OMNIBUS RINDU || ANINDITA BUYUNG

 

Ilustrasi.Google.com


Omnibus Rindu


/1/

Penantian adalah ritus bagi sejoli

yang sejalan dalam memaknai kata pada puisi.

Sedangkan angin mencibir lewat bibir

yang berbisik pada malam yang mengadu pada hujan.

Biar lantas di bumi ia tumbuhkan perdu

yang perlahan menjelma rindu.


/2/

Hujan lekas melintas

di sela aroma kopi dan angin yang berpapas:

memaksamu luruh dari rantau pikiran,

menyisakan endapan di dasar cawan.


/3/

Rindu tersulut kian kalut.

Mata berbinar meski nanar.

Dan setiap kata yang tertulis berbicara

Hati memilih memendam rindu di jiwa.


/4/

Yang tergenang seusai hujan adalah rintik berisi perca-perca kata.

Lihatlah kekasih, tak semuanya ku jatuhkan ke tanah.

atau ke hatimu yang gundah.

Ku titipkan beberapa rintiknya pada daun,

agar pagi nanti mengembun.

Lekas kau seduh, lantas rindu meluruh.


(Magelang, 2023)


Sepotong Puisi di Perpustakaan


Sepotong puisi lahir dari rahim perpustakaan.

Bait-bait yang syahdu juga pilu,

rima-rima yang senada meski tak satu suara.


Sepotong puisi lahir dari celah buku yang bosan

sebab bersandar terlalu lama.

Jenuh sebab tak jua terbuka.

Ia membayangkan geliat kata di tubuhnya

menemukan pintu-pintu telanjang,

sehingga dengan merdeka ia bertualang

mencari mata dan telinga.


Sepotong puisi lahir dari buku yang usang

sebab terlalu sering ia digerayang.

Tangan-tangan manusia yang usil,

gusar bertanya-tanya perihal yang sentimentil.

Bagaimana kata-kata dengan mudah

mengubah hidup dan kehidupan?


Kita adalah sepotong puisi

yang lahir dari rahim perpustakaan sunyi.

Kita yang abai kepada kata,

menghamba kepada kata.

Namun, kita kembali lupa pada mula.


Magelang, Juli 2022


Geming


Ia hanya berdiri dan bergeming

di tepi lengangnya jalan raya,

yang sibuk mencari mangsa:

manusia-manusia yang tunduk pada waktu.


Ia hanya sibuk mematung:

memahat batu di tubuhnya sendiri,

mengabaikan bus, angkot, dan taksi

yang melintas dan berhenti

mengambil jeda menawarkan serta.


Ia hanya hening membatu:

melihat orang-orang yang lewat,

menjemput bus, angkot, dan taksi,

menaikinya; mengirimnya pada tuju

yang ada dalam rencana.


Lalu ia terperangah kini

sebab beberapa dari mereka

bergerak dari gemingnya

mengambil langkah sendiri-sendiri.


Magelang, 2022


Seseorang yang Memakamkan Tubuhnya Sendiri


Sampai ketika usia kita tak bisa lagi bertambah tua,

dunia adalah kampung halaman yang tak bisa lagi kau singgahi.

Sebab kesunyian masa tua adalah kesendirian yang asing

dan hari raya yang tak sepenuhnya dirayakan.


Jendela yang melubangi langit sore itu,

memaksamu mengintip dunia yang lesap oleh waktu.

Lalu kau lihat dirimu sendiri menggali; memakamkan tubuh,

berharap mati lebih mula adalah jalan menuju surga.


Magelang, 2022


____________________________________

Tentang Penulis

Anindita Buyung, lahir di Banyumas tinggal di Magelang. Menulis puisi dan cerpen di sela kegiatannya sebagai pengajar di sebuah sekolah mengengah atas. Beberapa cerpen dan puisinya pernah dimuat di beberapa media cetak, daring, serta antologi bersama. Penulis bisa ditemui melalui akun instagram @aninditabuy dan surel aninditabuyung@gmail.com.


Posting Komentar

0 Komentar