MERAH KUNING HIJAU DI LAUT
BIRU (7)
Kapal terombang ambing lebih kuat dari sebelumnya. Aku
duduk di sebelah pamanku dengan perut mual dan perasaan campur aduk. Perjalanan
memancing ini seperti roller-coaster berkecepatan
tinggi yang memutarbalikkan perasaan. Baru sesaat merasa canggung bertemu
orang-orang baru, Lalu tatkala sudah merasa nyaman bersama mereka tiba-tiba
terlempar keluar lagi dari zona keakraban itu.
“BLAAAR !!” Tiba-tiba gelegar petir di luar mengejutkan
kami semua.
Carla menjerit sambil meloncat memeluk ayahnya. Aku
terkejut dan telingaku terasa pekak oleh kerasnya suara, tapi jelas aku enggan
melakukan hal yang sama seperti Carla. Pasti aneh kalau tiba-tiba aku menjerit
sambil memeluk Om Yulian. Apalagi beliau saat ini dalam posisi yang tidak
mungkin bisa dipeluk. Saat ini Om Yulian dalam posisi Gun Mode alias tidur meringkuk dengan posisi tubuh menekuk seperti
pistol. Bahkan suara keras gelegar petir barusan tak mampu membangunkannya. Aku
yakin petir itu pasti merasa gagal andai ia melihat kondisi pamanku itu yang masih
saja tertidur pulas.
“Tenanglah, Tuan Putri.” Om Wira menenangkan putrinya.
“Badai seperti ini biasa terjadi di laut. Satu detik
cuaca cerah, detik berikutnya terjadi badai. Di lautan seluas ini cuaca tidak
terpengaruh oleh musim. Nah, Papa jadi teringat, waktu muda Papa pernah
berlayar di sebuah kapal Cruiser.
Saat itu cuaca sangat cerah. Anehnya, tiba-tiba muncul puluhan tikus berlarian
di lorong kapal. Para penumpang bisa melihat tikus-tikus itu berlarian melintas
di antara kaki-kaki manusia. Ternyata tak sampai lima menit kemudian, cuaca
cerah itu berubah drastis menjadi badai besar. Seorang awak kapal bercerita
pada Papa bahwa munculnya tikus di kapal memang merupakan salah satu pertanda
akan datangnya badai. Sekarang jadi masuk akal kan, kenapa tadi kau mendengar
suara cicit tikus? Hehehe.” Om Wira tersenyum sambil membelai rambut putrinya.
Carla hanya mengangguk lemah. Rupanya ia masih belum
pulih dari keterkejutannya tadi.
“KAPTEEEN…!!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan Bimbim.
Teriakan itu seperti disemburkan dengan sekuat tenaga, namun dengan volume
suaranya yang teredam. Seolah orang yang meneriakkannya sedang menghadapkan
mulut ke arah moncong ember.
Kulihat Kapten Togar bergeming di anjungan kemudi. Ia
terlihat fokus mengemudikan kapalnya supaya baik jalannya, Hey…!! Duh,
bisa-bisanya lagu itu terngiang lagi di otakku.
“Kapteeeen ...!” Sekali lagi suara itu terdengar.
Lalu aku sadar bahwa itu suara Bimbim dari ruang mesin. Buru-buru
aku berlari menuju ruang tersebut dan membuka pintunya dengan maksud menyusul
Bimbim karena khawatir ia sedang berada dalam masalah.
Tepat saat pintu kubuka, kepala botak Bimbim menyembul.
Ia terlihat mencengkeram sesuatu ... oh, bukan, seseorang ... bukan, tiga orang
anak kecil!!
Bimbim berjalan tergesa keluar dari ruangan mesin menuju
kabin penumpang. Ia terlihat kerepotan mencengkeram tiga orang anak lelaki yang
berusaha berontak. Diseretnya anak-anak itu dengan kasar. Mereka menangis
ketakutan.
“Kapteen, lihat ini! Di kapal kita ada penyelundup!”
