Seperti Siksamu
Semalam, rembulan di dalam bilik rawat
inap ini, nyaris menyoroti wajah Ayahku. Seolah, garis kerutan yang membusung
tampang itu menjelma pemuda rupawan. Ayahku berbaring waktu beberapa malam.
Betah rasanya didulang kuah-kuah legit sama anaknya. Tak tahu kapan ia akan
pulang, malahan mengingatkan dalam bisik harapan.
“Semangat laki dapat meruntuhkan
gunung”
Sekali bisik ia minta di telinga
kanan, sekali bisik ia minta di telinga kiri, dan sekali bisik ia minta bisik
di hati.
“Andai aku dapat bergerak, niscaya
akan kuberikan kedua tanganku untukmu, nak” lanjut Ayah.
“Apakah aku harus mencari orang lain
agar dapat mengantarkan adik ke sekolah?”
“Tidak perlu”
Kelihatannya dia juga sama. Tetap
bersiteguh dan bakal menyulitkan. Seperti orang tua awam, yang percaya pada
dirinya sendiri tanpa harus menjadi seorang anak kecil sekaligus. Karena itu
Ayah masih bisa memaksa dan itulah yang membedakan.
Apa sebenarnya yang Ayah harapkan? Aku
mulai bertanya pada diri sendiri. Ah, sudahlah. Pertanyaan itu terus menggebu
kalau aku tidak menuruti permintaannya. Aku harus tetap memamah beberapa nasi
lembek di dalam mulut Ayah, lalu meminta doa restu sebelum pergi ke sekolah.
Jadi, sekarang, boleh jadi aku tersiksa di usia dini sebelum aku
merasakan takdir-takdir yang tak terduga. Kedua tangan yang aku sodorkan kepada
guru di kelas belumlah seberapa lacut malaikat di kubur, entah di neraka juga
yang katanya cambuk-cambuk keji itu jelas menyeramkan ketimbang kedua lotot
mata guruku sendiri.
Hari ini aku tengah mengantar adik ke
sekolah, supaya menjadi keturunan Ayah yang pintar. Aku selalu takjub dengan
tindak-tanduknya. Memandang bahwa segala siksa di dunia akan segera Tuhan
balaskan dengan sayap-sayap luhur Malaikat Kudus.
“Kata Ayah, semangat laki dapat
meruntuhkan gunung dik, tetaplah jadi dirimu sendiri. Setiap kali aku
mengantarmu, aku pun berharap doa dan ridho Ayah supaya semuanya berjalan
dengan baik. Dalam usiaku yang masih seperti ini, cita-citaku hanyalah Ayah dan
kamu, dik”
“Kamu harus tetap pergi kak, kalaupun
tanganmu bakal memar nantinya, jangan lagi cerita ke Ayah. Pendam siksa itu
setulus-tulusnya kak, maka Ayah akan sembuh secepatnya”
Betapa mudahnya aku menangkap simbol
dendam kesumat ini sebelum memasuki pintu lokomotif neraka ini. Betapa mudahnya
kedua tangan ini ingin menimpali kelebatan tubuhnya supaya tidak lagi ia
bersenang-senang menyiksa tanganku.
Kini, aku memberanikan diri untuk
memasuki kelas yang tengah berlangsung pelajaran. Lagi-lagi dan lagi, tiba-tiba
ia memberikan simbol supaya aku segera menyediakan kedua tanganku di depan pecut
itu.
Ctass! Ctass! Ctass! Penggaris panjang itu tepat berada dalam
sasarannya. Lurus, menyisakan merah-merah di kedua tanganku. Pastikah ini? Aku
diliputi kekesalan. Bagaimana jika nantinya kedua tanganku mati? Betapa
mirisnya nasib guruku ini. Kalau kata falsafah “digugu lan ditiru”,
bagaimana dengan perangainya sendiri? Sedangkan sebelum aku berbicara tentang
alasan mengapa selalu datang lebih molor ketimbang lainnya saja ia sudah tutup
telinga, tutup mulut, dan tutup mata. Yang ada justru buka tangan.
