CERPEN-PASTOR BOLLEN

 

Gambar pixabay.com


Pastor Bollen

Seekor anjing tewas mendadak di jalan. Bulunya  putih mengkilat seperti Usi Ose punya rambut yang sudah uban.  Waktu itu tepat jam dua belas siang, bunyi lonceng gereja bikin bulu badan merinding, seorang Pastor Belanda berjenggot lebat menghampiri anjing malang itu. Usi Ose sudah lari menghilang entah ke mana. Ia lari  bukan karena anjing itu, bukan pula karena Pastor Bollen, seorang Pastor asal Belanda. Ia menghilang juga bukan karena bunyi lonceng yang selalu  bikin tanda ada kematian. Karena akhir-akhir ini setelah covid-19 melanda Indonesia, orang-orang di kampung sini banyak yang sudah meninggal karena diduga mendapat serangan maut dari virus corona. Beras untuk makan pun tidak ada, mata air untuk timbah air juga kering. Satu-satunya harapan hanya pemerintah. Tapi di hadapan pemerintah, masyarakat tidak mempunyai sertifikat vaksin tidak bisa ambil bantuan sosial. Lalu masyarakat di desa sini bingung akan makanan yang mereka inginkan atau butuhkan. Masyarakat ingin urus surat vaksin tapi yang terjadi malah minta Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Tante Belandina, Oma Sako, Ain Manu, Unu Sipri dan beberapa orang lainnya marah besar. Tetapi mereka tidak punya ide untuk memberontak terhadap pemerintah. Ingin ke kantor pencatatan Sipil tetapi bagaimana kalau sampai  di sana mereka disuruh menunjukkan sertifikat vaksin dan uang ongkos pembuatan KTP. Terpaksa mereka mengurung niat untuk berurusan dengan pemerintah. Mereka memutuskan untuk pergi menjauh dari perkampungan dan menetap di sebuah pondok kecil. Di sana mereka memelihara pohon pisang, ubi kayu dan beberapa pohon-pohon lainnya yang bisa menjamin nasib termasuk memelihara roh-roh halus.

Anjing itu unik. Dia tewas dalam keadaan tersenyum di bawah pohon mahoni. Burung-burung gereja melingkari tubuhnya. Sementara itu daun mahoni gugur satu persatu, massa pun berdatanganan melawat Pastor Bollen dan anjing itu. Ada yang mengira Pastor Bollen-lah yang meracuni anjing itu. Seorang ibu berkacamata dan memakai masker putih menggeleng-gelengkan kepala. Mereka tidak bisa mendekati anjing itu selain Pastor Bollen. Mereka takut kalau tiba-tiba saja polisi melihat adanya kerumunan massa di sini, bisa jadi para polisi akan memberi sanksi Push up atau denda sejumlah uang akibat ketidaktaatan massa dalam menjalani PPKM level-4. Ada pula yang berpikir, seandainya petugas kesehatan datang dan merapit tes antigen anjing putih itu, lalu mengabarkan kalau anjing itu meninggal akibat serangan covid-19 jenis Delta.

Seketika itu juga mereka lari. Mereka tidak mau dianggap sebagai tuan covid, nyonya covid atau usi covid. Mereka juga tidak mau berurusan dengan pihak kepolisian. Tetapi Pastor Bollen tetap diam di tempat. Ia membiarkan burung-burung gereja menemani si anjing itu lelap. Sementara sunyi mencekik batang hari dan rasa lapar si Pastor. Seorang pak guru yang melintasi jalan itu melihat pastor Bollen sedang menatap nasib anjing itu, dia berkata kepada teman kerjanya yang ia bonceng itu katanya

“Pastor itu penyanyang binatang. Selama masa pandemi ini ia suka berjalan-jalan dan tidak pernah takut terhadap virus corona. Menurut beliau virus corona itu iblis harus dilawan dengan iman”.

Mereka berdua menggeleng-gelengkan kepala kemudian berlalu dari hadapan Pastor Bollen sementara karung goni sendiri masih tak terisi apa-apa. Selain kesedihan dan rahasia keiklasan dibahasakan  melalui burung-burung dan kekosongan Pastor Bollen.

