MEMBACA POLEMIK PAJAK DAN KEBIJAKAN POLITIK DI INDONESIA || LUDGERAS ADUN

Ilustrasi kompas.id

MEMBACA POLEMIK PAJAK DAN KEBIJAKAN POLITIK DI INDONESIA

(Studi tentang Etika Politik John Locke dalam Merespon Polemik Pajak di Indonesia)

1.      Latar Belakang

     Politik memiliki peran sentral dalam suatu negeri. Politik secara tak langsung sebenarnya telah menggenggam seluruh kehidupan masnusia. Atas dasar itu, maka dapat dibaca bahwa politik dapat ditemukan dimana saja, tanpa batas ruang dan waktu. Hal ini mengindikasikan politik itu sendiri merupakan salah satu hal urgen dalam kehidupan bersama. Kesejahteraan dan kedamaian suatu komunitas publik (n egara) dapat terrealisasi dengan baik andai kata kebijakan politik yang diambil mampu menjawab kebutuhan masyarakat umum. Namun, sebaliknya juga apabila keputusan diambil berdasarkan pertimbangan yang lebih menguntungkan sebagaian kecil orang dan merugikan orang banyak justru mendatangkan polemik besar. Bisa saja kebijakan itu ditanggapi dan dikecam oleh publik sendiri, karena dinilai kurang etis dalam berpolitik.

  Hari ini kebijakan politik di negara demokrasi ini menuai banyak protes dari masyarakat. Salah satu diantaranya adalah soal penagihan pajak. Sebagaimana yang tertera pada UU NO.16 tahun 2009, setiap orang wajib mebayar uran/pajak kepada negara (Har Sriyanto, 2021). Kebijakan ini menuai banyak protes baik dari kaum akademik mau pun masyarakat awam. Hadirnya kebijakan wajib membayar pajak bagi sebagaian orang merupakan perampasan yang dilakukan negara atas dasar hukum legal. Pertanyaan yang menjadi dasar tulisan ini adalah mengapa kebijak wajib membayar pajak menuai polemik? Bukankan sebagai warga negara kita wajib taat kepada negara dengan membayar pajak? Hemat saya, ada sisi lain dari kebijakan negara terkait pajak ini yang mesti dipertimbangkan kembali. Oleh karena itu, saya mencoba menelisik kebijakan pajak ini dengan teori etika politik John Luck sebagai piso beda. Karena, hemat penulis etika mesti menjadi hal urgen yang mesti diperhatikan dalam kehidupan bernegara. Negara yang adalah komunitas dari masyarakat yang bermultikultural mesti menyapa dengan etis sebagai eksistensi dan esensi kita sebagai manusia. Dengan pendekatan etis, maka rakyat yang adalah manusia bermoral menjadi paham dan terkoneksi atas seluruh kebijakan yang dikeluarkan.

Etika Politik John Lucke

John Luck adalah seorang filsuf modern yang juga mengkritik persoalan pajak yang diberlakukan negara terhadap masyarakat. Tesis dasar Locke bahwa manusia tidak memiliki prinsip moral yang dibawah sejak lahir (Frederick Copleston & Atolah, n.d.). Locke melihat bahwa moralitas belum ada secara otomatis dalam diri seseorang, ia hadir sejauh manusia berinteraksi dengan yang lain diluar diri manusia itu sendiri. Oleh karena itu, hemat penulis manusia lahir dengan situasi derita. Sebab, diskursus tentang moralitas mengandaikan adanya realitas kepedihan, penderitaan dan kemiskinan. Artinya, moralitas lahir dari kejadian manusia yang berada dalam situasi derita, miskin dan amat sengsara. Atas dasar realitas itu, manusia terdorong untuk mencari kebahagiaan tertentu (Ceunfin, 2022). Kebahagiaan itu dicari atas dasar fenomena ketidak-terpenuhnya kebutuhan manusia akibat penderitaan (situasi derita, sulit, miskin, dan sebagainya). Maka, untuk menjawab situasi ini, Locke sepakat bahwa kekuasaan menjadi sebuah sistem kontorl bagi setiap orang. Catatannya adalah kekuasaan, dengan daya kontrolnya mesti menjamini kebutuhan setiap manusi. Namun, Locke disini lebih menganjurkan pembatasaan atas kekuasaan bagi setiap orang, agar tidak menguasai yang lain (Ceunfin, 2022).

Pemerintah adalah pemangku kekuasaan tertinggi pada satu sistem kenegaraan. Ia berhak menentukan apa yang terbaik bagi keberlangsungan hidup bagi masyarakat di negara itu. Dengan kata lain, jatuh-bangunnya sebuah negara ditentukan berdasarkan bagaiaman  pemerintah menjalankan kenegaraannya sendiri, termasuk dalamnya soal kebijakan politik yang akan diambil. Terkait kekuasaan dalam suatu negara, Locke mengemukakan 4 hak dasar yang dimiliki manusia sebelum terbentuknya negara itu sendiri, yakni hak hidup, kebebasan, kesehatan dan kepemilikan (Koten, 2022). Menurut Locke, ke-empat hak ini begitu fundamental, sehingga negara dengan kekuasaanya tidak boleh mengabaikan, menghapus, atau bahkan menghilangkannya (Koten, 2022). Atas dasar itu, maka Locke sangat tidak setuju apabila ada kebijakan atau tindakan yang mana lokusnya mengobjekkan peribadi orang lain. Kekuasaan yang mengobjekan atau memperalat sseorang peribadi dalam kaca mata Locke adalah sebuah bentuk kriminal. Bahwasanya, orang lain tidak boleh dengan leluasa mengambil apa yang menjadi miliki orang lain, sekali pun itu negara.

