MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (6) || CYGALLA

 

Ilustrasi Google.com


MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (6)

 

Aku membuka mata. Rupanya aku terkapar dengan bagian belakang kepala terasa sakit karena membentur lantai buritan kapal.  Aku berusaha bangun, tapi entah kenapa terasa berat sekali tubuh ini. Lalu terlihatlah penyebabnya. Seekor ular besar, menindih tubuhku!

Aku meronta dan bergerak liar berusaha melepaskannya dari tubuhku, tapi ia seperti melekat di bajuku.

Lalu terdengar suara orang-orang mendekati. Ada dua orang yang menangkap dan mendudukkan tubuhku di tepi buritan.

“Hei, tenanglah, bodoh! Elo nggak apa-apa, kok!” Kepala botak Bimbim terasa begitu dekat dengan wajahku. Tangannya menekan dadaku menahan agar aku tak berontak.

“Tarik napas dan buang perlahan, Gung. Bimbim sudah memotongnya. Kau aman,” terdengar suara Kapten Togar.

Kepanikanku mereda. Kulihat sekeliling. Om Wira dan Om Yulian di sisi buritan yang lain, menatapku prihatin. Carla terlihat cemas, mulutnya masih menganga, rambutnya acak-acakan ditiup angin.

Bimbim menatapku tajam. Tangan kirinya masih menekan dadaku. Tangan kanannya memegang sebilah … parang berlumur darah?

Kapten Togar, sepertinya jadi satu-satunya orang yang tidak sedang menatapku. Karena matanya terpaku pada sesuatu yang berada di genggaman kedua tangannya. Itu ... ular panjang yang tadi menimpa tubuhku.

“Kalian semua melihat ini, kan?” Seru Kapten Togar dengan suara lantang.

Tak ada seorang pun yang bersuara.

“Kalian tahu kan, apa yang ada di tanganku ini?” Kapten melepaskan pandangannya dari ular besar itu, dan matanya beralih, menatap mata kami satu persatu.

Ketika mata Kapten Togar beradu dengan mataku, ia menganggukkan kepalanya padaku. Seperti seorang guru di kelas yang sedang memberi izin kepada muridnya untuk bicara.

 

“Itu … itu kan ....” Aku terbata.

Kuperhatikan ular yang sedang diangkat oleh Kapten. Tubuh ular itu besar ... diameternya melebihi paha orang dewasa dan terus melebar mengikuti panjang tubuhnya. Jika yang di genggaman Kapten Togar itu bagian kepala, maka ekornya pastilah yang teronggok di ujung buritan dekat Om Yulian, sekitar empat meter dari tempatku berdiri. Di bagian itu diameter tubuh ular itu hampir satu meter. Itupun bagian ekornya dalam kondisi terpotong dan masih mengeluarkan darah yang kini memenuhi sudut buritan.  Kulirik parang di tangan Bimbim. Jika ia benar telah memenggal ujung ekor makhluk itu, maka sisa ekornya saat ini, entah berapa meter panjangnya dan sebesar apa diameternya, telah tercebur kembali ke dalam laut. Namun, mulut-mulut penghisap di sekujur tubuh ular itu segera mengoreksi pikiranku.

“itu ... itu ....” Aku masih terbata.

“Si bodoh ini masih syok, Kapt. Biar aku yang menjawabnya. Itu tentakel gurita.” kata Bimbim setengah berteriak di telingaku. Aku menduga dia sengaja melakukannya.

“Betul,” sahut Kapten Togar pelan.

“Ini tentakel gurita. Aku yakin kalian semua, langsung atau tidak langsung, pasti sudah pernah melihat wujud gurita bukan? Setidaknya di televisi ataupun di buku-buku tentang kelautan. Tapi aku yakin, ini pasti pertama kalinya bagi kalian, bahkan bagiku, melihat tentakel gurita sebesar ini,” Kapten melepaskan pegangannya pada tentakel itu, yang langsung terjatuh dan menimbulkan suara debam keras di lantai buritan. Bahkan kakiku sampai ikut bergetar olehnya.

Tiba-tiba Kapten Togar berteriak panik,

“Semuanya, cepat masuk ke dalam kabin! SEKARANG!”

Meski tak mengetahui alasan ultimatum mendadak dari Kapten Togar, tanpa menunggu instruksi dua kali, kami menurut bergegas memasuki kabin. Sesampainya di dalam, Kapten Togar tergopoh menaiki anjungan kemudi dan buru-buru menyalakan mesin. Sepertinya ia berusaha secepatnya meninggalkan tempat ini. Tarikan mesin kapal terasa kasar dan kami semua segera duduk dan berpegangan.

Bimbim terlihat bergegas menyusul ke anjungan kemudi lalu bercakap-cakap dengan Kapten. Mereka berdua terlihat berdebat panas dan agak panik. Sayup-sayup kudengar Bimbim meneriaki Kapten, “Brengsek, aku kan cuma reflek menolongnya, Kapt!”

