Re
Jakarta, 24 Februari 1966
“Di, Re tertembak di depan istana negara. Sekarang, dia di RSU.” Terdengar suara Arya yang tergesa-gesa dari telepon. Tanpa menjawabnya Dini langsung meletakkan ganggang telpon, mengikat rambut panjangnya lalu menyambar tas yang terletak di kursi tak jauh dari posisi meja telepon. “ Di, mau kemana?” Tanya mama . “Ke RSU, Re kena tembak.” Kata Dini sambil melangkah keluar rumah. “ Ya ampun. kok bisa terus dia sekarang gimana? Maksud mama…” Dini memegang lengan mama sambil berkata, “Ma, aku harus cepat ke RSU.” Dini mengenakan helmnya kemudian melaju bersama sepeda motor menuju RSU.
“ Di, kamu gak usah cemas. Re, terluka di lengan itu bisa tertolong. Peluru sudah di ambil.” Kata Arya sambil menenangkan Dini yang tersedu di bangku tunggu RSU. “ Bang, aku gak ngerti apa yang ada di pikiran Re? Apa dia sudah benar-benar tidak waras?” Kata Dini lirih. “ Eh kamu gak boleh bilang gitu. Yang kita perjuangkan bukan kesia-siaan, Di. Ini untuk kepentingan bersama” Arya berbicara dengan suara pelan dan ekspresi sungguh-sungguh. “Bang Arya, Re kalian semua pernah gak sih berpikir. Kalau kalian kehilangan nyawa, siapa yang bisa mengganti? Ini bukan hanya masalah idealisme aja, ini nyawa.” Dini menghapus air matanya dan bersuara lebih keras. “Lantas, jika kita tidak idealis apa kita perlu menjadi apatis. Negara sedang tidak baik-baik saja, Di. Kita butuh perubahan. Perubahan yang mendatangkan kebaikan bersama. “ Arya terus menyakinkan Dini tetapi dia masih gundah. “Keluarga Renaldi Setiawan.” Kata seorang perawat yang membuat Dini dan Arya berdiri dan menghampirinya. “Pasien masih butuh istirahat. Kalau mau ke kamar satu persatu terlebih dahulu.” Kata perawat tersebut. Lalu, Arya mempersilahkan Dini masuk ke ruang rawat inap Re.
Dini menatap kekasihnya yang berbaring di tempat tidur dengan sendu. “Di, aku…” Kata Re perlahan. Sebelum Re melanjutkan Dini mendekatinya,“ Re, ini yang kamu mau dari hasil perjuanganmu. Aku udah bilang berkali-kali. Kalian cuma punya idealisme sedang mereka punya senjata, punya kekuasaan. Kalau sudah begini kamu bisa apa?” Kata Dini lirih. Re berusaha meraih jemari Dini tapi ia mundur selangkah. Air mata Dini berjatuhan. “Maaf Di tapi aku dan kawan-kawan…” Dini segera menghapus air matanya sambil berkata, “ Apa kamu tidak pernah memikirkan keluargamu dan aku. Re, aku enggak bisa lihat kamu terluka. Aku benar-benar enggak sanggup. Jangan hubungi aku jika kamu memilih berjuang untuk ini.” Dini melangkah keluar ruang. Dia pura-pura tak mendengar panggilan Re. Arya segera menghampiri Re dan membiarkan Dini meninggalkan ruang.
“Perjuangan kita belum selesai kawan. Ayo semangat. Pengorbanan kita bukanlah kesia-siaan. Aku yakin dengan apa yang kita perjuangkan. Kita pasti bisa mewujudkan Tritura. Pasti. ” Kata Re ketika Arya mendekat. “ Pasti. Aku juga yakin. Intinya pantang menyerah.” Sahut Arya Api di hati Re dan Arya berkobar.
Sementara Dini terus berjalan menelusuri lorong rumah sakit dengan perasaaan yang campur aduk antara kecewa dan takut kehilangan. Dia berpapasan dengan para korban demonstrasi hari ini. Almamater penuh darah, tangisan dan erangan terlintas jelas di matanya.
“Telah terjadi demonstrasi oleh sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam KAMI di depan istana negara hari ini, 24 Februari 1966. Adapun dari demonstrasi ini banyak mahasiswa yang terluka dan Arif Rahman Hakim, seorang mahasiswa fakultas kedokteran gugur dalam perjuangannya menyuarakan Tritura.” Dini menghentikan langkahnya sambil menatap berita dari televisi rumah sakit. Ia pun menghela nafas yang panjang. Terbayang kembali wajah kekasihnya yang masih terbaring lemas di ruang perawatan. Perjuangan harus dibayar dengan suatu harga. Tapi Dini belum mampu menanggung pengorbanan yang dilakukan Re.
Jakarta, 12 Maret 1966
Gerimis riuh di luar jendela. Dini menatapnya dari ruang tamu. Di balik warna biru gordin, langit tampak semakin mendung. Sepasang matanya pun menatap kalender. “Hari ini ulang tahun Re.” Kata Dini dalam hati. Ia pun menghela nafas yang panjang dan dalam. Kenangan membawanya kembali saat ia pertama bertemu Re di depan perpustakaan kampus.
“Kak, permisi ini dengan Kak Renaldi. Mau minta tanda tangan.” kata Dini waktu itu dengan mengunakan atasan putih dibalut almamater dalam kegiatan orientasi kampus. “Nah, ini pasti telat datang upacara, ya kan ? Nyanyi dulu garuda pancasila yang keras sama tangan kanan letakkan di dada.” Dini menaati perintah Renaldi. Mulai hari itu mereka pun saling mengenal, sering bertemu dan berbincang. Pertemuan dan perbincangan mendekatkan mereka hingga rasa itu tumbuh di hati Re dan Dini. Namun saat ini, perasaan khawatir di hati Dini tampaknya lebih besar dari rasa yang lain.
Sementara Dini merenung, Dito kakaknya menyalakan televisi di ruang makan. Suara televisi pun memecahan keheningan rumah. “Setelah menerima surat perintah 11 maret 1966 dari Presiden Soekarno, Jenderal Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat RI membubarkan Partai Komunis Indonesia(PKI) hari ini tanggal 12 Maret 1966.” Dini membuyarkan lamunan lalu beranjak ke ruang makan. Di depan Televisi , Dito berdiri dan menyimak berita hari ini. “ Ini ni, salah satu hasil demo yang lalu. Di, kamu lihat ya, keyakinan, perjuangan dan pengorbanan itu pasti ada hasilnya. makanya jangan terlalu banyak khawatir. Doa dan usaha dibanyakin” Kata Dito. “Maksud Bang Dito , ini pengaruh demo tanggal 24 Februari itu?” Tanya Dini. “ La masih tanya, ya iya. Ini baru awal ya nanti pasti Tritura itu akan terwujud. Pasti.”
“Kringggg” bunyi telepon yang nyaring membuat Dini beranjak meninggalkan Dito lalu meraih ganggang telpon “ Halo.” Dini nemyapa penelpon. “ Di, aku tunggu di Kafe Biru jam sembilan malam ini. Aku rindu.” Kata Re dengan lembut. Hati Dini berdesir. Kali ini ia tidak langsung meletakkan ganggang telepon. Sedang, dari luar jendela langit tak lagi mendung. Rona biru dan putih membaur di cakrawala. Gerimis pun telah reda.(Araamel)
0 Komentar