“Masih
ingin siksa lagi? Datanglah ketika kau anggap kelas ini adalah sebuah neraka”
tutur Guruku.
“Rasakan
dan nikmati”, begitu kata teman-teman. Kata yang pernah Ayah ucapkan ketika ia
sedang berbaring nikmat, sebagai Ayah yang selalu tabah dengan keluh kesahnya
sendiri. Ia tidak ingin aku satu-satunya yang bakal bernasib sial seperti Ayah
dan Adikku.
Lagi-lagi
ketika aku mendulang makanannya, ia selalu berpesan “Semangat laki-laki dapat
meruntuhkan gunung”. Kali ini ia menambahkan, “Gunung setinggi apapun itu dan
buat cita-citamu setulus bintang”.
Memang,
aku meratapi kembali lingkaran putih yang berada di samping kasur. Terkadang
aku pergi keluar membawa adikku ke sebuah tempat sunyi yang sulit untuk
dilewati. Di hari pertama semenjak insiden terjadi, aku merengek luar biasa
tanpa ampun. Tuhan menciptakan pagi untuk mewujudkan kegembiraan yang akan
dilampiaskan oleh berbagai cara makhluk-makhluknya, sedangkan malam untuk
menuangkan tangisan-tangisan selama pagi bergolak. Pagiku rapuh, aku yang harus
menahan rasa sakit ini tidak tertolong dengan rotan-rotan yang menepuk dadaku.
Tiba-tiba kulihat tangan-tangannya naik menjejak ke atas meja dan memberi kesan
geram. Pada saat itulah tak dapat kumenahan diri untuk tidak mengangkat muka.
Mataku lemah.
Berhari-hari
kudisiksa demikian, tanpa melihat siksaku yang sebenarnya. Ayah yang terbaring
payah, Adik yang kehilangan kedua kakinya, dan aku yang terjerat kedua tanganku
sendiri. Mataku mengandung mendung yang sekiranya akan melahirkan titik-titik
air reruntuhan ini--mengolesi kepedihan kedua tanganku.
Hampir
terakhir bertemu, lama-lama aku sudah tidak menghalakan rasa sakit ketika
disiksa. Dia mungkin keheranan mengapa luka yang diberikannya malahan berbuah
subur. Tumbuh setiap air mataku menyelami sumbu emosi sampai pada pangkal
ketika ingin mendaratkan ledakan di depan matanya.
“Mengapa
kamu setiap hari datang hanya untuk menyerahkan kedua tanganmu?”
“Yang
kuinginkan hanyalah siksa darimu, silakan”
Lecut-lecut
itulah yang selalu menjadi warna garib di dalam kelas. Begitu banyak siksa yang
belum terselesaikan namun mustahil pikirnya kalaupun muak luka itu bergelayut
di bawah kedua tanganku yang terus memerah.
Melalui
ekspresi murah hati itu hanya dapat membenarkan perasaan guruku sesaat. Ia tak
ingin cari tahu mengapa aku tidak terus berbenah diri dan terus mengharapkan
siksa darinya. Ketika telinga sudah ditutup, maka jangan ada mulut berujar.
Ketika hati sudah tertutup, maka jangan ada tangan berbuat. Begitulah sekiranya
agar suatu saat ia mengerti bahwa segala sesuatu berasal dari niat. Dalam hati.
Oh,
hari ini. Pagi yang temaram, ia memandangiku dari kejauhan. Semoga saja ia
mengerti apa yang telah aku perbuat. Ketika aku mengantar adikku menggunakan
kursi roda itu, ia tengah berada di sebuah parkiran selepas menutup pintu mobil
yang ia kendarai. Singkat memandang wajahnya, aku tidak peduli dengan sikap apa
yang akan ia lakukan nantinya. Kalaupun memberi siksa di kelas, sudah biasa
jadinya. Yang penting saat ini aku hanya menghiraukan saudaraku tentu.