Secara teori, Locke bahkan menolak akan pengeksploitasian negara terhadap kepemilikian seorang warga negara. Namun, Locke justru berbalik berpihak kepada negara. Bahwasanya, seorang dengan bebas memilih negara sebagai negara aslinya. Pemilihan itu, tentu memiliki konsekuensi bahwa seorang warga yang menjadikan negara tertentu sebagai negara aslinya mesti taat dan patuh pada negaranya sendiri. segala macam regulasi dan ketentuan negara yang mewajibkan warga negaranya pro-aktif mesti dijalankan sebagai bentuk pengabdian terhadap negara (Koten, 2022). Rupanya, Locke sendiri seorang nasionalis. Ia mengakui bahwa negara terbatas dalam mengatur warga negaranya. Tapi, sebagai peraturan dan hukum pada suatu negara yang berlaku, maka itu menjadi kewajiban warga negara. Artinya, regulasi negara tentang perpajakan bagi tiap warga negaranya adalah kesepakatan bersama, maka kesepakatan itu mesti dijalankan, meskipun harus mengambil properti dari warga negara. 

Membaca Relevansi Etika Politik John Locke terhadap Polemik Kebijakan Pajak di Indonesia.

Sebagaimana Locke yang mengkritik kekuasaan absolut yang meneksploitasi apa yang menjadi hak orang lain, penulis juga berdiri pada posisi yang sama pula. Karena, mengambil hasil usaha orang lain secara paksa hemat penulis adalah bentuk kriminalitas. Apalagi dalam kasus pajak ini; negara mewajibkan tiap warga negaranya untuk membayar pajak. Bukankah itu sebuah pencurian yang dilegalkan karena disahkan oleh hukum negara? Namun, pemikiran Locke menjadi acuan dasar untuk menilai kembali eksistensi kita sebagai warga negara dan esensi negara itu sendiri. Sebagaiamana Locke, penulis mengamini bahwa menjadi warga negara yang taat adalah salah satu jalan menuju kesejahteraan. Namun, tingkat kesejahteraan pada tiap diri orang itu berbeda dari antara yang lain. Benar, bahwa kesejahteraan adalah esensi yang berbeda dalam diri tiap orang. Kesejahteraan bagi seluruh masyarakat adalah salah satu tujuan dari kebijakan wajib pajak setiap warga – dari hasil pajak itu akan didistribusikan dalam rupa subsidi kepada tiap warga negara yang memerlukan bantuan. Hemat penulis ini adalah gerakan etis yang digenjot negara. Namun, menapa masih ada polemik? Locke mengajak kita untuk kembali kepada kewajiban kita sebagai warga negara. Apa yang mesti kita perbuat untuk negara, termasuk pajak mesti dilakukan sebagai pemenuhan hukum dan ketaatan.

Penutup

Adanya kesalaha-pahaman masyarakat terkait arti dan makna pajak itu sendiri. hadirnya polemik terkait kebijakan pajak di Indonesia hemat penulis lahir dari kegagalan masyarakat untuk mengartikan pajak itu sendiri. People  For  The  American  Waytahun  1989  di  Amerika pernah melakuakn penelitian terhadap perspektif warga soal kewajibannya sebagai seorang warga negara. Berdasarkan penelitian itu, kebanyakan responden cendrung mengedepankan soal keterpenuhan hak dan kewajibannya sebagai seorang peribadi, ketimbang kontribusinya sebagai seorang warga negara terhadap negara (Rahmandani & Samsuri, 2019).  Penulis menduga bahwa hal serupa pula yang akan terjadi bila penelitian yang sama dilakukan di Inonesia. Penelitian ini mengafirmasi akan keegoan warga; warga selalu menuntut negara dalam pemenuhan haknya, namun ia menyepelekan kewajibannya sebagai warga negara. Akhirnya, atas terang Etika Locke; melihat eksistensi dan esensi kita sebagai warga negara terhadap negara, perlunya ada rekonstruksi ulang tentang pandanaganatas kewajiban kita terhadap pajak khususnya. Pemahaman yang benar akan mem buatmasyarakat dapat menerma pajak sebagai kewajiban yang telah disepakati bersama. Pendidikan menjadi opsi tepat  untuk menamakan pemahaman yang baik atas kewajiban warga terhadap negara yang kini kian memudar.

 Sumber Referensi:

Ceunfin, F. (2022). Etika dan Politik John Lucke. Bahan Kuliah Sejarah Pemikiran Modern IFTK Ledalero.

Frederick Copleston, S. J., & Atolah, R. Y. (n.d.). Filsafat John Locke. BASABASI.

Har sriyanto. (2021). Kewajiban Warga Negara Membayar Pajak. In Binus; University Character Building Development Center. https://binus.ac.id/character-building/2021/03/kewajiban-warga-negara-membayar-pajak/

Koten, Y. K. (2022). Menelaah Prinsip-Prinsip Etis di Balik Tindakan Negara. In O. G. Koten, Yosef Keladu & Madung (Ed.), Menalar Keadilan (p. 22). Penerbit Ledalero.

Rahmandani, F., & Samsuri, S. (2019). Hak Dan Kewajiban Sebagai Dasar Nilai Intrinsik Warga Negara Dalam Membentuk Masyarakat Sipil. Fikri: Jurnal Kajian Agama, Sosial Dan Budaya, 4(1), 113–128.


______________________________________________

Tentang Penulis

Ludgeras Adun berasal dari Cancar-Manggarai. Ia adalah mahasiswa aktif di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero. Sekarang tinggal di Wisma St Rafael Ledalero.

Posting Komentar

0 Komentar