CERPEN SEPERTI SIKSAMU || ARIBY ZAHRON

 

Ilustrasi Google.com

Seperti Siksamu

Semalam, rembulan di dalam bilik rawat inap ini, nyaris menyoroti wajah Ayahku. Seolah, garis kerutan yang membusung tampang itu menjelma pemuda rupawan. Ayahku berbaring waktu beberapa malam. Betah rasanya didulang kuah-kuah legit sama anaknya. Tak tahu kapan ia akan pulang, malahan mengingatkan dalam bisik harapan.

“Semangat laki dapat meruntuhkan gunung”  

Sekali bisik ia minta di telinga kanan, sekali bisik ia minta di telinga kiri, dan sekali bisik ia minta bisik di hati.

“Andai aku dapat bergerak, niscaya akan kuberikan kedua tanganku untukmu, nak” lanjut Ayah.

“Apakah aku harus mencari orang lain agar dapat mengantarkan adik ke sekolah?”

“Tidak perlu”

Kelihatannya dia juga sama. Tetap bersiteguh dan bakal menyulitkan. Seperti orang tua awam, yang percaya pada dirinya sendiri tanpa harus menjadi seorang anak kecil sekaligus. Karena itu Ayah masih bisa memaksa dan itulah yang membedakan.

Apa sebenarnya yang Ayah harapkan? Aku mulai bertanya pada diri sendiri. Ah, sudahlah. Pertanyaan itu terus menggebu kalau aku tidak menuruti permintaannya. Aku harus tetap memamah beberapa nasi lembek di dalam mulut Ayah, lalu meminta doa restu sebelum pergi ke sekolah.

  Jadi, sekarang, boleh jadi aku tersiksa di usia dini sebelum aku merasakan takdir-takdir yang tak terduga. Kedua tangan yang aku sodorkan kepada guru di kelas belumlah seberapa lacut malaikat di kubur, entah di neraka juga yang katanya cambuk-cambuk keji itu jelas menyeramkan ketimbang kedua lotot mata guruku sendiri.

Hari ini aku tengah mengantar adik ke sekolah, supaya menjadi keturunan Ayah yang pintar. Aku selalu takjub dengan tindak-tanduknya. Memandang bahwa segala siksa di dunia akan segera Tuhan balaskan dengan sayap-sayap luhur Malaikat Kudus.

“Kata Ayah, semangat laki dapat meruntuhkan gunung dik, tetaplah jadi dirimu sendiri. Setiap kali aku mengantarmu, aku pun berharap doa dan ridho Ayah supaya semuanya berjalan dengan baik. Dalam usiaku yang masih seperti ini, cita-citaku hanyalah Ayah dan kamu, dik”

“Kamu harus tetap pergi kak, kalaupun tanganmu bakal memar nantinya, jangan lagi cerita ke Ayah. Pendam siksa itu setulus-tulusnya kak, maka Ayah akan sembuh secepatnya”

Betapa mudahnya aku menangkap simbol dendam kesumat ini sebelum memasuki pintu lokomotif neraka ini. Betapa mudahnya kedua tangan ini ingin menimpali kelebatan tubuhnya supaya tidak lagi ia bersenang-senang menyiksa tanganku.

Kini, aku memberanikan diri untuk memasuki kelas yang tengah berlangsung pelajaran. Lagi-lagi dan lagi, tiba-tiba ia memberikan simbol supaya aku segera menyediakan kedua tanganku di depan pecut itu.

Ctass! Ctass! Ctass! Penggaris panjang itu tepat berada dalam sasarannya. Lurus, menyisakan merah-merah di kedua tanganku. Pastikah ini? Aku diliputi kekesalan. Bagaimana jika nantinya kedua tanganku mati? Betapa mirisnya nasib guruku ini. Kalau kata falsafah “digugu lan ditiru”, bagaimana dengan perangainya sendiri? Sedangkan sebelum aku berbicara tentang alasan mengapa selalu datang lebih molor ketimbang lainnya saja ia sudah tutup telinga, tutup mulut, dan tutup mata. Yang ada justru buka tangan.

