Ilustrasi google.com |
Jalan Kematian yang Lebih Baik
"Kalau kau menceritakan kejadian ini kepada siapa-siapa, kau akan hidup sengsara selama-lamanya, atau kau akan mati sekalian!" ancam lelaki tua itu, setelah menjamah tubuhku di sebuah kamar, di rumahnya sendiri.
Aku tak lagi benar-benar hidup setelah kejadian di malam kelam itu. Kesucianku terenggut, dan gairah hidupku padam seketika. Seorang laki, pamanku sendiri, telah merampok keperempuananku dengan sangat keji. Ia memerkosaku dan menghancurkan impian-impian masa depanku.
Jadilah aku serupa mayat yang berjalan. Masih bernyawa, tetapi dengan pikiran dan perasaan yang gelap. Aku sungguh tak menduga kalau lelaki yang seharusnya menjagaku di tengah kota yang jauh dari ibuku di kampung, malah menjadikan aku pelampiasan nafsunya. Aku sama sekali tak menyangka bahwa kesediaannya untuk merumahkanku di masa kuliahku atas permohonan ibuku, malah membuatnya merasa berhak atas tubuhku.
Sejak saat itu, aku kehilangan kepercayaan kepada siapa-siapa. Tidak hanya kepada pamanku itu, tetapi juga kepada orang-orang terdekatku, termasuk kepada ibuku. Bagaimana tidak, telah kuceritakan kejadian memilukan itu dengan segenap keberanianku, tetapi ia tidak percaya kalau iparnya itu tega menodaiku. Ia bahkan menudingku mengada-ada dan malah balik menyalahkanku.
"Jangan menuduh yang tidak-tidak! Kalau kau memperturut khayalanmu, kau bisa kehilangan kesempatan untuk menjadi sarjana. Sudah baik kamu tinggal di rumah pamanmu itu secara cuma-cuma," tegasnya, menyinggung kebiasaanku berhalusinasi sepeningal ayahku yang mati dilindas mobil di depan mataku sendiri. Ia lalu mengusap-usap kepalaku. "Barangkali, kau terlalu banyak pikiran, sampai kau menganggap khayalanmu seolah kenyataan."
Aku sungguh kecewa mendengar tanggapan ibuku kala itu. Aku tak menyangka kalau ia akan begitu naif hanya agar aku tetap bisa melanjutkan pendidikan dengan bantuan dari pamanku. Karena itu, aku akhirnya memberontak. Di tengah cuti selama satu semester, aku pun mencoba balas dendam. Aku ingin membunuh pamanku dengan meracuninya setelah pelaporanku ke polisi sama sekali tak dianggap dengan alasan tak ada bukti.
Tetapi sial. Sebelum aku kembali ke kota dan menunaikan rencanaku, lelaki yang sudah berusia kepala enam itu, malah lebih dahulu mati karena serangan jantung. Maka akhirnya, tinggallah dendamku sebagai dendam. Dendam yang tidak akan bisa terbalaskan. Dendam yang selamanya terpendam dan tidak akan redam. Itu sungguh menyakitkan.
Di tengah kekalutanku itu, aku memilih tetap kembali ke kota. Namun tujuanku, bukan lagi untuk berkuliah, sebab aku sudah tak sudi tinggal di rumah pamanku, sehingga biaya hidup pun berat untuk kutanggung. Tujuanku sekadar berpasrah kepada nasib untuk hidupku yang terlanjur hancur. Aku luntang-lantung saja mencari penghidupan. Sampai akhirnya, aku jatuh ke dalam dunia yang gelap. Aku menjadi seorang wanita panggilan.
Hari demi hari, nuansa kehidupanku makin suram. Aku terus saja menyambung hidup dengan menjadi pemuas nafsu para lelaki. Aku seolah tak bisa lagi keluar dari lubang setan itu. Muruah keperempuananku telah sirna setelah direnggut pamanku, dan tak ada siapa pun yang bisa meyakinkanku bahwa hidupku masih akan berarti di jalan kebaikan. Aku bahkan sudah tidak percaya kepada siapa-siapa lagi setelah aku kehilangan kepercayaan kepada ibuku sendiri.
Akhirnya, kepalaku hanyalah ruang tayangan horor. Ingatan memilukan ketika seorang demi seorang menjamah tubuhku, terus berputar di layar memoriku. Rasa malu yang teramat memalukan. Rasa hina yang teramat menjijikkan. Rasa berdosa yang tak terperi. Hingga akhirnya, aku menyerah dan memilih untuk mengakhiri segalanya.
Memang sudah saatnya aku meninggalkan dunia yang jahanam ini. Sudah tak mungkin aku melepaskan diri dari bayangan kelam masa laluku. Sudah tak ada lagi artinya hidup tanpa celah untuk menghapus kenangan getir itu. Maka tanpa kekhawatiran lagi, aku akan menyongsong kehidupan baruku pada dimensi yang lain.
