Ilustrasi WallpaperBetter |
MERAH KUNING HIJAU DI LAUT BIRU (Bag. 1)
Pagi berpayung awan di hari Sabtu ini mungkin menjadi saat yang teramat cocok untuk kembali menarik selimut, memeluk guling dan mengacak-acak seprai di atas pembaringan. Melanjutkan petualangan di alam mimpi hingga siang hari nanti. Beginilah rutinitas para pangeran-pangeran ibukota yang belum memiliki permaisuri, seperti aku. Hehehe.
Namun, petualangan hari ini akan terlalu membosankan jika hanya kujalani di atas kasur busa beraroma keringat (aku belum sempat menjemurnya karena seminggu terakhir ini matahari begitu pemalu seperti seorang gadis lugu tak bergincu dari Rawalumbu). Aku sudah punya rencana yang lebih seru dari itu.
Pukul 06.00 WIB aku tuntas berkemas rapi. Ransel hitam lusuh yang sudah tujuh tahun setia menemani dalam berbagai kembara dan perjalanan jauh, kini terisi perlengkapan standar berupa pakaian ganti dan bekal secukupnya.
Minggu lalu, pamanku yang bernama Om Yulian, menghubungiku. Beliau adalah adik kembar dari almarhum ayahku. Lewat pembicaraan di telepon genggam, dia memintaku menemaninya memancing di akhir pekan ini.
Meskipun kembar identik, tapi Om Yulian dan ayahku memiliki sifat dan hobi yang berbeda. Ayahku orangnya supel, mudah bergaul dengan siapa saja dan kalau berbicara selalu terlihat cerdas dengan berbagai pengetahuan yang dikuasainya. Bahkan tak jarang di sela pembicaraan ia sisipkan dengan kelakar segar yang membuat lawan bicaranya tertawa. Hobi ayahku berolahraga. Dari beliaulah aku belajar menyukai sepakbola, baik sebagai tontonan maupun sebagai hobi.
Sedangkan Om Yulian orangnya lebih tenang, tak banyak bicara. Hobinya pun tak jauh dari unsur-unsur ketenangan, seperti, merawat aneka tanaman, membaca buku, dan memancing. Salah satu kesamaan di antara Om Yulian dan ayahku (selain kemiripan wajah dan postur tubuh, tentunya) adalah kecerdasannya. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar mereka berdua selalu juara kelas bersama. Ayahku pernah bercerita bahwa dulu saat masih menuntut ilmu di SDN 04 pagi Jakarta Timur, wali kelas mereka harus menyiapkan dana dua kali lipat sebagai hadiah untuk juara kelas. Karena peringkat pertama memang selalu diraih bersamaan oleh mereka berdua dengan nilai-nilai yang sama persis. Sebagai solusi akhirnya sang kepala sekolah memutuskan untuk memisahkan mereka di kelas yang berbeda. Jadi ayahku duduk di kelas 4A, dan Om Yulian di kelas 4B. Mereka pun tetap langganan juara di kelasnya masing-masing hingga lulus SD.
Sejujurnya, aku kurang suka memancing. Tapi tentu saja ajakan Om Yulian tak mungkin kutolak demi kesopanan terhadap orangtua. Selain itu, aku menyukai beliau yang ramah dan murah senyum. Setiap kali bertemu dengan Om Yulian, aku serasa bertemu kembali dengan almarhum ayah yang begitu kurindukan. Bohong kalau aku sudah merelakan kepergian ayahku dengan ikhlas meskipun telah tujuh tahun berlalu.
***
BACA JUGA
Pukul 06.40 WIB, aku menyetop angkot jurusan Ancol, tempat yang direncanakan menjadi titik pertemuan dengan Om Yulian. Kebetulan angkot itu kosong, belum terisi seorang penumpang pun di dalamnya. Hanya ada sang supir di balik kemudi mengendalikan angkot supaya baik jalannya, hey, tuktiktaktiktuk. Demikian senandungku dalam hati.
