Pixabay.com |
TITILUPI DAN ELAXORA
Titilupi adalah teman kecilku. Dia bermata biru bundar seperti piring mungil di meja rias ibu. Tiap pagi langkah kami yang berkaus kaki renda selalu seiring sejalan, main di halaman sekolah. Setiap Minggu pagi, kami pergi ke pinggir danau, melihat pemandangan. Burung-burung gereja makan remah roti yang kami tabur dengan tangan gemerincing gelang. Tak ada hari yang terlewat tanpa canda tawa kami, dua sahabat.
Suatu hari,
Titilupi yang berpipi kemerahan, pamit padaku. Dia akan pergi ke Kota Elaxora,
entah untuk berapa lama. Betapa sedihnya aku akan kehilangan teman kecilku,
sedu sedan pun tak tertahan. Di sore yang jingga, lambaian tangannya lambat
laun hilang di tepi danau.
Seperempat abad, kotaku, Celatior, berubah warna. Tanah kecokelatan jadi hitam aspal. Hijau tanaman di ladang jadi gedung-gedung pucat. Cuma danau yang masih sama. Di pinggir danau itu sering aku duduk, memeluk lengan kekasihku tercinta. Kami sering menatap danau, satu-satunya kenangan masa berjaya. Gemerincing gelang Titilupi tiba-tiba kembali.
”Apa kabar, sahabatku?” sapanya merdu dan peluk rindu pun kuhamburkan.
Dia masih gadis mungil pipi kemerahan.
”Kenapa ia tak beranjak dewasa?” Keras pikirku berujar.
Suaranya yang laksana denting piano, melantunkan cerita tentang Elaxora, kota bunga ungu dan danau biru. Dua senja berlalu, Titilupi pamit, akan pergi kembali. Kukejar ia, tetapi di tepi danau ia menghilang kembali.
”Tidak!”
Hujan air mataku begitu deras dan muram. Gadis lima tahun itu sirna di kedalaman danau. Membawa serta kekasihku ke Elaxora. Suara gaduh di sekelilingku samar. Aku duduk termenung, di mataku menari wajah Titilupi, teman kecilku.
____________________________________
Tentang penulis
Dian Riasari, lahir dan tinggal di Kota Malang, Jawa Timur. Bergabung di beberapa komunitas literasi. Berada di komunitas puisi: Asqa Imagination School (AIS) dan Community Pena Terbang (COMPETER). FB: Dian Riasari, IG: dian_de_lala.
1 Komentar