Ilustrasi Google.com |
Aku membuka mata. Rupanya aku terkapar
dengan bagian belakang kepala terasa sakit karena membentur lantai buritan
kapal. Aku berusaha bangun, tapi entah
kenapa terasa berat sekali tubuh ini. Lalu terlihatlah penyebabnya. Seekor ular
besar, menindih tubuhku!
Aku meronta dan bergerak liar berusaha
melepaskannya dari tubuhku, tapi ia seperti melekat di bajuku.
Lalu terdengar suara orang-orang mendekati.
Ada dua orang yang menangkap dan mendudukkan tubuhku di tepi buritan.
“Hei, tenanglah,
bodoh! Elo nggak apa-apa, kok!” Kepala botak Bimbim terasa begitu dekat dengan
wajahku. Tangannya menekan dadaku menahan agar aku tak berontak.
“Tarik napas dan
buang perlahan, Gung. Bimbim sudah memotongnya. Kau aman,” terdengar suara
Kapten Togar.
Kepanikanku
mereda. Kulihat sekeliling. Om Wira dan Om Yulian di sisi buritan yang lain,
menatapku prihatin. Carla terlihat cemas, mulutnya masih menganga, rambutnya acak-acakan
ditiup angin.
Bimbim menatapku
tajam. Tangan kirinya masih menekan dadaku. Tangan kanannya memegang sebilah …
parang berlumur darah?
Kapten Togar, sepertinya jadi
satu-satunya orang yang tidak sedang menatapku. Karena matanya terpaku
pada sesuatu yang berada di genggaman kedua tangannya. Itu ... ular panjang
yang tadi menimpa tubuhku.
“Kalian semua
melihat ini, kan?” Seru Kapten Togar dengan suara lantang.
Tak ada seorang pun yang bersuara.
“Kalian tahu kan,
apa yang ada di tanganku ini?” Kapten melepaskan pandangannya dari ular besar
itu, dan matanya beralih, menatap mata kami satu persatu.
Ketika mata
Kapten Togar beradu dengan mataku, ia menganggukkan kepalanya padaku. Seperti
seorang guru di kelas yang sedang memberi izin kepada muridnya untuk bicara.
“Itu … itu kan ....” Aku
terbata.
Kuperhatikan ular yang sedang diangkat
oleh Kapten. Tubuh ular itu besar ... diameternya melebihi paha orang dewasa
dan terus melebar mengikuti panjang tubuhnya. Jika yang di genggaman Kapten
Togar itu bagian kepala, maka ekornya pastilah yang teronggok di ujung buritan
dekat Om Yulian, sekitar empat meter dari tempatku berdiri. Di bagian itu
diameter tubuh ular itu hampir satu meter. Itupun bagian ekornya dalam kondisi
terpotong dan masih mengeluarkan darah yang kini memenuhi sudut buritan. Kulirik parang di tangan Bimbim. Jika ia
benar telah memenggal ujung ekor makhluk itu, maka sisa ekornya saat ini, entah
berapa meter panjangnya dan sebesar apa diameternya, telah tercebur kembali ke
dalam laut. Namun, mulut-mulut penghisap di sekujur tubuh ular itu segera
mengoreksi pikiranku.
“itu ... itu ....”
Aku masih terbata.
“Si bodoh ini
masih syok, Kapt. Biar aku yang menjawabnya. Itu tentakel gurita.” kata Bimbim
setengah berteriak di telingaku. Aku menduga dia sengaja melakukannya.
“Betul,” sahut Kapten
Togar pelan.
“Ini tentakel
gurita. Aku yakin kalian semua, langsung atau tidak langsung, pasti sudah
pernah melihat wujud gurita bukan? Setidaknya di televisi ataupun di buku-buku tentang
kelautan. Tapi aku yakin, ini pasti pertama kalinya bagi kalian, bahkan bagiku,
melihat tentakel gurita sebesar ini,” Kapten melepaskan pegangannya pada
tentakel itu, yang langsung terjatuh dan menimbulkan suara debam keras di
lantai buritan. Bahkan
kakiku sampai ikut bergetar olehnya.
Tiba-tiba Kapten Togar berteriak
panik,
“Semuanya, cepat masuk ke dalam kabin!
SEKARANG!”
Meski tak mengetahui alasan ultimatum
mendadak dari Kapten Togar, tanpa menunggu instruksi dua kali, kami menurut bergegas
memasuki kabin. Sesampainya di dalam, Kapten Togar tergopoh menaiki anjungan
kemudi dan buru-buru menyalakan mesin. Sepertinya ia berusaha secepatnya meninggalkan tempat
ini. Tarikan mesin kapal terasa kasar dan kami semua segera duduk dan
berpegangan.
Bimbim terlihat
bergegas menyusul ke anjungan kemudi lalu bercakap-cakap dengan Kapten. Mereka
berdua terlihat berdebat panas dan agak panik. Sayup-sayup kudengar Bimbim
meneriaki Kapten, “Brengsek, aku kan cuma reflek menolongnya, Kapt!”