Setelah angkot berhenti, Kubuka pintu depan dan langsung duduk tepat di samping pak supir yang sedang bekerja, mengendali angkot supaya baik jalannya, hey... (sebaiknya aku berhenti bersenandung). Beginilah kebiasaanku jika hati sedang senang, bernyanyi dan terus bernyanyi. Baik di mulut ataupun di dalam hati.
Karena ini akhir pekan dan masih pagi pula, lalu lintas terlihat lengang. Perjalanan lancar bagai aliran sungai ciliwung zaman purba. Tak ada kemacetan maupun lolongan klakson bersahutan layaknya hari kerja. Semua tampak baik-baik saja, sampai ketika akhirnya angkot yang kunaiki tiba di sekitar seratus meter terakhir sebelum pintu masuk Gelanggang Samudera Ancol.
Sebuah motor Harley Davidson besar memotong jalur dengan kasar dari sebelah kanan angkot. Sang bapak supir angkot yang terkejut hampir saja kehilangan kendali.
“Woyy! Dasar Orang Kaya!! Duit banyak, otak nggak punya!!” Makinya kepada pengendara motor.
Sepertinya pengendara motor yang berkepala botak plontos dan tak mengenakan helm itu bisa mendengar makian sang supir dengan jelas. Ia menghentikan laju motornya lalu parkir melintang di tengah jalan.
Mau tak mau supir angkot yang kutumpangi pun menghentikan laju kendaraannya karena lajur jalan tertutup oleh motor tadi. Aku sudah mencium gelagat tak mengenakkan.
Pengendara motor itu bertubuh tinggi dengan perawakan kurus, mengenakan jaket denim lusuh dan kacamata hitam. Ia menghampiri angkot yang kutumpangi dan langsung menggebrak pintu di sisi pengemudi dengan tangannya.
“Elo teriak apa tadi, hah?!” Bentaknya kepada si supir angkot.
Supir angkot yang kutumpangi ini seorang bapak-bapak tua berusia sekitar 50 tahun. Tubuhnya terlihat kurus kering dan renta. Ia terlihat sangat menyesali teriakannya tadi. Aku memahami ketakutan yang dirasakannya saat ini.
“Maaf bang, saya nggak maksud ngomong begitu. Cuma, Abang tolonglah jangan memotong jalur kayak tadi. Bisa ketabrak dan nanti kita sama-sama susah, Bang!” Pinta supir angkot memelas. Aku iba padanya.
“Elo susah itu kan urusan lo sendiri, bangsat!” Tiba-tiba saja si pengendara motor botak mencengkeram kerah baju si supir. Ia bisa melakukannya dengan leluasa karena memang jendela angkot ini entah mengapa tak dilengkapi kaca seperti mobil normal pada umumnya.
Aku sebetulnya tak pernah ingin berurusan ataupun berkonflik secara fisik dengan orang lain. Tapi entah kenapa secara refleks tanganku langsung menghantam pergelangan tangan si pria pengendara motor itu. Tubuhku memang kurus dan kecil tapi hantamanku tadi cukup kuat untuk membuat cengkeraman si pengendara motor itu terlepas dari kerah baju supir angkot.
“Heh, Bocah. Nggak usah ikut campur lo! Supir ini bapak lo, hah?!” Bentak si botak kepadaku.
“Emang kalau ini bapak saya kenapa, Mas? Situ mau apa?! Jelas-jelas Mas yang salah bawa motor membahayakan pengguna jalan lain!” Sahutku tak kalah sengit.
Tiba-tiba dari arah belakang kami terdengar sayup-sayup sirine. Rupanya berasal dari mobil patroli Dishub yang dilengkapi dengan pengeras suara. Terdengar suara instruksi nyaring bergema, “ANGKOT, TOLONG JALAN ITU! JANGAN BERHENTI DI TENGAH!”
