Pixabay.com |
MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (5)
Sudah sekitar dua jam berlalu sejak acara memancing dimulai. Om
Yulian dan Om Wira masih berkompetisi dengan seru. Mereka berdua masing-masing
telah berhasil mendapatkan empat ekor ikan. Carla dapat dua. Kapten Togar
mendapatkan tiga ekor ikan baronang dan seekor kakap besar. Bimbim tadi kulihat
dapat dua kakap, tapi sekarang tampak tak peduli lagi dengan memancing. Ia
terlihat sedang sibuk menuliskan sesuatu di sebuah buku catatan kecil.
Sementara aku, baru berhasil mendapat seekor clown fish kecil. Itupun kulepaskan lagi ke laut karena tidak tega
melihat wujudnya yang mungil dan berwarna jingga cerah. Mengingatkanku pada
tokoh Nemo di film animasi Finding Nemo.
Sebetulnya ikan malang itu kulepaskan karena tiba-tiba saja terpikir
bahwa makhluk yang tersangkut di kail pancingku ini mungkin memiliki kisah yang
sama persis seperti di filmnya. Bisa saja dia anak satu-satunya dari seekor
orangtua tunggal di dalam laut sana. Atau mungkin bisa saja ikan ini adalah
seekor ayah teladan yang sangat disayangi oleh anak satu-satunya.
Kuhirup napas dalam-dalam hingga paru-paruku terasa penuh terisi
udara. Udara laut memiliki aroma khas yang menyenangkan. Baru kali ini aku
merasakan sensasi berada di tengah-tengah lautan luas. Kucoba menikmati suasana
ini sepuasnya. Ke arah manapun mata memandang, hanya ada hamparan air yang
beriak, hingga sejauh ujung garis cakrawala. Terbayang olehku, andai tiba-tiba
muncul seekor ikan hiu raksasa seperti di film Jaws karya Steven Spielberg, yang menelan kapal ini bulat-bulat
beserta kami di dalamnya, tak bakal ada orang yang tahu ataupun menolong. Laut
begitu luas. Menghadirkan ketenangan dan kedamaian. Namun, ketenangan laut juga
terasa mencekam, sunyi dan menyimpan misteri di kedalaman perutnya.
“Yess! Papaa, aku dapat satu
lagi!” Pekik Carla kegirangan.
Aku salut dengan gadis itu. Dia baru pertama kali ini merasakan
pengalaman memancing ikan. Tapi begitu semangat dan sabar menanti umpannya
digigit. Sementara aku memang sejujurnya kurang suka memancing, dan cepat
merasa bosan menunggu ikan datang.
“Duh, berat nih. Kayaknya ikan super besar. Gung, tolong bantu, dong,”
pintanya kepadaku.
Tanpa bicara aku langsung mendekat. Kutinggalkan joranku. Tangan
kananku langsung ikut memegang pangkal joran milik Carla.
“Hati-hati, Carla sayang.” Terdengar suara Om Wira di sisi kapal
yang lain.
“Tenang, Papa, ini dibantu Agung,”
“Justru karena itu, Papa ingatkan kamu untuk ‘hati-hati’ ... siapa
tahu si Agung sudah punya pacar, tuh. Nanti statusmu malah jadi orang ketiga,
Carla, hahaha,” Om Wira terbahak diikuti Om Yulian.
“Hih, Papa jelek!”
“Biarin. Nggak apa-apa jelek, yang penting kaya. Daripada ganteng
tapi miskin. Hahaha!” Kembali tawa terdengar dari kedua pria senja itu.
Aku hampir ikut tertawa saat tiba-tiba tanganku dan Carla tersentak.
Joran yang kami pegang ditarik mendadak oleh ikan di ujung kail ini. Hampir
saja mengakibatkan joran terlepas dan jatuh ke laut karena kuatnya sentakan.
Ikannya.pastilah jenis ikan yang sangat kuat.
“Wah, benar-benar besar ini sepertinya. Pegang yang kuat, Gung. Aku
gulung talinya pelan-pelan, ya.”
Kurasakan tanganku menegang. Waktu masih duduk di bangku SMU, aku
pernah memancing di sungai bersama teman-temanku. Saat itu umpanku digigit
seekor ikan lele seukuran betis orang dewasa. Ikan itu menarik dengan sangat
kuat hingga aku harus mengeluarkan sedikit tenaga untuk menahan joran pancing
agar tidak terlepas dari tangan. Tapi sentakan ikan lele itu tidak ada
setengahnya dari ikan laut yang barusan ini. Entah memang tenaga ikan laut jauh
lebih besar dibanding ikan air tawar, atau ikan di ujung kail ini memang berukuran
besar.