 

Sunyi sekali. Kira-kira hampir jam tiga sore. Seorang perempuan memegang empat jerigen  melintasi jalan di mana tempat anjing itu mati. Rambutnya panjang dibiarkan terurai sampai ke tanah. Pada waktu itu Pastor Bollen kehausan air. Dilihatnya wanita itu menimbah air di sumur tua. Wanita itu cantik dan menawan hati. Serasa seperti bertemu artis-artis Indonesia zaman sekarang. Di sumur itu tak ada alat timbah air, kecuali wanita aduhai itu yang bisa mengadakannya. Sumurnya sangat dalam dan tak pernah ada yang berani untuk menimbah air di sana.

Konon. Sumur itu dikatakan keramat. Tak ada yang berani berkunjung di tempat ini,  karena menurut cerita orang-orang di sekitar kampung, ketika melintasi wilayah dekat sumur itu pasti akan ada semacam gangguan berupa bunyi-bunyian. Ada juga yang  memberi kesaksian kalau di sumur itu dipenuhi oleh tuyul-tuyul, yang biasanya bermain-main lalu meloncat ke dalam sumur bila melihat ada orang yang datang ke sini.

 Pandangan pertama pun terjadi antara Pastor Bollen dan perempuan berambut panjang itu. Perempuan itu ternyata bisu. Ia nampak tersipu-sipu malu menatap si Pastor.

“in nomine Patris et fiilii, et spiritus sante, amen”

Pastor Bollen menandai salib pada dirinya sembari mengeluarkan air suci dan minyak suci di dalam saku celananya. Wanita ini tersenyum sambil meliuk-liuk badannya. Perlahan-lahan ia menari-nari di sumur itu seakan mengoda sang Pastor. Pastor Bollen memercik air pada tubuhnya. Buah dadanya yang montok kelihatan sangat jelas menggiurkan. Kali ini ia cukup terlihat sebagai pedangdut oplosan. Beberapa saat kemudian sorot matanya berubah tajam, bola matanya memerah, raut wajahnya nampak seperti seorang lelaki yang sedang marah.

Awan gelap menutupi langit, suara gemuruh angin membuat situasi menakutkan. Pastor Bollen mengusap minyak Narwastu pada dahi si wanita itu. Diyakini bahwa minyak ini mampu mengusir roh-roh halus yang ada dalam diri orang-orang yang sedang kerasukan. Perempuan itu berteriak kesakitan. Suaranya perlahan-lahan melengking sampai ke belahan desa. Mula-mula kepala desa dan aparat desa yang sedang berdiskusi di kantor merekalah yang mendengar tetapi mereka tak menghiraukan jeritan orang-orang miskin, orang-orang kampung yang kurang berpendidikan. Karena itu mereka tetap berada dalam kantor dan mengurus uang negara. Kemudian om Simon juga mendengar jeritan seorang perempuan, tetapi ia ketakutan dan mengurung diri di dalam kamar, karena ia berpikir itu hantu virus korona. Begitu juga dengan masyarakat lainnya mereka takut mencari sumber suara itu.

“In nomine patris et filii et spiritus sante,amen.”  Pastor Bollen terus merapalkan kalimat ini, sembari mengarahkan sebuah salib ke arah perempuan itu. Alangkah terkecutnya kaki wanita itu terangkat satu meter di atas tanah. Seketika itu juga air meluap dari dalam sumur sampai ke permukaan tanah. Airnya kotor dan berbau busuk. Pastor Bollen terus menatap perempuan itu. beberapa saat kemudian Pastor Bollen mengayunkan salib itu ke arah anjing putih yang sedang ditemani karung koni berwarna putih. Wanita itu pun terkapar di tanah, kepalanya membentur bibir sumur, darah segar keluar dari kepalanya. Pastor Bollen kemudian memerciki air berkat kepada perempuan itu dan syukur perempuan itu sadar tetapi ia seperti kebingungan, dalam hatinya ia bertanya mengapa aku bisa sampai di sini. Belum sempat wanita itu bertanya kepada pater Bollen terlihat di bawah pohon asam, anjing putih itu tak ada bersama karung koni. Namun di atas pohon asam, seseorang sedang dibungkus dalam karung koni, seseorang berteriak, “ampunilah saya tuan Pastor. Saya tidak akan merasukinya lagi”

Siapakah orang itu?

2022

Posting Komentar

0 Komentar