Pixabay.com |
KUPON LURAH
“TRANG!”
Suara cangkir beradu
dengan cawannya membuat gendang telinga berdenyut. Aku terlalu bersemangat meminum
kopi ini. Ibu tersenyum di atas kursi rodanya sambil mencolekku, seolah
mengingatkanku agar tetap tenang. Tamu-tamu lain melirik. Tapi aku tak peduli.
Yang kutahu sebentar lagi aku akan mendapatkan motor baru. Kalian tahu kan, hari
ini adalah hari istimewa.
Apa? Kalian
sungguh tak tahu? Baiklah kuingatkan lagi. Bulan lalu warga Dusun Karangasin
termasuk aku, hadir di rumah Pak Sumar (di tempat yang sama di mana saat ini
aku sedang berada) dalam acara penetapan kandidat calon lurah. Pak Sumar adalah
kandidat kuda hitam yang diremehkan karena beliau tidak sebaik para kandidat
lainnya dari segi kemampuan finansial. Tapi beliaulah pemilik visi dan misi
yang paling tepat untuk memimpin daerah kami.
Saat itu Pak
Sumar membagikan kupon kepada semua yang hadir. Beberapa dari kami mengira
bahwa itu kupon doorprize. Betul itu doorprize, tapi bukan untuk diundi di
hari yang sama. Pak Sumar saat itu mengingatkan sebelum kami pulang, kelak andai
dia berhasil memenangi pemilihan lurah, maka semua yang saat itu hadir
dipersilakan untuk datang lagi dengan membawa kupon tadi di hari syukuran
kemenangannya. Untuk diundi dengan hadiah sebuah sepeda motor.
Rata-rata yang
hadir saat itu hanya tertawa. Kebanyakan mereka meremehkan kecilnya peluang
kemenangan Pak Sumar. Lagipula aku melihat sendiri orang-orang itu membuang
kupon mereka, jadi pesaingku sudah banyak berkurang.
Saat kampanye,
warga banyak yang bersimpati dengan kesederhanaan Pak Sumar. Sekaligus kagum
dengan janji-janji politiknya yang realistis dan, meski tak semuluk calon lain,
tapi cukup membawa kami untuk meyakini bahwa desa ini bisa semaju kota
terdekat. Bahkan mungkin mampu melampauinya.
Menjelang pemilihan,
kami menyaksikan sendiri banyak pemilih yang mengalihkan dukungan mereka kepada
Pak Sumar. Aku sendiri tak terlalu paham intrik politik. Tapi yang kutahu, dan
terpenting bagiku; ratusan pemilih baru yang akhirnya mendukung Pak Sumar di
detik-detik akhir itu ‘kan, tak hadir di hari penetapan kandidat. Yang artinya
mereka tak ikut kebagian kupon. Alhasil... pesaingku mendapatkan doorprize motor memang tak banyak.
Kenapa aku
begitu menggebu menginginkan motor itu?
Kau kan tahu setiap
hari aku harus pulang pergi mengantar adikku sambil mendorong ibu dan kursi
rodanya menempuh rute rumah Bude Tuti (untuk menitipkan ibu selama aku bekerja
di ladang), lalu ke sekolah mengantar adikku dan ke ladang untuk bekerja. Siangnya
aku harus menempuh lagi rute yang sama ke arah sebaliknya sebelum mengantar
mereka semua pulang.
Aku bukan
sedang mengeluh repotnya harus membawa ibuku kemana-mana dan mengantar jemput
adikku. Tapi dengan adanya motor itu, akan sangat memudahkan aktivitasku.
Nantinya tinggal membeli satu kursi roda lagi untuk ibu gunakan di rumah Bude.
Lalu mengantar jemput adikku ke sekolah pun jadi lebih mudah dan bisa tepat
waktu. Dan juga, aku bisa mewujudkan keinginan ibuku yang ingin memilih sendiri
baju barunya di sebuah mall di kota terdekat yang jaraknya sekitar 10 km dari
rumah kami. Sama dengan impian adikku untuk bermain ke taman ria di kota yang
sama. Dan kami pastinya bisa ke pantai setiap akhir pekan. Seperti yang dulu
pernah dijanjikan oleh almarhum bapakku jika kelak keluarga kami memiliki
motor.
Kenapa aku begitu
yakin akan berhasil mendapatkan motor ini? Ingat tidak, dulu aku pernah mimpi
bapak meninggal, paginya aku terbangun dan spontan muntah di kasur. Padahal
saat itu perutku tak merasakan gejala mual ataupun semacamnya. Siangnya bapak
dan ibu jadi korban tabrak lari. Sepedanya hancur. Bapak meninggal dan kaki ibu
lumpuh sampai sekarang. Itu satu-satunya kejadian dalam hidupku dimana mimpiku
jadi kenyataan.
