PUISI WILDA HURRIYA-JEJAK BERSALIH DALAM TABUH REBANA

pixabay.com


Jejak Besalih dalam Tabuh Rebana


Telapak kaki kering meronta di ujung asa

tinggalkan jejak ke rawa-rawa dalam hutan

demi seorang anak yang terkulai tanpa gairah

hanya bersandar pada hangatnya pangkuan ibu

 

Segala daya tumpah tercurah pada denyut hidup

namun, cahaya pagi ini tak kunjung menuai senyum

kemanakah semburat bahagia itu bersembunyi?

haruskah kita kembali ke hutan yang lebih dalam?

 

Dari kayu asam payo menjelma balai-balai ritus

penghadap dan pengasih dipenuhi sesajen serta perhiasan

burung burung jalinan daun kelapa menjelma syair penghibur

pulih derita yang bersemayam dalam tubuh kecil itu

 

Bisikan mantra beriringan seraya tabuh rebana meresap kekuatan alam

seorang datuk jatuh tersungkur, tubuhnya kaku dan burung ondan terlepas

didekatkan semangkuk kemenyan untuk menarik benang kesadaran

basuh seluruh wajah yang letih berputar-putar

di antara penyakit dan harapan obat dari Tuhan

 

Hamparan bara api padam di atas tanah

mengakhiri rangkaian indah seremoni besalih

yang mengundang seluruh pelukis harapan

mengepung udara bumi untuk dihembuskan ke altar langit


Jakarta, 9 November 2022

*Catatan: Besalih adalah ritual doa sebagai pengharapan terakhir suku Bathin IX  Batin Sembilan merupakan masyarakat adat yang beraktivitas di dalam hutan dataran rendah Sumatera antara Jambi dan Sumatera Selatan sejak abad ke-7, masa Kerajaan Sriwijaya.


Demam di Musim Basah 

Musim mengalihkan wajah pada bibir jendela

Merengut pada langit yang awannya berat terbebani kristal es

ditunggunya titah Tuhan untuk menari di hamparan bumi, cuci tanah tandus

isi cawan-cawan kerontang yang mengais hawa

 

Air sungai berhamburan ke tepi, lari mendekati muara kasih

titip salam kepada ombak yang meninggikan janji untuk tetap kembali

 

Sementara, perindukan larva berpesta pora dalam kaleng bekas tak berdosa

melantunkan irama suci bagi ratusan titik yang berliuk di bawah genangan

 

Di sudut rumah jingga, air langit itu menjelma energi cinta penguat sukma

bertekuk lutut pada pujangga yang mewariskan syair pelipur lara

Syahdu nian kidung gerimis, memabukkan hasrat yang kedinginan

senyummu tak habis lima purnama

 

namun,

Senyum tak tertular semesta, terkadang ia congkak sendirian

 

Sebuah bala masuk tanpa aba-aba di sebuah rumah abu yang ragu menimbang

suhu tubuh meninggi, menggigil, dan memuntahkan mual

Nyeri nian sayatan luka pada sendi-sendi yang mengiba

tangismu tak reda sepekan masa

 

Sirine cemas melambung ke angkasa

bergesekan dengan cumulonimbus yang menggigit duka terkelam

Kemanakah air langit yang bertandang mesra pada rerumputan?

 

Adakah setetes doa, sepercik mantra meresap ke dalam darah

Gadis kecil terkulai dalam selimut dingin

Tangan kanan digenggam malaikat, tangan kiri terikat jemari bunda

 

Di simpang jembatan, lambaian tangan gadis kecil melerai waktu

sampaikan salam kepada rintik yang berdarah, kepada sakit di ujung selang infus, kepada pusara yang terus basah oleh air mata bunda

 

Jakarta, 9 November 2022



______________________________

Tentang Penulis

Wilda Hurriya. Kelahiran Jakarta, 8 Agustus. Anggota Community Pena Terbang (COMPETER) Indonesia. Saat ini sedang mengikuti Anugerah COMPETER Indonesia 2023. Telah menulis 12 buku antologi cerpen dan puisi. Juara II lomba menulis cerpen remaja oleh WRAcademy 2021. Puisi-puisinya bisa dibaca di blog pribadi, wildahurriya.com. Dan sudah pernah dimuat di beberapa media Riausastra, ngebutkata, Komunitas Kembang Rampai Bali, dll. Komunikasi melalui email: hurryawilda@gmail.com. IG: @wildahurriya

Posting Komentar

0 Komentar