            “Masih ingin siksa lagi? Datanglah ketika kau anggap kelas ini adalah sebuah neraka” tutur Guruku.

            “Rasakan dan nikmati”, begitu kata teman-teman. Kata yang pernah Ayah ucapkan ketika ia sedang berbaring nikmat, sebagai Ayah yang selalu tabah dengan keluh kesahnya sendiri. Ia tidak ingin aku satu-satunya yang bakal bernasib sial seperti Ayah dan Adikku.

            Lagi-lagi ketika aku mendulang makanannya, ia selalu berpesan “Semangat laki-laki dapat meruntuhkan gunung”. Kali ini ia menambahkan, “Gunung setinggi apapun itu dan buat cita-citamu setulus bintang”.

            Memang, aku meratapi kembali lingkaran putih yang berada di samping kasur. Terkadang aku pergi keluar membawa adikku ke sebuah tempat sunyi yang sulit untuk dilewati. Di hari pertama semenjak insiden terjadi, aku merengek luar biasa tanpa ampun. Tuhan menciptakan pagi untuk mewujudkan kegembiraan yang akan dilampiaskan oleh berbagai cara makhluk-makhluknya, sedangkan malam untuk menuangkan tangisan-tangisan selama pagi bergolak. Pagiku rapuh, aku yang harus menahan rasa sakit ini tidak tertolong dengan rotan-rotan yang menepuk dadaku. Tiba-tiba kulihat tangan-tangannya naik menjejak ke atas meja dan memberi kesan geram. Pada saat itulah tak dapat kumenahan diri untuk tidak mengangkat muka. Mataku lemah.

            Berhari-hari kudisiksa demikian, tanpa melihat siksaku yang sebenarnya. Ayah yang terbaring payah, Adik yang kehilangan kedua kakinya, dan aku yang terjerat kedua tanganku sendiri. Mataku mengandung mendung yang sekiranya akan melahirkan titik-titik air reruntuhan ini--mengolesi kepedihan kedua tanganku.

            Hampir terakhir bertemu, lama-lama aku sudah tidak menghalakan rasa sakit ketika disiksa. Dia mungkin keheranan mengapa luka yang diberikannya malahan berbuah subur. Tumbuh setiap air mataku menyelami sumbu emosi sampai pada pangkal ketika ingin mendaratkan ledakan di depan matanya.

            “Mengapa kamu setiap hari datang hanya untuk menyerahkan kedua tanganmu?”

            “Yang kuinginkan hanyalah siksa darimu, silakan”

            Lecut-lecut itulah yang selalu menjadi warna garib di dalam kelas. Begitu banyak siksa yang belum terselesaikan namun mustahil pikirnya kalaupun muak luka itu bergelayut di bawah kedua tanganku yang terus memerah.      

            Melalui ekspresi murah hati itu hanya dapat membenarkan perasaan guruku sesaat. Ia tak ingin cari tahu mengapa aku tidak terus berbenah diri dan terus mengharapkan siksa darinya. Ketika telinga sudah ditutup, maka jangan ada mulut berujar. Ketika hati sudah tertutup, maka jangan ada tangan berbuat. Begitulah sekiranya agar suatu saat ia mengerti bahwa segala sesuatu berasal dari niat. Dalam hati.

            Oh, hari ini. Pagi yang temaram, ia memandangiku dari kejauhan. Semoga saja ia mengerti apa yang telah aku perbuat. Ketika aku mengantar adikku menggunakan kursi roda itu, ia tengah berada di sebuah parkiran selepas menutup pintu mobil yang ia kendarai. Singkat memandang wajahnya, aku tidak peduli dengan sikap apa yang akan ia lakukan nantinya. Kalaupun memberi siksa di kelas, sudah biasa jadinya. Yang penting saat ini aku hanya menghiraukan saudaraku tentu.