Posisiku kurang nyaman sebetulnya. Karena meski sudah memegang joran
dengan kedua tangan, tapi ada tangan Carla juga di situ, sibuk menggulung reel sekuat tenaga.
Tiba-tiba ikan itu menyentak lagi. Kali ini lebih kuat dari
sebelumnya.
“Aduh, tanganku!” Pegangan tangan Carla terlepas dari reel. Ia jatuh terduduk sambil
mengusap-usap jarinya.
“Carla, kau tak apa?” Tanyaku.
Belum sempat kudengar Carla menjawab, tanganku kembali disentak
joran ke arah berbeda dari sebelumnya. Seolah ikan itu berbelok arah mendadak di
dalam laut. Roda reel pancing
berputar kencang. Sang ikan berusaha kabur rupanya. Aku tak sanggup menggulung reel karena joran ini pun ikut tertarik,
sehingga kedua tanganku terfokus untuk memegangi agar joran tak terjatuh ke
air.
Rodal reel tersentak
berhenti berputar. Tanda senar pancing telah terulur maksimal. Ikan ini mungkin
berada berpuluh-puluh meter jaraknya dari kapal, di dalam laut. Berapa panjang senar ini? lima puluh, tujuh
puluh, atau bahkan seratus meter? Entahlah. Yang jelas, ikan apapun yang saat
ini berada di ujung kail sana pastilah sangat besar. Otot tanganku mulai
berkontraksi maksimal. Aku khawatir joran ini terlepas dari tanganku dan jatuh
ke laut.
Ah, aku sudah tak kuat. “Kapten, tolooong!!”
Mendadak sepotong tangan kekar muncul dari balik punggungku. Itu
tangan Kapten Togar, rupanya dia sudah siap tepat saat aku berteriak barusan.
“Pegang erat joranmu, Gung. Jangan dilepas!” Perintahnya.
Tadinya kukira ia akan mengambil alih joran ini. Tapi rupanya ia
ingin akulah yang tetap memegangnya.
Tangan kiri Kapten Togar ikut memegang pangkal joran. Sementara
tangan kanannya menggulung reel
dengan cepat. Dua kali lebih cepat dibanding saat Carla menggulungnya.
“Santai dulu Gung, ayunkan joranmu ke depan. Ikuti gerakan ikannya.
Oke tarik lagi, Ups ... jangan terlalu cepat, rasakan kekuatannya. Imbangi
dengan kekuatanmu, tapi jangan terlalu kuat. Nanti joran bisa patah.” Kapten
mengarahkanku.
“Kutarik lagi sekarang, Kapt?” Tanyaku.
“Tunggu, sabar, biar kugulung dulu perlahan agar terdeteksi ke arah
mana ia bergerak. Hey, tarik sekarang, perlahan. Nah, bagus!”
Tarik-ulur, ayun ke depan, ke belakang. Demikian silih berganti
gerakanku dengan joran. Kapten Togar memberikan instruksi-instruksinya dengan
tegas dan jelas. Entah sudah berapa menit berlalu. Tanganku sudah sangat penat
dan pegal. Keringat mulai mengucur deras di sekujur tubuhku. Om Wira dan Om
Yulian datang mendekat.
“Mantap, Gung … akhirnya kau dapat juga ikan besar, Selamat!” Ucap
Om Yulian menepuk bahu kananku.
“Heh, sembarangan kau! Yang dapat ikan ini tadi kan, Carla, Agung
hanya membantu saja,” Tukas Om Wira.
“Pemilik ikan itu tentu saja orang yang berhasil menarik dan mengangkutnya ke atas kapal!” Sergah Om Yulian.
“Ngawur! Ikannya ya milik orang yang memegang joran saat umpannya pertama
kali digigit tadi, dong!” Balas Om Wira lagi.
Kapten Togar seolah tak menganggap keberadaan kedua orang yang
sedang beradu argumen itu. Dia sepertinya tetap berdiri dengan tenang di
belakangku. Aku tak melihatnya langsung, tapi sekadar memperkirakan dari suara
hembus napasnya. Tak terdengar deru sengal serupa orang yang sedang tegang.
