Di dalam Angkutan KotaPixabay.com
Mita menerobos udara pagi dengan
sisa-sisa tenaga yang ia miliki. Baju dan celana biru pudar adalah pakaian wajib yang
harus dikenakan. Sambil membawa tas berwarna merah darah ia berjalan keluar pabrik.
“Duluan ya Bu,” ucap rekan kerjanya.
“Iya San,” jawab Mita dengan senyum
seasam jeruk nipis.
Dengan jemari menjelang keriput ia
memberhentikan angkutan kota. Di dalamnya sudah hampir penuh. Terdapat seorang
ibu dengan anaknya yang masih kecil, laki-laki yang berbadan kekar,
mahasiswa yang menggunakan almamater, pasangan yang terlihat romantis, dan seorang kakek.
Setelah beberapa menit di dalam angkot,
ibu yang membawa dua orang anak berkata, “Sekarang harga pangan serba mahal ya
Bu.”
Mita menjawab, “Iya betul Bu, harga
cabai sekilo sampai 100 ribu. Sebaliknya, penghargaan terhadap tenaga kerja
semakin murah.”
Pria berbadan kekar ikut berkata, “Cari
kerja itu susah, apalagi buat gue yang cuma lulusan SMP. Agar mendapatkan uang
gue kerja jadi kuli bangunan, tapi kadang juga nyambi jadi tukang pukul.”
“Selama korupsi merajalela, ekonomi
di negara kita bakal babak belur,” ucap mahasiswa dengan dada berapi-api.
“Harga BBM semakin naik,” sopir
angkot ikut menyeletuk.
“Iya betul, yang turun cuma payudara
nenek,” kata kakek sembari mencuri pandang ke dada gadis berlesung pipit.
“Awas Kek matanya copot,” ucap
pria—kekasih gadis.
Udara di dalam angkot semakin panas,
bukan hanya disebabkan oleh kondisi jalan yang macet. Namun di dalamnya ada
pria yang melontarkan bara dari mulutnya. Gadis berlesung pipit tidak menyukai
manusia yang mudah marah, apalagi yang marah adalah kekasihnya.
“Ini buat kamu.” Ia menyodorkan
sebotol air mineral kepada kekasihnya.
“Terima kasih dik,” ucap pria.
“Hmm,” balas gadis berlesung pipit.
“Kamu
kalau lagi ngambek tambah cantik,” goda pria.
Wajah gadis seperti lampu lalu lintas
saat berwarna merah. Orang-orang yang sedang jatuh cinta mendambakan waktu
berhenti agar dapat berlama-lama bersama kekasihnya. Percakapan di dalam angkot
ikut hening. Hanya terlihat gerakan-gerakan kecil.
Mahasiswa memegang dada sebelah
kanannya yang terdapat logo bergambar buku terbuka dengan perahu sebagai
penyanggahnya yang memiliki makna untuk menggapai daratan kesuksesan manusia
memerlukan ilmu.
Mita memijat perlahan kepalanya,
memikirkan nasibnya yang belum diangkat menjadi karyawan tetap. Ibu yang duduk
di sebelahnya menggenggam erat tangan anak semata wayangnya, tangan kecil yang
suatu saat akan membesar. Tangan yang kelak dapat mengubah tanah airnya agar
lebih subur atau malah membuatnya semakin kering.
Rudi
Setiawan, pria introver yang kadang-kadang menulis puisi, cerpen dan mengabadikan momen melalui fotografi. Bergiat di
beberapa komunitas literasi. IG: rudi_setiawan36.
0 Komentar