CERPEN SEGELAS LAGI || ANGELINA DELVIANI

 

Ilustrasi Hipwee

Segelas Lagi!


Suatu sore yang dingin ketika burung kembali ke sarangnya serta angin berdesik membawa sebuah luka yang menancap cukup dalam. Lamunan  panjang, aku masih memikirkan sebuah kehidupan yang akan datang.

“Segelas lagi!” Teriak Kakek dari kamarnya.

Ibu segera meninggalkan pekerjaannya dan membuatkan segelas kopi untuk kakek. Kopi yang diminum kakek setiap harinya adalah kopi yang memenangkan sayembara dan dikenal banyak orang.

“Kopinya nikmat sekali. Ketahuilah apa yang saya minum saat ini dan apa yang orang luar rasakan tentang kopi kebanggaan ini adalah sebuah luka.” Ucap kakek setelah meneguk kopi pekat itu secara perlahan.

Kakek mengalami trauma akut, yaitu situasi sulit tenang sehingga ia harus ditenangkan dengan segelas kopi.

Kakek sudah lama dipasung di kamarnya, sebab pernah sekali peristiwa kakek menghadang mobil berpelat merah di jalan dan memukul seorang anggota DPR. Kejadian itu membuat ibu dan warga sekitar takut.

Ibu pernah membeli obat dari rumah sakit untuk menenangkan kakek, tetapi tidak berpengaruh sama sekali.

Sialnya, kakek hanya mau meminum kopi dari belakang rumah kami yang tinggal sepohon sebab pohon satunya lagi sudah mati karena kemarau berkepanjangan.

Aku melihat ibu kerap menangis di depan tungku. Kukira ibu menangis karena kepulan asap dari kayu bakar yang masih mentah. Tungku adalah tempat ibu selalu duduk dan menundukkan kepalanya. Hari ini, aku beranikan diri untuk menghampiri ibu dan bertanya.

“Ibu, apakah kayunya masih basah? Lain kali aku akan mencari kayu yang sangat kering agar ibu tidak mengeluarkan air mata.


Baca juga:

  1.  Puisi Di Bukit Golgota
  2. Puisi Cerita Derita Mama
  3.  Info Buku Dari Iestibookstore

 

“Iya Anto lain kali carilah kayu yang kering agar asapnya tidak mengepul seperti ini.”

“Ada apa dengan kakek Bu?”

Sebelum menjawab, ibu lebih dulu meneteskan air mata.

“Anto, pada 2003 ketika kamu masih kecil, pemerintah membabat semua kopi termasuk di kebun kakek. Kemudian, tahun 2004 kakekmu memaksa ayah kamu untuk ikut bersama warga ke Ruteng dalam rangka melakukan musyawarah dengan pemerintah. Tetapi, sejak saat itu ayah kamu tidak kembali. Ayah kamu ditembak mati.” Ibu menghentikan pembicaraannya sejenak lalu menunduk.

“Ibu, bagaimana dengan Om Wawan tetangga kita yang katanya terlibat dalam demo tetapi masih bisa kembali dan berkumpul dengan keluarganya.”

 

“Anto, kau tidak tahu bagaimana luka itu ada dan mengendap sampai sekarang. Luka semua orang yang merasakan bagaimana kekejaman itu terjadi. Om Wawan semenjak kejadian itu menjadi lumpuh.  Ia hanya mampu menatap dari teras rumah semua orang yang beraktivitas dengan bebas. ”

Aku berusaha menenangkan ibu dengan memeluknya erat, sebab aku bisa merasakan luka ibu.

“Setelah ayahmu meninggal, kakek menjadi sulit tenang. Setiap malam ia berteriak karena anak satu-satunya meninggal serta kebun kopi peninggalan nenek moyangnya dulu sudah dibabat. Anto, maaf karena kejadian itu pula ibu hanya mampu menyekolahkan kamu sampai jenjang yang lebih tinggi. Kamu tahu kan, kita makan saja tidak cukup apalagi uang untuk sekolah kamu.”

“Dor, dor, dor. Mati kalian. Berhenti!” teriak Kakek dari kamarnya.

Aku kembali melihat hutan lebat di belakang rumah. Pohon mahoni dan jati tumbuh dengan subur di sebelah pohon kopi yang dipotong. Aku melihat wajah ayah dan nasib warga di kampung ini yang ikut terpotong bersama pohon kopi itu.

Yang kami punya saat ini hanya satu pohon kopi, lalu bagaimana kakek akan sembuh?

Ketika malam tiba, kakek kembali berteriak meminta segelas kopi. Ibu berlari ke dapur untuk membuatkan kakek kopi hitam yang sama dari pohon yang sama pula.

Ibu berada di dapur sangat lama hingga aku pun tertidur menunggunya kembali.

Ketika pagi, kakek masih saja berteriak.

“Apa mungkin tadi malam ibu tidak memberinya segelas kopi?” Batinku.

Aku segera menyusul ibu ke dapur tetapi kondisi tungkunya tidak ada api. Ibu biasanya memasak air di pagi hari. Aku berniat membuatkan kakek kopi, tetapi stoples tempat ibu biasa menyimpan kopi sudah habis. Aku mencari ibu di pohon kopi satu-satunya di belakang rumah. Kutemui tubuh ibu tergantung tak berdaya sembari memegang gelas untuk kopi kakek.

“Ibu tiada, kopi tiada.”

____________________________________________

Tentang Penulis

Angelina Delviani berasal dari Manggarai dan kini sedang menempuh pendidikan di Unika Ruteng.

Posting Komentar

0 Komentar