Om Wira tampak
menggumamkan sesuatu dengan tidak jelas. Om Yulian menyeruput sisa tehnya untuk
menenangkan diri. Carla mengikuti Om Yulian tapi tangannya gemetar hebat
sehingga tehnya agak terciprat-ciprat di ujung bibirnya.
Aku melihat keluar melalui pintu kabin
yang agak terbuka. Ke arah buritan. Tentakel tadi tergeletak di sana. Puluhan
mulut penghisap di sepanjang tentakel itu terlihat mengembang dan mengempis, seperti
sedang bernapas . Apakah tentakel itu masih hidup dan bisa membahayakan?
Entahlah. Secara naluriah aku berdiri dan menutup pintu, seolah khawatir
tentakel itu akan memasuki kabin.
Kubayangkan
seberapa besar ukuran gurita pemilik tentakel itu. Apakah itu sebesar Kraken yang ada di film
Pirates of Caribbean? Dan apakah makhluk itu saat ini, berencana membalas
dendam karena bagian tubuhnya terpotong?
Tapi kalau dipikir-pikir, bisa saja
tadi awalnya dia tidak mengejar kami. Mungkin umpan Carla tadi tak sengaja tersangkut di
tubuhnya lalu dia merasa terganggu dan berusaha pergi. Tapi kami … aku ...
akulah yang berkeras untuk menarik joran pancingnya tadi. Saat satu tentakelnya
tertarik ke atas permukaan dan jatuh di buritan kapal, berahir dengan tebasan
parang Bimbim.
Aku mulai
merinding. Bagaimana perasaanmu jika kau sedang tidur di dalam rumahmu, lalu
ada orang asing datang dan menarik-narik kakimu dan memotongnya? Apakah kau
akan diam saja? Makhluk apapun pemilik tentakel yang terpotong itu, saat ini
ada di bawah sana, mungkin sedang merencanakan suatu serangan balasan kepada
tamu tak diundang yang telah memotong tubuhnya.
Pantas Kapten
Togar langsung terburu-buru meminta kami masuk tadi. Rupanya ia hendak
menyelamatkan diri.
Aku bergegas naik
ke anjungan kemudi menyusul Kapten dan Bimbim.
“Ngapain Elo naik
ke sini? Memang punya hobi ikut campur semua urusan orang rupanya, ya?” Bimbim
memicingkan matanya menyambutku.
“Bim! Pegang
kemudi sebentar!” Ucap Kapten Togar.
“Bimbim bergeming, masih saja
menatapku tajam.
“BIM!!” Bentak Kapten.
Bimbim langsung bergegas menuruti
instruksi Kapten Togar. Diambil alihnya kemudi itu.
Kapten Togar
mendekatiku perlahan.
Lalu tanpa kuduga
sama sekali. Kapten mencengkeram kerahku dan mengangkatku hingga kakiku sedikit
berjinjit. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aroma rokoknya bisa tercium
olehku. Lalu ia berkata pelan namun dalam nada yang setajam pisau.
“Jika kau
melanggar perintahku lagi di atas kapal ini, kuceburkan kau langsung ke laut.”
Aku tak paham
sama sekali maksud Kapten Togar, apakah ia kesurupan atau ....
“Perintahku sudah
jelas tadi, Gung, LEPASKAN JORANNYA! Tapi entah mungkin telingamu itu palsu,
atau kau memang sok jagoan di depan wanita, aku tak peduli! Di kapal ini, aku
kaptennya. PAHAM?!” Bentak Kapten Togar. Ludahnya muncrat di pipiku.
Aku mengangguk
ketakutan.
“Kalau sampai
terjadi lagi kau melanggar instruksiku ….” kata-kata Kapten Togar tak tuntas
terucap.
“Kapt, aduh sialan, Kapt ... Itu ... ITU APA?!!” Tiba-tiba
suara Bimbim mencicit panik sambil menunjuk ke depan.
Kapten Togar
melepaskan cengkeramannya dari kerah bajuku. Ditatapnya arah yang ditunjuk
Bimbim. Wajahnya memucat.
“Ya Tuhan!”
Ucapnya.
Aku menatap ke
depan. Ke arah yang ditunjuk Bimbim. Tapi
aku tak melihat apapun selain kegelapan. Dan rupanya memang itulah masalahnya.
Bukankah tadinya terlihat ada samudra biru terhampar bagaikan permadani
beriak-riak? Bukankah tadi kita bisa memandang garis cakrawala di kejauhan? Di
mana semua pemandangan itu kini?
Semuanya kini tak terlihat. Berganti
dengan tabir gumpalan awan hitam gelap. Tiga sampai empat meter di depan haluan
kapal memang masih terlihat permukaan air berselimut kabut tipis. Tapi lebih
jauh dari itu, seolah seluruh awan di langit dijatuhkan ke permukaan laut di
depan kami. Hitam mencekam.
Bimbim melepaskan roda kemudi. “Kapt,
kok bisa ada kabut setebal itu? Bagaimana ini?” Untuk pertama kalinya aku
melihat raut wajah Bimbim berubah menjadi kecut.