Teriak Bimbim.
“Luar biasa! Masalah demi masalah saling berebut muncul
satu persatu!” Suara kasar Kapten Togar terdengar di belakangku. Sejak kapan
dia berdiri di situ?
Bimbim mencampakkan ketiga anak tadi ke lantai.
“Hey, jangan kasar sama anak kecil!” Seruku.
“Oh, lihat Kapt, si sok jagoan ini kambuh lagi!” Bimbim
menunjukku sambil tersenyum sinis menyebalkan.
“Gung, ini kapalku. Penyelundup di kapalku akan kuurus
dengan caraku. Kau duduklah dan teladanilah pamanmu yang tenang itu,” ucap Kapten
Togar dengan nada yang lembut tapi berwibawa.
“Aku tak akan membela Agung, tapi sebagai penumpang VIP,
aku rasa permintaanku boleh dipertimbangkan, Kapt. Anak-anak ini terlihat bingung
dan ketakutan. Biarlah mereka duduk dengan tenang, lalu setelah itu kau bebas
menginterogasi mereka.” ujar Om Wira, juga dengan nada tenang dan berwibawa.
“Baik, aku pun setuju. Hei, bocah, kalian bertiga
duduklah. Minumlah dulu air mineral kemasan di atas meja itu,” perintah kapten kepada
ketiga anak yang gemetaran itu.
Mereka menurut dan langsung duduk berhimpitan dengan
saling berpelukan. Air mata masih mengalir di pipi mereka. Masing-masing anak
menggunakan warna kaus berbeda; merah, kuning dan hijau. Tapi ketiga kaus itu
tampak memiliki persamaan, kumal dan bau keringat. Tak seorang pun dari mereka
mengambil air mineral dalam kemasan yang ditawarkan Kapten Togar.
Carla berinisiatif mengambilkan tiga gelas kemasan air
mineral itu dan menyodorkannya kepada mereka.
“Adik, silakan diminum. Sudah ... sudah, jangan
menangis, ya.” Carla tersenyum sambil mengusap kepala anak-anak itu satu
persatu.
“Kalian sudah makan belum, adik-adik?” Pertanyaan Carla
masih tak tersahut oleh jawaban. Tiga anak itu masih bungkam ketakutan dan
saling berpelukan.
“Sepertinya mereka takkan bisa ditanyai kalau kondisinya
seperti itu.” Kata Om Wira.
“Kalau begitu, lebih baik kalian bertiga kembali ke
ruang mesin. Nanti begitu kita sampai di Marina, akan kuserahkan pada polisi,”
Kata Bimbim sambil tersenyum kejam.
“Memangnya mereka mencuri, kah? Coba diperiksa saja
dulu, Bang. Apakah ada barang yang hilang dari ruang mesin?” Tanya Carla yang
menaruh iba pada ketiga anak itu.
“Tak perlu kuperiksa segala. Memangnya kalau rumahmu
dimasuki orang asing tanpa izin, kau harus menunggu ia mencuri sesuatu terlebih
dulu supaya bisa lapor polisi?” Bimbim melirik Carla sinis.
Om Wira berusaha menengahi, “Analogimu masuk akal, tapi
setidaknya beri mereka makanan di ruang mesin supaya tak kelaparan. Bukan
begitu, Kapten? Loh, Kapt, ada apa?!”
Kapten Togar terlihat bersandar di dinding kabin.
Matanya nanar dan lehernya menoleh liar ke segala arah seperti sedang
mencari-cari sesuatu.
“Kalian merasakannya?” Tanya Kapten.
“Merasakan apa?” Om Wira mengangkat bahu kebingungan.
“Aku tak merasakan apa-apa, Kapt,” kataku.
“TEPAT!! Kita tak merasakan apa-apa. Aneh, kan? Padahal
tadi kita masih bisa merasakan kapal ini berayun-ayun mengikuti pergerakan air
laut,” ucap Kapten Togar gusar.
