CERPEN AIR KALI TURUBEAN

 

Ilustrasi Google 

AIR KALI TURUBEAN

Jam dua belas malam. Mobil yang kami tumpangi itu berbunyi panjang seperti sedang memberikan pesan kepada para warga kalau kami sudah tiba. Situasi sunyi, jalan berbatu sesekali melatih kami untuk  bisa goyang pinggang. Meski capek,  kami merasakan ada situasi tenteram, karena kampung ini jauh dari situasi kota. Angin segar, bulan terang dan ketenangan di kampung meyakinkan saya bahwa ada sesuatu yang indah di tempat ini.


Om Paul menerima kami di pintu gerbang rumahnya. Sementara gelap gulita, hanya ada pelita dan sisanya suara bisik malam yang menghantar kami untuk beristirahat malam di tempat ini. Malam itu saya beristirahat di rumahnya Ema Mia. Ia seorang Janda yang ditinggal mati suaminya.


Malam itu saya di antar ke rumahnya Ema Mia. Di rumah sederhanya itu, hanya ada Ema Mia dan dua orang anak laki-lakinya. Waktu kira-kira menunjukkan pukul setengah satu pagi dan Ema Mia menawarkan kami untuk beristirahat ditemani satu pelita bernyala. Pelita inu yang kemudian mengingatkan saya tentang masa lalu. Waktu masih anak-anak, saya tinggal bersama Opa dan Oma di desa Taunbaen. 20 tahun yang lalu sudah peristiwa itu, di mana Opa mengajarkan saya untuk betah belajar dengan pelita. Bahkan saya dilatih untuk belajar gaya semi militer. Menjawab salah satu soal maka siap untuk dipukul. Itu sebabnya melihat pelita ini, saya menjadi sedih, mengingat kembali mendiang Opa saya yang kini sudah tiada lagi, tetapi didikannya masih abadi.

 

Malam itu, Ema Mia berpesan “No, kami sini listrik tra nyala, kami pakai pelita. Dan ema dorang di sini air susah lee. Maka istrahat sudah no, biar besok kita bisa bangun pagi” Suara Ema Mia mirip suara Mama saya. Lagi-lagi kesedihan melanda batin, ada kerinduan dalam diri saya untuk mendengar suara mama, tetapi itu tidak bisa terjadi, sebab jaringan sedang tidak mengenal rindu. Saya berbaring di atas kasur tebal  dan berusaha untuk tertidur.


Di pagi hari. Burung-burung berkicau, Telinga saya menangkap bisikan beberapa orang di luar rumah. Saya memberanikan diri untuk mencari sumber suara itu. Saya melihat, asap mengepul dari dalam gubuk kecil. Saya menyaksikan bagaimana perjuangan Ema Mia memasak untuk memberi saya makan. Senyum kebahagiaan terlintas dari tatapan wajahnya.


“Nong, Enko su bangun? Ema masih masak dulu leee”

“Tra apa Ema. Saya sudah terbiasa bangun jam begini ema.”


Setelah bercakap-cakap dengan Ema Mia, saya ingin membasuh muka saya, agar kelihatan cerah. Saya pun bergegas menuju kamar  mandi. Betapa kagetnya diriku ketika melihat air di dalam bak mandi, saya menetaskan air mata, berusaha untuk meluapkan kesedihan saya, tetapi saya merasa penasaran, ada dalam pikiran saya apakah air ini seperti kotor atau air bersih atau barangkali ada oknum tertentu yang merusak air ini.


Pagi ini saya melihat tante Lina membawa ember dan Delon anaknya kaka Tepin membawa dua jerigen. Mereka berjalan beriringan dan sangat gesit. Saya melihat mereka berarak ke suatu tempat. Saya menduga bahwa air yang mereka timba adalah mata air. Tetapi di saat saya memikirkan hal itu, Pikiran saya kembali diusik oleh suara Ema Mia. Rupanya sudah jam sarapan pagi. Di meja makan telah tersedia nasi jagung yang disiasati dengan daun kelor dan ikan kering. Sungguh nikmat rasanya.


Ema Mia berpesan bahwa di sini air mandi dan air minum sama mereknya, terkadang coklat, terkadang terlihat bersih sedikit, terkadang airnya  persis air banjir. Itu sebabnya Ema Emi membuat saya harus bisa menyesuaikan diri di Turubean.


Turubean adalah nama kampung ini. Sejak mendengar kisah Ema Mia tentang air. Saya menjadi penasaran, untuk itu saya ingin merasakan mandi di Kali. Jam lima sore, saya dan adik Martin bergegas ke Kali. Betapa indahnya menelusuri pohon-pohon asam, kosambi, lontar dan buah-buahan yang sangat lezat, saya merasakan bahwa ini sungguh suatu pengalaman menarik. 


Sesampainya di Kali, saya jadi terheran-heran, Ema Mia rupanya berkata benar bahwa kali ini kotor sekali. Tetapi airnya segar, terlihat beberapa orang mandi di sana dan demi meyakinkan orang banyak bahwa saya ingin merasakan air ini.


Setelah mandi, badan saya gatal-gatal. Saya cemas dan merasa tidak nyaman. Malam itu saya tidak bisa nyenyak, saya bertarung sendiri dengan bintik-bintik merah yang membenjol dibadan. Penderitaan ini menjadi satu-satunya pengalaman buruk yang ada dalam diri saya. Syukur bahwa orang-orang Turubean selalu memberi dukungan berupa makanan, minuman, dan obat-obatan tradisional.  Dua hari sudah  saya mengalami sakit. Tetapi kebaikan mereka itu mampu menyembuhkan segala sakitku.(Yohan)   

Posting Komentar

0 Komentar