“Tarik lagi joranmu, Gung. Tapi kali ini kau jangan memundurkan
badan. Pancangkan kedua kakimu sekuat mungkin ke lantai kapal. Angkat saja
tanganmu ke atas hingga sejajar dengan mata, ya. Tunggu aba-abaku pada hitungan
ketiga, siap? Oke, satu, dua, tiga!!
Kulakukan perintah Kapten Togar. Sesuatu berkecipak di permukaan air
laut, sekitar lima puluh meter di depan mata kami.
Ah, itu kah ikannya? Batinku. Tubuh hewan itu tak terlihat jelas.
“Oke, sekali lagi ya, Gung. Tunggu aba-abaku.” Kapten menggulung
lagi reelnya perlahan.
“Siap? Satu, dua, tiga, angkat!!”
Kuulangi gerakanku sebelumnya. Dan seiring dengan itu, terlihatlah hal
yang luar biasa mengejutkan. Ujung pancing itu akhirnya terangkat keluar dari
permukaan air laut, jauh berpuluh meter di depan sana. Seekor makhluk tersangkut
padanya, berbentuk besar memanjang dan sama sekali tidak mirip ikan! Lebih
mirip bagian ekor dari makhluk serupa ular besar, dengan diameter kuperkirakan
lebih besar dari ukuran paha orang dewasa. Makhluk itu tercebur kembali ke laut
dengan suara deburan keras.
Lalu sunyi. Semua orang di atas kapal terdiam. Kesunyian mencekam
tiba-tiba menyelimuti. Sesuatu seperti memeluk tubuh kami di tengah hembusan
angin laut. Sesuatu itu ... bernama rasa takut. Aku terpana, tapi masih
mencengkeram joranku dengan sekuat tenaga.
“A-a-apa itu tadi?” Ucap Om Yulian terbata-bata dengan ekspresi
wajah menunjukkan keterkejutan.
“U-u-ular ya? Tadi itu ular lautkah? Aku baru tahu ada ular laut yang
ukurannya lebih besar dari anakonda,” Om Wira ternganga.
“Itu ... bukan monster laut, kan, Papa? Bisik Carla lirih. Ia
terlihat syok dan terkulai lemas di lantai buritan kapal.
Hanya Kapten Togar yang terlihat tetap tenang. Namun matanya menatap
tajam ke arah tempat munculnya makhluk aneh tadi.
“Gung, lepas joranmu,” Katanya tenang.
“A-apa Kapt?” Aku tak mempercayai pendengaranku.
“Lepaskan jorannya, biarkan tercebur ke air!” Kali ini Kapten Togar
menambah volume suaranya jadi lebih keras.
“No way! Tidak mau, Kapt …
ini sudah sedikit lagi. Dia sudah tidak melawan sekuat tadi.” Kataku.
“Lepaskan, kubilang!” Kapten Togar tiba-tiba membentak sambil menatap
mataku tajam.
“Tidak! Aku bisa menariknya ke atas kapal!” Kataku tak mau kalah.
“Lihat ini, Kapt!”
Lalu sekuat tenaga kuulangi tarikan joranku seperti saat terakhir
aku melakukannya. Kali ini kukuatkan kakiku untuk melangkah mundur saat
mengangkat joran. Kutambahi dengan satu sentakan kuat. Ikan atau ular, apapun
wujudmu, kutaklukkan kau!
Terdengar suara kecipak keras di permukaan laut. Makhluk serupa ular
raksasa tadi kembali melesat keluar dari permukaan laut. Dia hanya berjarak
beberapa meter dari kapal dan terus menggelepar naik seolah ingin terbang ke
langit. Kupikir jika makhluk itu terus membubung ke atas, maka kita akan bisa
melihat keseluruhan tubuhnya dari ujung ke ujung. Namun hingga lima meter,
makhluk itu masih terus terulur naik mengeluarkan sisa seluruh tubuhnya dari
dalam air. Terus bertambah tujuh meter, sepuluh meter, dan masih terus terulur
... seolah tanpa akhir! Bukan main panjangnya! Makin ke bawah, diameternya
makin membesar. Tubuh ular itu makin menjulang dan mulai condong mendekati
kapal kami.
Aku mundur dan terhempas di lantai kapal. Tubuh ular besar itu kini berayun-ayun
tepat di atas kapal. Sialnya, ia kini turun perlahan dan tampaknya akan
menjatuhkan diri tepat menimpaku.
“AGUUNG ... AWAAAS!!” Jeritan Carla memekakkan telinga.
(BERSAMBUNG)
0 Komentar