Gambar: Pixabay.com |
MENGENANG IBU
Adalah indah jika momen lebaran dirayakan bersama
orangtua dan sanak saudara di rumah. Merayakan lebaran tak hanya berdoa
bersama, tetapi lebih dalam ialah ketika masing-masing diri berjalan menyusuri dirinya
dan menemukan makna dibalik lebaran itu. Adalah dua hal penting pula di momen
ini pertama mengingat kenangan dan yang kedua merayakan kebersamaan. Mengingat
kenangan masa kecil ketika ibu memasak makanan enak dan anak-anak berburu
makanan ketika buka puasa dan sahur. Selain mengingat kenangan kita pula merayakan
kebersamaan, berdoa bersama dan makan bersama.
Sambil menikmati liburan lebaran di bulan mei ini,
saya mencoba melahap salah satu buku puisi yang berhasil membawa saya duduk dipangkuan
ibu. Joko Pinurbo (Jokpin) menulis “Ibu adalah Puisi.” Ia
menemukan sejumlah sajak dalam buku “Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami”
sebagai devosi terhadap sosok seorang ibu. Tentu ulasan pak Jokpin (sapaanya) ini
mengundang gairah saya untuk secepatnya membaca buku terbaru karya Emi Suy. Membaca
ulasan Pak Jokpin saya teringat akan bait akhir puisi “Ibu” karya Chairl Anwar yang memuat
sebait doa agar Tuhan memberikan kesejahteraan kepada ibunya. Tidak hanya doa tetapi
juga cinta yang paling tulus diwujudkan Chairl pada ibunya. Ibu….Aku
sayang padamu/Tuhanku…/Aku bermohon padaMu/Sejahterakanlah dia/Selamanya.
KH Mustofa Bisri juga pernah menulis puisi berjudul “Ibu”. Kaulah ibu, mentari dan rembulan/yang mengawal perjalananku/mencari jejak sorga/ditelapak kakimu. Orang bilang surga ada ditelapak kaki ibu. Mengapa harus di kaki Ibu? Mengapa tidak dijantung ibu atau di dalam diri ibu? Ibu sebagai pribadi yang mengandung dan melahirkan anak. Tapi mengapa dikatakan surga ada di telapak kaki ibu? KH Mustofa mengungkapkan bahwa ibunya adalah Mentari yang menyinari seluruh jalan hidupnya. Tanpa ibu ia mungkin tidak bisa melihat dunia ini dan ibu seperti rembulan yang selalu memberi terang ketika anaknya mengalami kegelapan atau ketika kegagalan, kesulitan, kesedihan menghampiri, ibu justru hadir sebagai rembulan yang memberikan cahaya kebenaran, cahaya penghiburan, cahaya semangat baru dan lain sebagainya.
Salah satu puisi Emi Suy berjudul “Ibu Rela” menjadi suatu devosi_ungkapan kasih seorang ibu terhadap anaknya. Sekaligus mengambarkan bagaimana surga itu tercipta dari dalam diri seorang ibu.
Ibu Rela
Setiap malam,
aku tarik selimut usang dari
masa lalu
Hadiah ibu
Di ulang tahun ketujuh
Dan masih gema bisiknya
sebelum aku lelap:
“tidurlah, nak
Ibu rela jadi bulan
yang dihadiahkan malam
untuk kelam”
2021
Tidurlah, nak/ Ibu rela jadi
bulan/ yang dihadiahkan malam/untuk kelam. Emi seakan menulis kenangan
tentang suatu ketulusan yang hadir dalam diri ibu. Ia rela menjadi bulan. Bulan
diidentik dengan cahaya yang menerangi kegelapan. Malam adalah gelap. Dalam
situasi gelap setitik bulan bisa menjadi penerang. Demikian seorang ibu, ia
rela menjadi cahaya yang menghantar
anaknya pada mimpi, termasuk impian-
masa depan anaknya.
Sementara itu apakah ada
yang menyadari tentang perjuangan seorang ibu? Joko Pinurbo dalam puisinya “Mata
Ibu” seperti sebuah ungkapan yang
mengundang haru sekaligus pendalaman devosi terhadap ibu. Matamu adalah
mataku/Matamu.
Joko Pinurbo
mengaitkan perjuangan anak itu seperti ibunya yang menimbulkan daya reflektif, bahwa
setiap hal yang mengeluarkan air mata itu adalah perjuangan dan kehidupan seorang ibu pula.
Dalam sajak tentang Ibu. Saya menemukan dua hal menarik
yakni mengingat kenangan dan doa. Dalam Buku Ibu Menanak Nasi Hingga Matang
Usia Kami, Emi menulis demikian.
Rumah
Ibu
memasuki pekarangan rumahmu aku tertegun di halaman
melihat dan mendengar burung masa lalu
yang terus berkicau
lalu aku ingat
satu-satunya burung di rumah yang kurawat.
Yang dilihat dari ibunya adalah kenangan. Ketika
memasuki masa mudik, hal yang paling disukai adalah bertemu dengan keluarga.
Masakan ibu selalu menjadi sesuatu yang luar biasa. Kadang momen lebaran
menjadi ajang merasakan pula kenangan masa kanak-kanak di rumah orangtua,
seperti halaman rumah, peninggalan harta benda dan kisah-kisah dulu yang kini telah memoriam.
Dalam sejumlah puisi tentang ibu. Mulai dari Chairl
Anwar sampai Emi Suy. Kenangan dan doa paling mengental dalam diksi mereka.
Sebuah pertanyaan muncul, mengapa menulis tentang ibu? Jika pertanyaan seperti,
ini saya akan lebih suka menyanyikan lagu “Kasih Ibu” Karya SM Mochtar seorang
komponis Indonesia yang berasal dari Makasar. Kasih ibu, kepada
beta tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang
surya menyinari dunia.
Menulis kenangan dan doa tentang ibu adalah bentuk cinta paling tulus bagi seorang penyair terhadap hidupnya. Saya amat yakin penyair yang menulis tentang ibu adalah suatu tindakan di mana ia ingin menemukan surga yang ada ditelapak kaki itu. Surga yang dimaksud adalah kedamaian.
Ibu adalah puisi. Dalam puisi ada kenangan hidup dan doa yang selalu menjadi bagian terindah. Mengutip kata Emi Setidaknya sejarah dan waktulah yang akan mencatatnya. Sebab setelah kasih putih diluncurkan dari papan kayu yang diikat dengan tali janji, kau mengembara dan perjalanan yang paling membara adalah perjalanmu ke dalam air mata ibu. Bagi yang masih merayakan Idul Fitri bersama ibu, bersyukurlah bahwa kalian masih bisa merasakan masakan terbaik seorang ibu dan berdamailah kalian yang meski lebaran tanpa ibu tetapi kenangan dan doa terus menggema di rumah masing-masing.
Lebaran, 2022.
Tentang Penulis
Yohan Mataubana. Menulis buku "Berakhir Pekan Di Matamu" (2021).
0 Komentar