keluarga, walaupun statusnya adalah anak laki- laki tunggal dalam budaya Patrineal. Sebab, di pundaknya turut bersemayam cita- cita ayahnya yang sempat terkubur untuk menjadi Imam Vocationis, pun dengan mimpi kakak sepupunya yang hanya mentok di Seminari Menengah karena kedapatan merokok oleh Pembina. Untuk itu, eks atau mengundurkan diri tentunya adalah kalimat pantang dalam kamus hidupnya. Namun, di titik itulah dia sekarang berada. Sebulan lalu, dia dipanggil oleh Pater Prefek ke kamarnya. Terjadi tanya- jawab antara ke duanya terkait kehidupannya selama setahun silam ini. Rupanya status yang sekarang ia sandang (Ketua Unit), membuat Sang Pastor menaruh perhatian khusus pada segala lini dan inci aktivitasnya, lebih spesifik dalam hal kerohanian. Hal yang lebih mengejutkannya adalah, Sang Imam tua tersebut mengkotakkan sendiri kisaran waktu dari tanggal 1-16 April dan menanyakan kehadirannya di Kapela. Sampai pada tahap ini, dia hanya bisa diam. Sejujurnya ia ingin berterus terang namun takut divonis melanggar kaul ketaatan yang baru dihidupinya setahun ini. Karena persis pada tanggal- tanggal yang telah disebutkan itu, dirinya tengah berada di stasi lain guna melayani umat sebagai Organis sejak minggu palma hingga Paskah. Di sinilah letak kesalahannya yakni tidak meminta izin terlebih dahulu. Kandas di bagian ini, Sang Pastor lalu menyarankannya untuk sesegera mungkin membuat surat pengunduran diri tanpa mengklarifikasi lebih jauh aspek- aspek lainnya, semisal keterlibatan dalam dunia Teater ataupun sekedar menanyakan IPK- nya yang telah ia perjuangkan untuk melampaui rata- rata. Dalam hitungan detik, hasil dari pertemuan itu lalu diputuskan sepihak dan dittutup dengan doa “Kemuliaan Kepada Bapa, dan Putra dan Roh Kudus” yang diangkat senidiri oleh sang Pastor. Dengan mulut berat, dia lantas menjawab “Amin” lalu melangkah ke luar pintu dengan kepala tertunduk. 

* * * * * * * * * * *

Semua slide- slide sewaktu masih mengenakan jubah dan membagikan hostia kudus kepada umat di stasinya, tidak lagi terasa manis melainkan pahit bak empedu. Sebab, ketakutannya yang paling hakiki adalah berhadapan dengan beragam mulut- mulut umat di kampung yang kelak akan sampai pada sebuah asumsi; “Anak itu keluar jika bukan karena sakit, maka pasti perempuan”. Selalu stigma itu yang ada di pikiran mereka dan diwariskan turun- temurun. Hal ini pula yang membuat batinnya berguncang hebat ketika hendak mengimitasi contoh format surat pengunduran diri yang sedari tadi tergeletak di atas meja belajarnya sejak pagi tadi. Namun, karena palu sudah diketuk dan keputusan pembesar pun tak bisa diganggu gugat, dia akahirnya memberanikan diri, berdamai dengan gemetar tubuhnya untuk mulai menuliskan kata- kata itu abjad per abjad. Dia menginsyafi, bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing- masing, sehingga hal yang diperlukan adalah bertanggung jawab atas segala yang telah dibuat, termasuk juga dalam menampung setiap umpatan yang keluar dari mulut warga kampung nanti. Sebab, dunia akan selalu sempit bagi kita yang hendak menjaga kewarasan agar tidak menjadi gila di kemudian hari. 


Di akhir surat itu, tertera; “Dengan ini, Saya Fr. Oktaviano Elluna da Gomes, SVD memutuskan untuk mengundurkan diri dari Serikat Sabda Alah tanpa adanya paksaan dari pihak manapun, melainkan dari dorongan pribadi saya sendiri”. Akh... bukankah ini namanya pemaksaan kehendak. Namun belum sampai dia bergulat dengan kekalutan pikirannya sendiri, lonceng kapela pun berbunyi teng... teng.. teng.. itu pertenda bahwa seisi biara harus beranjak dari mimpi indahnya untuk mempersiapkan diri dan menghadiri doa serta perayaan ekaristi. Dalam hati dia mendesis; “Demi apa sebuah perayaan sakral bila hanya diikuti sebagai formalitas belaka dan bukan dari niat pribadi”. Setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya tadi, dia akhirnya kembali membenamkan diri di kala matahari ufuk timur hendak terbit. Dan sungguh. Tidurnya kali ini benar- benar nyenyak. Tak ada lagi kutu busuk yang berjejalan di tubuhnya, dan pikirannya pun terasa bebas.   


Tentang Penulis 

Pius Kraeng berasal dari Lembata dan kini sedang melanjutkan pendidikannya di IFTK Ledalero.

Posting Komentar

0 Komentar