Om Wira tampak menggumamkan sesuatu dengan tidak jelas. Om Yulian menyeruput sisa tehnya untuk menenangkan diri. Carla mengikuti Om Yulian tapi tangannya gemetar hebat sehingga tehnya agak terciprat-ciprat di ujung bibirnya.

Aku melihat keluar melalui pintu kabin yang agak terbuka. Ke arah buritan. Tentakel tadi tergeletak di sana. Puluhan mulut penghisap di sepanjang tentakel itu terlihat mengembang dan mengempis, seperti sedang bernapas . Apakah tentakel itu masih hidup dan bisa membahayakan? Entahlah. Secara naluriah aku berdiri dan menutup pintu, seolah khawatir tentakel itu akan memasuki kabin.

Kubayangkan seberapa besar ukuran gurita pemilik tentakel itu. Apakah itu sebesar Kraken yang ada di film Pirates of Caribbean? Dan apakah makhluk itu saat ini, berencana membalas dendam karena bagian tubuhnya terpotong?

Tapi kalau dipikir-pikir, bisa saja tadi awalnya dia tidak mengejar kami. Mungkin umpan Carla tadi tak sengaja tersangkut di tubuhnya lalu dia merasa terganggu dan berusaha pergi. Tapi kami … aku ... akulah yang berkeras untuk menarik joran pancingnya tadi. Saat satu tentakelnya tertarik ke atas permukaan dan jatuh di buritan kapal, berahir dengan tebasan parang Bimbim.

Aku mulai merinding. Bagaimana perasaanmu jika kau sedang tidur di dalam rumahmu, lalu ada orang asing datang dan menarik-narik kakimu dan memotongnya? Apakah kau akan diam saja? Makhluk apapun pemilik tentakel yang terpotong itu, saat ini ada di bawah sana, mungkin sedang merencanakan suatu serangan balasan kepada tamu tak diundang yang telah memotong tubuhnya.

Pantas Kapten Togar langsung terburu-buru meminta kami masuk tadi. Rupanya ia hendak menyelamatkan diri.

Aku bergegas naik ke anjungan kemudi menyusul Kapten dan Bimbim.

“Ngapain Elo naik ke sini? Memang punya hobi ikut campur semua urusan orang rupanya, ya?” Bimbim memicingkan matanya menyambutku.

“Bim! Pegang kemudi sebentar!” Ucap Kapten Togar.

“Bimbim bergeming, masih saja menatapku tajam.

“BIM!!” Bentak Kapten.

Bimbim langsung bergegas menuruti instruksi Kapten Togar. Diambil alihnya kemudi itu.

Kapten Togar mendekatiku perlahan.

Lalu tanpa kuduga sama sekali. Kapten mencengkeram kerahku dan mengangkatku hingga kakiku sedikit berjinjit. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aroma rokoknya bisa tercium olehku. Lalu ia berkata pelan namun dalam nada yang setajam pisau.

“Jika kau melanggar perintahku lagi di atas kapal ini, kuceburkan kau langsung ke laut.”

Aku tak paham sama sekali maksud Kapten Togar, apakah ia kesurupan atau ....

“Perintahku sudah jelas tadi, Gung, LEPASKAN JORANNYA! Tapi entah mungkin telingamu itu palsu, atau kau memang sok jagoan di depan wanita, aku tak peduli! Di kapal ini, aku kaptennya. PAHAM?!” Bentak Kapten Togar. Ludahnya muncrat di pipiku.

Aku mengangguk ketakutan.

“Kalau sampai terjadi lagi kau melanggar instruksiku ….” kata-kata Kapten Togar tak tuntas terucap.

“Kapt, aduh sialan, Kapt ... Itu ... ITU APA?!!” Tiba-tiba suara Bimbim mencicit panik sambil menunjuk ke depan.

Kapten Togar melepaskan cengkeramannya dari kerah bajuku. Ditatapnya arah yang ditunjuk Bimbim. Wajahnya memucat.

“Ya Tuhan!” Ucapnya.

Aku menatap ke depan. Ke arah yang ditunjuk Bimbim. Tapi aku tak melihat apapun selain kegelapan. Dan rupanya memang itulah masalahnya. Bukankah tadinya terlihat ada samudra biru terhampar bagaikan permadani beriak-riak? Bukankah tadi kita bisa memandang garis cakrawala di kejauhan? Di mana semua pemandangan itu kini?

Semuanya kini tak terlihat. Berganti dengan tabir gumpalan awan hitam gelap. Tiga sampai empat meter di depan haluan kapal memang masih terlihat permukaan air berselimut kabut tipis. Tapi lebih jauh dari itu, seolah seluruh awan di langit dijatuhkan ke permukaan laut di depan kami. Hitam mencekam.

Bimbim melepaskan roda kemudi. “Kapt, kok bisa ada kabut setebal itu? Bagaimana ini?” Untuk pertama kalinya aku melihat raut wajah Bimbim berubah menjadi kecut.