“Enaknya kita
tetap ke tujuan semula ke Pulau Bidadari, atau balik kanan, Kapt?
“KAPT, NGOMONG DONG! JANGAN DIAM
SAJA!!” Bimbim berteriak lantang.
“DIAM! AKU SEDANG BERPIKIR!!” Bentak
Kapten Togar lebih garang.
“Ke Pulau Bidadari artinya kita masuk
ke dalam kabut. Persetan, Bim! Ayo putar balik sekarang!!” Seru Kapten.
Bimbim tak perlu dikomando dua kali.
Dari ekspresi wajahnya saja sudah ketahuan bahwa ia memilih putar balik sebelum
Kapten Togar memberi instruksi yang sama. Diaturnya kapal menuju kecepatan tertinggi
sambil memutar roda kemudi.
“Kemana pula matahari ini, kenapa jadi
gelap begini?” Kapten Togar memantau langit.
Memang benar, aku baru sadar langit
seperti menyembunyikan matahari entah di sudut sebelah mana.
“Halo, kawan-kawan. Apakah semua
baik-baik saja atau ada masalah yang bisa kubantu di sini?” Tiba-tiba Om Wira
muncul di anjungan kemudi.
“Sebaiknya kau kembali saja duduk
dengan tenang di bawah bersama para tamu.” Senyum yang dipaksakan kembali
muncul di wajah Kapten Togar seperti tadi pagi.
“Well,
sebagai seorang VIP. Sepertinya aku berhak mengetahui situasi apa yang sedang
kau hadapi saat ini, wahai Kapten yang baik?” Om Wira tampak enggan
beranjak dan memberi penekanan khusus pada pertanyaannya.
“Jadi, begini ya,
Bapak VIP, situasi yang kuhadapi saat ini, adalah situasi yang sama persis
seperti yang kukhawatirkan tadi. Ingat kan, firasat burukku tadi pagi?”
Ekspresi wajah Kapten Togar terlihat mengeras lagi seperti tadi pagi.
“Oh, tentu aku
ingat. Oke lah kalau begitu, Kapt, selamat bekerja kembali. Tolong kabari terus
kepada VIP tentang perkembangan situasi yang terjadi sesuai prosedur yang
berlaku, ya. Dan tolong dilakukan tanpa melanggar batas norma kesopanan dan
etika pelayanan. Semoga dapat dipahami, ya,” Om Wira tersenyum datar sambil
memicingkan matanya menatap Kapten Togar.
“Tentu.
Sangat-dapat-dipahami,” Kapten Togar balas menatap Om Wira dengan tajam.
Mereka masih saling
bertatapan seperti itu cukup lama. Sebuah psywar
yang cukup menegangkan antara dua pria yang sudah sangat matang dari segi usia
dan kedewasaan. Situasi di anjungan menjadi sangat tak nyaman. Bahkan aku dan
Bimbim saling lirik cemas. Seolah kami berdua saling bertanya siapakah di
antara Kapten Togar dan Om Wira yang akan terlebih dahulu menghunus senjata.
Lalu Om Wira
balik kanan dan berjalan menuruni undakan kembali ke arah kabin. Aku
menghembuskan napas lega. Kulihat ekspresi wajah Bimbim pun ikut lega. Ia masih
memutar roda kemudinya untuk mengarahkan kapal agar menjauh dari kabut tadi.
Selang berapa
detik kemudian terdengar suara jerit melengking seorang wanita. Tak salah lagi, itu pasti jeritan
Carla. Aku langsung meloncat menuruni beberapa anak tangga sekaligus menuju
arah suara. Sempat terdengar olehku seruan Kapten kepada Bimbim, “Urus itu!”
Di kabin kulihat
Om Wira memeluk Carla yang terlihat seperti hampir menangis. Sementara Om
Yulian tertidur dengan nyaman di tempat duduk kabin yang berbentuk memanjang
seperti sofa. Luar biasa memang pamanku itu.
“Ada apa, Carla?”
Tanyaku.
“Aku mau pipis,
tapi terdengar ramai suara seperti cicit tikus di sudut sana.” Tunjuk Carla ke
sudut kabin dekat toilet.
Bimbim menyusul
turun di belakangku. Dia
tak berkata apapun selain langsung menuju ke pintu di dekat toilet.
“Aku ikut, Bim!” Teriakku menyusulnya.
Namun, ia langsung berbalik badan menghadapku.
“Aku mau ke ruang mesin di bawah untuk
memeriksa suara yang didengar nona ini, dan ruang mesin terlarang bagi siapapun
selain awak kapal. Terutama buat orang-orang sok tahu yang suka ikut campur
urusan orang lain.” Bimbim tersenyum sinis sambil mengacungkan telunjuknya ke wajahku.
Aku tersinggung dan sangat kesal tapi tak mampu berkata apapun untuk membalasnya. Bimbim menuju ruang mesin dan menutup pintunya dengan bantingan keras. Sebuah isyarat jelas bahwa ruangan tersebut memang tak boleh dimasuki sembarang orang. (BERSAMBUNG)
1 Komentar