“Lihat minumanmu itu, Gung!” Tunjuk Kapten ke arah gelas
kaca milikku yang berisi teh hangat di atas meja kabin.
Permukaan air di dalam gelas itu terlihat tenang, tak
bergerak, tak ada riak atau gelombang air, yang seharusnya tak mungkin terjadi
di dalam kapal. Baik kapal yang sedang melaju maupun yang sedang dalam kondisi
diam, selama ia berada di atas permukaan air laut, maka dipastikan akan
terayun-ayun ditimang gerakan permukaan air laut.
Bimbim secara mengagetkan tiba-tiba meloncat dan melesat
melewatiku. Ia membuka pintu kabin dan berlari di buritan.
“Kapteeeen! Lihat ini! Teriaknya panik dari sana.
Tanpa dikomando kami semua menyusul Bimbim keluar dari
kabin. Dan kami menyaksikan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan akal sehat.
Kapten menyusul berdiri di sisi Bimbim yang gemetar
berpegangan pada tepian buritan. Pemandangan di sekitar kami begitu kelabu.
Seolah awan tebal sedang menyelimuti kapal. Bentangan luas lautan, kini hilang.
Demikian pula langit dan cakrawala. Kapal White Angel yang sedang kami naiki
seolah sedang mengapung di udara kosong. Bahkan tak terasa lagi hembusan angin.
Tak tercium juga bau asin khas lautan.
“Kapt, lautnya hilang kemana?” Rintih Bimbim pelan,
hampir tak terdengar siapapun.
“Kapt, apakah kita saat ini sedang ditelan kabut tebal
tadi?” Tanyaku pada Kapten Togar.
“Sepertinya demikian, tapi jika saat ini kita berada
dalam kabut, maka seharusnya jarak pandang kita akan terganggu dan berkurang.
Coba kau lihat bendera di puncak kapal, masih bisa terlihat dengan jelas, kan?”
Tunjuk Kapten Togar ke atas kapal.
Benar juga. Jarak bendera itu dengan kami di buritan
mungkin sekitar sepuluh meter lebih. Tapi kami bisa melihatnya dengan jelas.
Bendera itu bahkan terkulai tanpa gerakan, yang mana sangat aneh. Seharusnya,
setenang apapun lautan, setidaknya bendera itu pasti akan bergerak-gerak
sedikit diterpa angin lemah.
Situasi begitu sunyi mencekam. Tak ada ayunan gelombang
laut. Tak ada suara riak air, debur ombak, atau suara apapun lainnya. Kami
semua pun tak saling berbicara. Tak ada hembusan dan desir angin. Rasanya kami seperti
terjebak di dalam ruangan yang dindingnya dicat warna abu-abu pekat.
“Semuanya, masuk lagi ke dalam kabin sekarang!!”
Perintah kapten.
Kami menurut. Posisiku tertinggal paling belakang. Tepat
sebelum aku meraih pegangan pintu kabin, kakiku tersandung sesuatu yang
seketika membuatku jatuh terjerembab. Kulihat benda yang mengait kakiku. Tak
lain adalah tentakel gurita raksasa yang tadi ditebas Bimbim. Puluhan mulut
penghisap pada tentakel itu terlihat masih kembang kempis perlahan. Aku agak
jijik melihatnya. Bergegas kulanjutkan niat masuk ke dalam kabin.
Setelah kami semua masuk, Bimbim mengunci pintu kabin
itu dari dalam.
Kapten Togar tak terlihat. Rupanya ia sedang berada di
anjungan kemudi. Tak lama kemudian ia berlari terburu-buru menuruni undakan
anjungan untuk kembali bergabung bersama kami.
Lalu dengan ekspresi wajah gelisah, Kapten Togar buka
suara,
“Dengarkan, kalian semua. Aku belum pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya, tapi aku cukup yakin saat ini kita dalam bahaya. Jangan tanya kenapa aku bisa demikian yakin, karena naluri seorang pelaut sejati jarang salah.”
(BERSAMBUNG)
0 Komentar