“Qib,
setelah antar adikmu, tolong jaga diriku sebentar. Batalkan saja sekolahmu hari
ini. Ayah ingin kau menemani sesaat” ucap Ayah sebelum aku bergegas
mengantarkan adikku tadi.
Ketika
di bilik pengobatan itu, Ayah lekas memintaku sebuah kertas kosong dan bulpoin.
Napas Ayah itu mendadak sesak sejenak tertahan. Sejenak yang terasa bagai waktu
akan segera berakhir walaupun hidupnya telah begitu lama terasa bergulir.
Mendengar permintaan itu, perasaanku semakin karut marut tak terbendungkan air
mata yang turun mengobati kedua tanganku.
Melihat
sisa-sisa tulisan itu, aku meyakini bahwa siksa memang kejam. Ia merenggut
segala kebahagiaan dan selalu meninggalkan trauma. Jangankan trauma, melihat
patah kaki orang lainpun anak kecil dapat seketika membenci apa yang telah
membuatnya patah kaki. Dan ini lagi-lagi soal hati. Sakit hati sungguh
menyeramkan bagi anak kecil seperti diriku.
Semangat
laki dapat merutuhkan gunung, kalau tak percaya, pergilah menuju ruang yang
telah menggantikan kenang. Kelak pagi akan menyapamu dengan sesal yang bertamu.
Tak ada yang bisa kau sajikan kecuali sedih yang tenggelam dari perih yang
berbalut dendam. Jalan menuju kota tak ada habisnya. Pergilah tanpa kepala dan
kaki. Maka kau pun sudah tiba di sana.
Kini
napasku mulai berubah. Aku tidak akan lama lagi untuk dapat menemani hidupmu.
Ibumu, sudah tenang di surga bersamaku, nantinya.
Semangat
laki dapat meruntuhkan gunung. Aku hanya menegaskan itu Qib. Sebab hanya kaulah
satu-satunya yang dapat membimbing adikmu nantinya. Bersabarlah. Cobaan itu ada
sebelum kebahagianmu. Siksamu itu menjadi jalan mudahku meraih surga Ibumu.
Semoga, demikian. Kau dapat terus bersabar.
Aku mempererat pelukan. Melekatkan hati. Tak
ada lagi memerhatikan kekacauan yang terjadi di dalam dan tak lagi mendengar
keriuhan di luar samudra kekedapan.
“Doakan
Ayah selalu nak, aku akan mendoakanmu dari surga”
Bayangkan,
betapa setia siksa indahnya memagut nyawa Ayah hanya untuk mendapatkan balasan
surga semata. Bukan hanya untuk Ayah dan Ibu, tapi akan dipersembahkan untuk
keikhlasan hidup ini pula. Tak bisa aku bayangkan sejenis apa siksa hidupnya.
Aku siap kehilangannya. Aku menerima kepergiannya.
***
Tiga
hari setelah kepergian Ayah, aku kembali menuju ke kelas dengan jam yang sama
seperti sebelumnya. Sesaat langkah tundukku kembali menisik kepergian nestapa
ini, Guruku membasahi matanya sendiri.
Tak
terasa butiran air menyembul menyirami matanya. Akhirnya, aku memberanikan
untuk menengadahkan kedua tanganku padanya.
“Apa
yang telah kau lakukan?”
“Pukul
saja tanganku, Guru”
Sontak,
ia bersujud tunduk dan menyerahkan lecut penggaris yang pernah ia sasarkan di
atas hasta pada kedua tanganku.
“Balaskan
aku seperti siksamu”.
Biodata Penulis
Ariby Zahron, lahir di
Surabaya, 08 April 2002. Seorang santri juga mahasiswa yang tengah menghabiskan
masanya di Pondok Pesantren Miftahul Huda sambil menjalankan tugasnya sebagai
mahasiswa di Universitas Negeri Malang.
0 Komentar