Si botak buru-buru berlari kembali ke motornya dan tancap gas melarikan diri.
Supir angkot yang kutumpangi pun menghela napas lega dan mulai berjalan pelan.
“Terima kasih ya, Mas, sudah membela saya tadi,” Ucap si bapak supir.
“Sama-sama, Pak. Memang kurang ajar orang itu tadi,” sahutku.
“Ngomong-ngomong, Mas mau ke Ancol ya?” Tanya bapak supir.
“Iya, Pak, mau ke Marina, dermaga,” Jawabku.
“Biar saya antar sampai masuk ke dalam. Jangan khawatir, angkot ini sudah biasa keluar masuk Ancol. Anak-anak saya semua kerja di situ,”
“Ah, jangan repot-repot, Pak.”
“Sama sekali nggak repot, kok, Mas.”
Dan begitulah. Rencananya Om Yulian akan menjemputku di pintu masuk Ancol. Tapi karena ada orang baik seperti si bapak supir angkot inilah maka rencana berubah sedikit. Perubahan rencana itu kuinformasikan lewat chat via whatsapp kepada Om Yulian yang juga tengah dalam perjalanan menuju Dermaga Marina. Supir angkot itu menepati janjinya untuk mengantarku sampai masuk ke area dermaga. Di semua pintu akses, angkot itu dipersilakan masuk tanpa ditarik biaya, bahkan semua petugas yang kami jumpai menyapa bapak supir angkot dengan ramah. Rupanya dia cukup dikenal di tempat ini. Saat kami akhirnya sampai di tujuan dan aku turun dari angkotnya, dia menolak uang ongkos yang hendak kubayarkan.
“Nggak usah bayar, Mas. Hari ini saya beruntung ketemu sama Mas. Anak-anak saya semuanya sholeh dan baik. Tapi takdir Tuhan, hari ini saya mengalami masalah dan justru dibantu oleh anak orang lain. Sampaikan salam saya buat bapaknya Mas, ya,”
“Bapak saya sudah meninggal, Pak,” jawabku sambil tersenyum kecut.
Supir angkot tertegun sesaat.
“Innalillaahi wa inna ilayhi raaji-uun, maafkan, Mas. Saya nggak tahu.”
“Nggak apa-apa, Pak.”
“Bapaknya Mas pasti bangga anaknya mau membela orang kecil seperti saya.”
“Aamiin. Terima kasih ya, Pak. Semoga hari ini Bapak dapat banyak penumpang.”
“Aamiin. Sama-sama, ya. Semoga hari ini Mas dapat banyak keberkahan.”
Setelah angkot itu pergi, aku mendapati diriku berada di tepi dermaga dengan pemandangan yang bagiku sangat menarik (mungkin karena jarang kulihat). Puluhan kapal didominasi oleh warna putih pada lambungnya, berjajar di sepanjang dermaga. Bersandar dan terombang ambing pelan oleh gelombang lembut di permukaan air. Aroma air laut yang khas dituntun masuk ke indera penciumanku oleh angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Suasana kurasakan begitu menentramkan hati. Lalu terdengar suara yang tak asing,
“Agung!”
Seseorang memanggil namaku. Menggerakkan leherku untuk menoleh. Sekitar lima belas meter di belakangku, seorang pria usia lima puluhan, berkulit agak gelap, dengan wajah yang sekilas mirip aktor Hollywood, Idris Elba, melambaikan tangan ke arahku. Dilepasnya kacamata hitam dan dimasukkan ke dalam saku kemeja flanel hijaunya. Celana pantai selutut dengan motif bunga warna-warni berkibar liar tertiup angin. Ada sesuatu mencekat pangkal tenggorokanku. Susah payah kutahan air mata. Orang itu, terlihat sama persis dengan almarhum ayahku.
“Om
Yulian!” Sahutku.
(bersambung)
___________________________________________
1 Komentar