“Enaknya kita tetap ke tujuan semula ke Pulau Bidadari, atau balik kanan, Kapt?

“KAPT, NGOMONG DONG! JANGAN DIAM SAJA!!” Bimbim berteriak lantang.

“DIAM! AKU SEDANG BERPIKIR!!” Bentak Kapten Togar lebih garang.

“Ke Pulau Bidadari artinya kita masuk ke dalam kabut. Persetan, Bim! Ayo putar balik sekarang!!” Seru Kapten.

Bimbim tak perlu dikomando dua kali. Dari ekspresi wajahnya saja sudah ketahuan bahwa ia memilih putar balik sebelum Kapten Togar memberi instruksi yang sama. Diaturnya kapal menuju kecepatan tertinggi sambil memutar roda kemudi.

“Kemana pula matahari ini, kenapa jadi gelap begini?” Kapten Togar memantau langit.

Memang benar, aku baru sadar langit seperti menyembunyikan matahari entah di sudut sebelah mana.

“Halo, kawan-kawan. Apakah semua baik-baik saja atau ada masalah yang bisa kubantu di sini?” Tiba-tiba Om Wira muncul di anjungan kemudi.

“Sebaiknya kau kembali saja duduk dengan tenang di bawah bersama para tamu.” Senyum yang dipaksakan kembali muncul di wajah Kapten Togar seperti tadi pagi.

Well, sebagai seorang VIP. Sepertinya aku berhak mengetahui situasi apa yang sedang kau hadapi saat ini, wahai Kapten yang baik?” Om Wira tampak enggan beranjak dan memberi penekanan khusus pada pertanyaannya.

“Jadi, begini ya, Bapak VIP, situasi yang kuhadapi saat ini, adalah situasi yang sama persis seperti yang kukhawatirkan tadi. Ingat kan, firasat burukku tadi pagi?” Ekspresi wajah Kapten Togar terlihat mengeras lagi seperti tadi pagi.

“Oh, tentu aku ingat. Oke lah kalau begitu, Kapt, selamat bekerja kembali. Tolong kabari terus kepada VIP tentang perkembangan situasi yang terjadi sesuai prosedur yang berlaku, ya. Dan tolong dilakukan tanpa melanggar batas norma kesopanan dan etika pelayanan. Semoga dapat dipahami, ya,” Om Wira tersenyum datar sambil memicingkan matanya menatap Kapten Togar.

“Tentu. Sangat-dapat-dipahami,” Kapten Togar balas menatap Om Wira dengan tajam.

Mereka masih saling bertatapan seperti itu cukup lama. Sebuah psywar yang cukup menegangkan antara dua pria yang sudah sangat matang dari segi usia dan kedewasaan. Situasi di anjungan menjadi sangat tak nyaman. Bahkan aku dan Bimbim saling lirik cemas. Seolah kami berdua saling bertanya siapakah di antara Kapten Togar dan Om Wira yang akan terlebih dahulu menghunus senjata.

Lalu Om Wira balik kanan dan berjalan menuruni undakan kembali ke arah kabin. Aku menghembuskan napas lega. Kulihat ekspresi wajah Bimbim pun ikut lega. Ia masih memutar roda kemudinya untuk mengarahkan kapal agar menjauh dari kabut tadi.

Selang berapa detik kemudian terdengar suara jerit melengking seorang  wanita. Tak salah lagi, itu pasti jeritan Carla. Aku langsung meloncat menuruni beberapa anak tangga sekaligus menuju arah suara. Sempat terdengar olehku seruan Kapten kepada Bimbim, “Urus itu!”

Di kabin kulihat Om Wira memeluk Carla yang terlihat seperti hampir menangis. Sementara Om Yulian tertidur dengan nyaman di tempat duduk kabin yang berbentuk memanjang seperti sofa. Luar biasa memang pamanku itu.

“Ada apa, Carla?” Tanyaku.

“Aku mau pipis, tapi terdengar ramai suara seperti cicit tikus di sudut sana.” Tunjuk Carla ke sudut kabin dekat toilet.

Bimbim menyusul turun di belakangku. Dia tak berkata apapun selain langsung menuju ke pintu di dekat toilet.

“Aku ikut, Bim!” Teriakku menyusulnya. Namun, ia langsung berbalik badan menghadapku.

“Aku mau ke ruang mesin di bawah untuk memeriksa suara yang didengar nona ini, dan ruang mesin terlarang bagi siapapun selain awak kapal. Terutama buat orang-orang sok tahu yang suka ikut campur urusan orang lain.” Bimbim tersenyum sinis sambil mengacungkan telunjuknya ke wajahku.

Aku tersinggung dan sangat kesal tapi tak mampu berkata apapun untuk membalasnya. Bimbim menuju ruang mesin dan menutup pintunya dengan bantingan keras. Sebuah isyarat jelas bahwa ruangan tersebut memang tak boleh dimasuki sembarang orang. (BERSAMBUNG)

 

Posting Komentar

1 Komentar

Eva Nara mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.