Tapi sebentar
lagi itu bukanlah satu-satunya mimpiku yang jadi kenyataan.
Karena malam tadi akupun bermimpi, pulang dari rumah Pak Sumar mengendarai
sepeda motor. Dan paginya aku muntah di lantai kamar saat terbangun. Nah,
sekarang lihatlah motor berpita di sisi panggung itu. Warna joknya merah gelap!
Tepat seperti warna jok motor yang kududuki dalam mimpiku semalam! Kurang apa
lagi pertanda semesta?
“Baik, hadirin sekalian. Tibalah saat yang
kita tunggu-tunggu. Akan diundi untuk hadiah doorprize kita berupa sebuah sepeda motor matic!” Pembawa acara mengejutkan kami dengan suara baritonnya.
Hadirin bertepuk tangan riuh. Kuhitung, satu,
dua... sejauh ini yang terlihat olehku ada sekitar tujuh orang sedang memegang
kupon di tangan masing-masing.
Kubuka kuponku
sendiri. Kertas lusuh seukuran KTP dengan cap stempel ketua RW inilah tiket
untuk membahagiakan ibu dan adikku. Dan untuk meneruskan cita-cita almarhum
bapakku. Kulihat empat digit angkanya; 3-0-0-1.
“Bismillaah,
Ya Allaah, bahagiakan Ibu dan adikku, sayangilah almarhum bapakku, Ya Allaah
aku janji takkan meminta hal lain yang menyusahkan hingga akhir hayatku, cukup
kabulkan yang ini saja... Aamiin” pintaku dengan bibir bergetar.
Ibu tertawa
sambil mengusap kepalaku.
Pembawa acara
mulai membacakan kertas yang dipegangnya. “Baik Hadirin, anda semua sudah
menyaksikan barusan Pak Sumar sendiri yang mengambil kertas ini dari kotak
undian. Akan saya bacakan angkanya. Jika memang tidak ada pemiliknya maka akan
kita undi ulang ya, setujuu?”
Hadirin terlihat
menyahut serempak. Tapi aku tak mendengar suara apapun selain suara pembawa
acara yang akan membacakan angka kupon kemenanganku.
“Baik, digit
pertama, angka TIGAA ...!” Jerit pembawa acara. Langsung terdengar pekik kecewa
di beberapa sudut ruangan. Pasti dari mereka yang memegang nomor dengan digit
angka pertama selain angka tiga. Ah, masa bodoh.
“Digit kedua,
angka NOOL!”
Bu, baju baru
menantimu di pusat perbelanjaan yang kau dambakan.
“Digit ketiga,
angka NOOL!”
Kita main
sama-sama di taman bermain impianmu ya, Dik.
“Digit keempat,
angka DUAA ...!”
Pantai yang
sudah dekat di mataku, perlahan memburam dan menghilang.
Bagaimana
mungkin pembawa acara itu salah membaca angka?! Dia pernah belajar baca tulis
kan? Angka satu dan dua, kan, beda jauh, kok bisa salah lihat?!
“Yak, saya
ulangi, nomor pemenang motor matic
nya adalah TIGA-NOL-NOL-DUAA!! Nah itu orangnya, silakan ke panggung!
Aku jatuh
berlutut di tanah. Mataku basah tak sanggup melihat sekeliling. Tuhan pasti
tertawa. Dia lebih suka aku berjalan kaki mengantar ibu dan adikku setiap hari.
Tak apa. Yang
penting Allaah ridha. SUNGGUH AKU IKHLAS TAK MENGAPA.
***
Ibu diam saja
sepanjang perjalanan pulang. Dia tak pernah membebani anak-anaknya dengan
harapan yang terlalu tinggi. Ibuku tersayang.
“Kamu lupa kan?”
Tanyanya tiba-tiba.
“Iya, Bu. Benar-benar
lupa,” Aku tertunduk malu.
“Padahal selama
ini kamu ajak ibu kemana-mana, kok bisa lupa?” Ibu terbahak.
Aku sudah lama
tak melihat ibu demikian bahagia, meskipun kali ini hanya lewat kaca spion
motor. Beliau terus saja tertawa sambil mengelus kupon di tangannya.
***
___________________________________
Biodata:
Email: modaroae@gmail.com
WA:
081586400166
0 Komentar