            “Qib, setelah antar adikmu, tolong jaga diriku sebentar. Batalkan saja sekolahmu hari ini. Ayah ingin kau menemani sesaat” ucap Ayah sebelum aku bergegas mengantarkan adikku tadi.

            Ketika di bilik pengobatan itu, Ayah lekas memintaku sebuah kertas kosong dan bulpoin. Napas Ayah itu mendadak sesak sejenak tertahan. Sejenak yang terasa bagai waktu akan segera berakhir walaupun hidupnya telah begitu lama terasa bergulir. Mendengar permintaan itu, perasaanku semakin karut marut tak terbendungkan air mata yang turun mengobati kedua tanganku.

            Melihat sisa-sisa tulisan itu, aku meyakini bahwa siksa memang kejam. Ia merenggut segala kebahagiaan dan selalu meninggalkan trauma. Jangankan trauma, melihat patah kaki orang lainpun anak kecil dapat seketika membenci apa yang telah membuatnya patah kaki. Dan ini lagi-lagi soal hati. Sakit hati sungguh menyeramkan bagi anak kecil seperti diriku.

            Semangat laki dapat merutuhkan gunung, kalau tak percaya, pergilah menuju ruang yang telah menggantikan kenang. Kelak pagi akan menyapamu dengan sesal yang bertamu. Tak ada yang bisa kau sajikan kecuali sedih yang tenggelam dari perih yang berbalut dendam. Jalan menuju kota tak ada habisnya. Pergilah tanpa kepala dan kaki. Maka kau pun sudah tiba di sana.

            Kini napasku mulai berubah. Aku tidak akan lama lagi untuk dapat menemani hidupmu. Ibumu, sudah tenang di surga bersamaku, nantinya.

            Semangat laki dapat meruntuhkan gunung. Aku hanya menegaskan itu Qib. Sebab hanya kaulah satu-satunya yang dapat membimbing adikmu nantinya. Bersabarlah. Cobaan itu ada sebelum kebahagianmu. Siksamu itu menjadi jalan mudahku meraih surga Ibumu. Semoga, demikian. Kau dapat terus bersabar.

            Aku mempererat pelukan. Melekatkan hati. Tak ada lagi memerhatikan kekacauan yang terjadi di dalam dan tak lagi mendengar keriuhan di luar samudra kekedapan.

            “Doakan Ayah selalu nak, aku akan mendoakanmu dari surga”

            Bayangkan, betapa setia siksa indahnya memagut nyawa Ayah hanya untuk mendapatkan balasan surga semata. Bukan hanya untuk Ayah dan Ibu, tapi akan dipersembahkan untuk keikhlasan hidup ini pula. Tak bisa aku bayangkan sejenis apa siksa hidupnya. Aku siap kehilangannya. Aku menerima kepergiannya.

***

            Tiga hari setelah kepergian Ayah, aku kembali menuju ke kelas dengan jam yang sama seperti sebelumnya. Sesaat langkah tundukku kembali menisik kepergian nestapa ini, Guruku membasahi matanya sendiri.

            Tak terasa butiran air menyembul menyirami matanya. Akhirnya, aku memberanikan untuk menengadahkan kedua tanganku padanya.

            “Apa yang telah kau lakukan?”

            “Pukul saja tanganku, Guru”

            Sontak, ia bersujud tunduk dan menyerahkan lecut penggaris yang pernah ia sasarkan di atas hasta pada kedua tanganku.

            “Balaskan aku seperti siksamu”.

                                                                                                  

 

 

   Biodata Penulis

 

Ariby Zahron, lahir di Surabaya, 08 April 2002. Seorang santri juga mahasiswa yang tengah menghabiskan masanya di Pondok Pesantren Miftahul Huda sambil menjalankan tugasnya sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Malang.

Posting Komentar

0 Komentar