PANDANGAN BUDAYA CINA KLASIK DAN ATOIN METO TENTANG KEPERCAYAAN SESUDAH KEMATIAN MANUSIA || YOHAN MATAUBANA


PANDANGAN BUDAYA CINA KLASIK DAN ATOIN METO TENTANG KEPERCAYAAN SESUDAH KEMATIAN MANUSIA 

Manusia selalu dihadapkan pada suatu yang pasti yakni kematian. Kematian berasal dari kata “mati” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut sudah hilang nyawanya atau tidak bernyawa. Sehingga, kematian merupakan peristiwa jiwa meninggalkan tubuhnya untuk selamanya.

Tentang kematian, budaya Cina percaya bahwa hwen (jiwa) orang yang sudah dikuburkan harus dihormati karena mereka dianggap masih hidup di antara mereka. Mereka juga percaya bahwa Hung T’ien Shang Ti[1] adalah Yang Maha Tinggi atau Tuhan Maha Kuasa. Begitu pula dengan budaya Atoin Meto suku dawan. Mereka percaya bahwa nitu atau orang mati diyakini raga mereka masih hidup di sekitar bumi ini, karena itu perlu dihormati. Mereka juga percaya bahwa Usi Pah[2] merupakan Yang Maha Tinggi atau Tuhan Maha Kuasa. Dalam pandangan ini timbul pertanyaan, mengapa budaya Cina dan Atoin Meto masih menghormati orang yang sudah dikuburkan? Dan bagaimana cara mereka menghormati orang yang sudah dikuburkan?

Pandangan Budaya Cina Klasik

Budaya Cina percaya bahwa terdapat Makhluk Tertinggi dan roh-roh. Makhluk Tertinggi atau penguasa kehidupan disebut Hung T’ien Shang Ti atau Lao-Tien-ye (Bapak Tuhan Langit) sedang  Hwen atau roh orang yang sudah mati.  Mereka percaya bahwa roh-roh orang yang sudah mati harus dihormati secara sangat khusus karena diyakini masih hidup di antara mereka. Mereka percaya bahwa roh-roh ini adalah leluhur yang menjadi perantara setiap permohonan dari manusia kepada T’ien Shang Ti ini.[3]

Penghormatan kepada leluhur sering dilakukan dengan cara membuat bangunan makam yang layak, mengadakan doa bersama dan mempersembahkan  sesaji atau korban hewan. Mereka percaya bahwa dengan adanya penghormatan ini, Hwen tidak mengganggu kehidupan manusia tetapi justru  akan membantu mereka menghantar permohonan mereka kepada Yang Maha Tinggi.

Pandangan Atoin Meto

Atoin Meto merupakan sapaan untuk orang-orang suku dawan.  Atoin berasal dari kata atoni yang artinya orang, sementara meto artinya kering (memiliki sifat keras). Atoin Meto berarti orang yang memiliki kepribadian yang keras.[4] Menurut mereka orang yang sudah meninggal disebut nitu sementara Wujud Tertinggi disebut Usi Pah atau Usi Neno (Bapa penguasa kehidupan).

Mereka percaya bahwa orang yang sudah dikuburkan, jiwa mereka masih hidup bersama manusia di bumi.  Tradisi menghormati roh atau leluhur ini biasanya berupa pembuatan makam yang layak, berdoa dan memberi sesaji atau korban hewan. Mereka percaya bahwa adanya penghormatan ini, roh-roh yang sudah mati tidak akan mengganggu manusia, justru mereka membantu menyampaikan intensi manusia kepada Usi Pah atau Usi Neno.

Kesimpulan

Pandangan budaya Cina dan Atoin Meto suku dawan tentang kepercayaan sesudah kematian memiliki kesamaan.  Perbedaan dari kedua pandangan ini hanya terletak pada penyebutan Yang Maha Kuasa dan roh atau leluhur. Persamaan terletak pada inti dari cara pandang mereka yaitu manusia dan roh atau leluhur memiliki relasi keharmonisan. Manusia menghormati roh-roh dan roh-roh  juga menghormati manusia.

Relasi saling menghormati ini bertujuan untuk kedamaian antara mereka dan rasa kesatuan bahwa mereka adalah dua kehidupan yang memiliki satu Wujud Tertinggi atau Tuhan Pencipta Kehidupan. Kepercayaan Wujud Tertinggi itu serentak menjadi penguasa atas manusia dan roh-roh. Dalam pandangan ini pula eksistensi manusia dan roh dibimbing oleh kepercayaan akan kekuasaan dari Wujud  Tertinggi itu sendiri.

Relasi antara manusia, roh orang mati dan Yang Maha Kuasa juga disebut sebagai relasi paralel. Manusia mendekatkan diri pada Tuhan melalui para roh dan dari roh mendekatkan diri secara langsung dengan Yang Maha Kuasa. Hubungan ini juga bisa disebut sebagai hubungan yang mengikat keintiman antara manusia dengan roh orang mati dan keintiman roh orang mati dengan Tuhan. Dari hubungan inilah tercipta kedamaian yang dipercaya dapat mendatangkan keharmonisan baik bagi manusia yang masih hidup maupun yang telah meninggal.

 



[1] Konrad Kebung, Filsafat Berpikir Orang Timur (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2011), hlm.,160.

[2] Wawancara dengan Hendrikus Tasoi, tanggal 29 April 2023 via telepon.

[3] Konrad Kebung. Op.Cit. Filsafat Orang Timur. Hlm. 160.

[4] Hendrikus Tasoi. Op.Cit. Wawancara Via Telepon.

Posting Komentar

0 Komentar