GEREJA “TEORI” DAN BUDAYA “PRAKTIK"

Gereja Maria Fatima Halehebing

GEREJA “TEORI” DAN BUDAYA “PRAKTIK”

Di Nusa Tenggara Timur sempat viral aksi masyarakat Mollo menghidupkan kreativitas dari kearifan local suku dawan. Dicky Senda seorang penulis buku Hau Kamelan dan Tuan Kamlasi memberanikan dirinya untuk pulang ke kampung dan merangkul anak-anak muda untuk mengembangkan kreativitas. Langkah awal yang dia buat adalah mengumpulkan anak-muda kemudian membuat riset tentang cerita rakyat, makanan lokal sampai cara membuat tenun ikat. Semuanya ditulis dan dijadikan bahan untuk mereka memulai berkarya. Hasil akhir Mollo kini dikenal sebagai daerah yang kaya akan kearifan lokal, dikarena Dicky senda  dan kawan-kawan dari Lakoat.Kujawas berani menghidupkan kembali budaya menenun bete, tais dan perlengkapan adat lainnya. Kemudian budaya memasak masakan lokal seperti ubi, pisang, sambal ut,luat, sis mete dan ada pula penggalian filosofi orang Mollo mulai dari bahasa dawan, tata krama dan jugamenghidupkan cerita atau mitos suku dawan yang beredar di Mollo.


Dicky Senda sangat berani. Ketika orang lain meninggalkan budayanya karena terasa tidak zamannya lagi, ia malah mengambil langkah rekonsiliasi terhadap budayanya dengan mencoba untuk merangkul kembali budayanya. Bahwa justru ketika orang meninggalkan daerahnya dan pergi merantau karena tidak biaya hidup kurang, Dicky dan kawan-kawan malah merasa bersalah jika emas di tanah sendiri diabaikan bahkan dilepas begitu saja. Maka jelas Lakoat.Kujawas bangkit membuat terobosan yang nyatanya dan sangat bagus. 

Berhadapan dengan apa yang dilakukan oleh Dicky Senda, Saya juga bangga dengan seorang  Felix K. Nesi. Meski sebagai seorang penulis terkenal, ia malah tidak sekalipun mencoba mengabaikan budayanya. Di saat situasi pandemi dan orang kesulitan mendapat pekerjaan, Felix justru merangkul anak-anak muda di sekitaran Bitauni untuk bekerja mengolah Tua Nakaf. Tua Nakaf merupakan salah satu minuman lokal yang dipakai dalam acara adat sebagai minuman persaudaraan. Bagi Felix hal yang luar biasa adalah ketika masyarakat diberikan bekal atau edukasi tentang pentingnya warisan leluhur. Adanya Tua Nakaf tidak hanya sekedar dijual untuk mendapat uang tetapi nilai sopi itu sendiri sebagai orang dawan adalah minuman persaudaraan. Jadi minuman sopi adalah bagian dari cara orang dawan mengikat persaudaraan dan mempertahkan kearifan lokal.  Jika kita pergi mengurus masalah di wilayah dawan, kita akan menemukan hal utama selain sirih pinang sebagai bentuk rasa menerima satu dengan yang lain  atau dalam artianya sebagai simbol penghargaan, dibalik itu ada juga suguhan  sopi yang menjadi simbol persaudaraan. 

Di wilayah dawan ada satu hal menarik yang sempat dibahas pula oleh dewan pimpinan keuskupan terkait Thel Keta. Thel Keta merupakan salah satu budaya dawan terkait Rekonsiliasi antar suku. Upacara adat ini biasanya dilakukan untuk sepasang kekasih yang ingin menikah. Tujuan awal dari diakannya Thel Keta untuk semata membersihkan kedua belah suku dari marah bahaya akibat pertengkaran antar suku di masa lalu. Momen ini dijadikan sebagai bentuk rekonsiliasi yang pada akhirnya menyatukan kedua suku dalam satu keluarga yang harmonis.


Di Gereja Katholik, umat diajarkan tentang hukum yang paling tertinggi adalah hukum cinta kasih. Saya teringat akan sabda Tuhan dalam  Efesus 4:32 Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu. Lebih lanjut dutegaskan dalam 1 Yohanes 4:8 Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.  Thel Keta menjadi salah satu cara umat di suku dawan mempraktekkan perintah sabda untuk saling mengampuni dan saling mencintai satu sama yang lain.

Dari beberapa kearifan lokal di atas. Saya menyadari bahwa ada orang-orang muda di daerah sendiri yang punya potensi untuk merawat dan menghidupkan kearifan lokal. Selain perlu disadari  bahwa adat istiadat sebetulnya melahirkan suatu cara hidup yang baik seperti yang terjadi pada tradisi Thel Keta. 

Dibalik hidupnya kearifan lokal, patut kita berbangga tetapi serentak kita perlu menilik lebih jauh apakah budaya kita sepenuhnya bisa hidup atau perlu kita abaikan. Kedua hal ini menurut saya penting.

Perlu kita hidupkan kearifan lokal yang ada. Caranya adalah masing-masing pribadi harus terlebih dulu menyadari akan keberadaannya sebagai manusia berbudaya. Apa yang harus dibuat dan bagaimana caranya supaya budaya tempat saya berada bisa tetap hidup atau berjalan sesuai zaman. Yang kedua abaikan.  Abaikan cara berpikir masyarakat yang menganggap budaya itu tidak zamannya lagi. Ketika ada pemikiran seperti itu, dengan sendiri kita sedang mengeksklusif budaya kita dari peradaman zaman. Padahal hadirnya budaya itu menjadi salah satu bentuk mencirikan siapa diri Anda. Contoh konkret pakaian adat, pakaian adat orang tetun beda dengan orang dawan. Hal ini menjadi salah satu keunikan yang mencirikan kita sebagai orang yang punya dan hidup dalam budaya.


Gereja perlu melibatkan diri dalam budaya setempat. Mengapa perlu, karena gereja menurut saya adalah sumber iman umat dalam istilah “Teori” sementara budaya adalah “Praktek.” Jika gereja mengajarkan untuk melindungi alam sekitar maka dalam budaya, umat hadir mempraktekannya seperti yang dilakukan oleh Dicky. Ketika di gereja pastor  berbicara tentang merawat persaudaraan, di dalam budaya umat telah melakukannya seperti makna minum sopi. Jika di Gereja dibicarakan tentang cinta kasih, mengampuni sesama maka di dalam budaya umat mempraktekkannya melalui Thel Keta. Jadi bisa disimpulkan bahwa Gereja sebagai bentuk ajaran kebaikan dan budaya sebagai ruang di mana ajaran dalam gereja itu dipraktekkan. Ibarat motor tanpa bensin, Gereja akan hidup apabila ada budaya. Maka itu gereja akan hidup  apabila mau berjalan bersama, hidup bersama budaya setempat.**

Posting Komentar

0 Komentar