Setelah sekian kali niat kuurungkan, kali ini, aku tak ingin gagal. Sudah cukup aku terus menunda kematianku hanya untuk memperpanjang penderitaanku. Sudah cukup. Maka dengan tujuan pasti, aku pun melangkah pada titik kematianku. Dengan caraku sendiri, aku akan menjemput ajalku. Dengan seutas tali, aku akan menjerat leherku dan menggantung tubuhku di langit-langit gudang.
Sesampainya di depan bangunan terbengkalai yang kutuju, aku pun membuka pintu yang tidak terkunci. Aku lantas menghirup aroma kematianku dengan khidmat di bawah bulan yang terang. Aku berharap, esok, ketika matahari bersinar, orang-orang di sekitar kawasan lokalisasi ini, akan menemukan jasadku dengan rasa iba dan sesal menyaksikan seorang wanita pendosa menyerah untuk bertarung dengan rasa berdosanya sendiri.
Langkah demi langkah pun terus kuayunkan tanpa keraguan. Sesaat kemudian, aku tiba tepat di bawah kusen langit-langit, tempat aku akan menggantung tali kematianku. Tetapi tiba-tiba, aku mendengar suara kerisik di sisi belakangku. Belum sempat berbalik, sesosok tubuh lantas memiting leherku dan membekap mulutku.
"Diam!" perintah sosok bertopeng yang terdengar sebagai seorang lelaki itu.
Aku pun meronta dan berusaha meloloskan teriakanku.
Tinjuan yang keras lalu menghantam perutku. "Jangan berisik, atau kau akan mati!" perintah seorang lelaki lainnya, yang juga bertopeng.
Aku pun menenangkan diri, hingga cekikan melemah dari leherku dan bekaman lepas dari mulutku.
"Kalian mau apa?" sergahku.
"Layani kami!" jawab lelaki yang telah menghantam perutku.
Aku sontak melecutkan ludah ke wajahnya dengan perasaan jijik. Aku benar-benar tak sudi merelakan tubuhku menjadi objek untuk nafsu kelakian mereka di akhir masa hidup yang telah kurencanakan.
Pitingan kembali mencekik leherku, dan tamparan keras mendarat di pipiku. Aku memberontak, hingga bogem mentah menghantam ulu hatiku.
"Diam!" bentak sang tukang pukul.
Di tengah ketidakberdayaan, aku pun menghentikan perlawanan. Sang lelaki penawan lalu mengendorkan cengkeramannya, hingga aku bisa kembali bernapas lega.
Diam-diam, aku menafsir kembali jalan mautku. Perlahan-lahan, niat kematianku pun makin menguat. Aku jadi makin berani. Bagaimanapun, aku akan mati juga malam ini. Maka dengan sentakan yang keras, aku pun meloloskan diri dari cengkeraman dan lekas mengambil kursi yang kurencanakan sebagai tumpuan. Aku lalu menghantam kepala seseorang di antaranya. Tetapi seorang lainnya, lekas menghantam lenganku dengan balok kayu, hingga aku tumbang.
Namun aku cepat-cepat berdiri. Aku tak mau menyerah. Kalaupun aku akan mati bukan dengan caraku sendiri, aku ingin membunuh mereka sebagai simbol perlawananku kepada kelakian yang menjajah keperempuanan. Maka kuambillah sebuah balok, lalu kuayunkan kepada sang lelaki pemukul, dan berhasil mengenai lehernya. Tetapi akhirnya, ia jadi beringas dan balas menghantam kepalaku dengan balok kayunya, hingga aku tersungkur. Darah pun mengalir dari pelipisku.
Seolah belum puas, lelaki itu lalu menendang tubuhku berkali-kali, hingga aku diliputi kesakitan dan tak berdaya. Setelah itu, ia lalu menindih tubuhku yang terlentang, kemudian menampar pipi kiriku keras-keras.
Dengan tubuh yang lumpuh, aku pun tertawa menantang. “Laki-laki macam apa kau ini? Apakah kau terlahir dari rahim seorang wanita jalang sehingga kau tak tahu caranya menghormati perempuan? Dasar bajingan!”
"Sialan!" kesalnya, lalu melayangkan tamparan keras ke wajahku, berkali-kali.
Akhirnya, tubuhku benar-benar kalah. Tenagaku makin melemah. Aku pun tak bisa apa-apa saat merasakan tali pingangku dilucuti dan celanaku diloroti.
Barangkali, maut memang akan mendatangiku bukan dengan caraku sendiri. Tetapi mungkin begitulah sebaiknya. Setidaknya, aku kalah bukan karena mengalah. Setidaknya aku kalah setelah berjuang dan melawan.
Kesadaranku makin menipis, dan aku masih merasakan kalau mereka mempermainkan tubuhku.
Perlahan-lahan, semua tampak
gelap dan terdengar sunyi. Rasa sakitku pun makin tawar. Aku makin kedinginan.***
_____________________________
Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping) atau Facebook (Ramli Lahaping).
1 Komentar