Perempuan Dalam Pelukan Fikas
Gambar dari pixabay.com |
Kau mendekat demi melihat wajah perempuan
dalam pelukan Fikas itu dan mengenalinya sebagai dirimu sendiri.
Seperti anjuran kepala desa, kau dan
beberapa tetanggamu musti pindah dari rumah saat ini karena daerah sekitar
rumahmu yang berdekatan dengan perbukitan terancam akan tertimbun longsor jika
musim hujan tiba nanti. Kau sempat menilik rumah barumu yang dibangun secara
sukarela oleh para warga. Memang hanya rumah bambu yang sederhana, namun cukup
nyaman dan siap menangkal terik mentari juga lebat hujan. Terlebih-lebih
terhindar dari ancaman longsor karena terletak di tanah lapang di pinggiran
desa.
Kau sempat menuruti anjuran itu dan akhirnya
beberapa minggu lamanya menetap di rumah baru. Tetapi kemudian kau kembali lagi
setelah Fikas, anak semata wayangnmu yang bertugas di kota nun jauh mengabarimu
tentang kepulangannya beberapa hari yang akan datang. Sampai kini kau masih tak
menyangka bahwa Fikas bisa menjadi seorang perwira. Dia memang hanya seorang
anak petani, rakyat jelata, namun ambisinya yang besar membawanya kepada
realita di atas tapak mimpinya. Suamimu yang telah meninggal sejak Fikas masih sangat
belia menambah riwayat ketidakmungkinan perihal mimpi Fikas. Untuk
menyekolahkannya saja kau mengandalkan bantuan dari pemerintah.
Hari-hari yang kau lalui begitu berat sejak
Fikas meninggalkan rumah untuk pendidikan militernya. Kau sempat dibawa olehnya
ke kota saat hari kelulusannya tiba. Fikas kemudian mendapat pangkat,
ditugaskan dan perpisahan kembali terjadi. Meski kau amat kesepian karenanya,
karena kemudian Fikas bak hilang ditelan detak waktu dan tak pernah berkabar,
tetapi kau jugalah yang paling bahagia di antara siapapun bahkan Fikas yang
menjalaninya sekalipun.
"Sepertinya malam ini akan hujan.
Lihatlah, langit mendung. Sebaiknya kau tidak usah pulang sore ini. Lagipula,
kan, Fikas juga tidak memberitahumu kapan persisnya ia akan pulang ke
rumah." saran salah seorang tetanggamu.
"Mendung tidak berarti hujan."
katamu.
Kata-kata dari bibirmu sepertinya tak
membuat ombak buas di hati tetanggamu menjadi tenang. Kau begitu paham bahasa
tetangga yang mencemaskanmu itu, kau menepuk pundaknya dan berjalan
melewatinya. Kau tak mengucapkan sepatah kata pun lagi, hanya sesungging senyum
terlukis di wajah sebagai isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Pukul sembilan malam. Kau yang tak dapat
tidur memutuskan untuk berjalan ke dapur—membuat minuman hangat. Apakah dia
akan pulang malam ini? Apakah besok pagi? Atau apakah dia bahkan sudah memasuki
gerbang desa? Apa yang sebaiknya aku persiapkan? Pertanyaan-pertanyaan itu
terus terlagukan di kepalamu. Dan melihat rumah yang kotor karena ditinggalkan
lama, kau pun memulai dengan membersikannya. Kau tentu tak mau jika nantinya
Fikas merasa tak nyaman berada di rumah itu.
Pukul sepuluh malam, rumah telah bersih. Tubuhmu yang berselimut peluh itu tergolek di ranjang usang dan berangsur menjelangi mimpi. Saking lelapnya kau bahkan tak tahu jika malam itu hujan mengamuk di luar rumah. Terpasung mimpi.
***
Tangan yang hangat itu menggenggam lembut
tanganmu. Kau terbangun dan segera tersenyum melihat seseorang di samping
ranjangmu, tetapi air mata juga melinang dengan derasnya. Kau bangun, lelaki
berseragam itu mendekap erat tubuhmu dan punggungmu mulai basah sejak ia mulai
terisak. Fikas akhirnya pulang, dan kau tak dapat menyembunyikan kebahagiaan
hatimu.
"Ibu," panggilnya.
Ada banyak kata sejak Fikas memanggilmu.
Namun, entah mengapa bibirmu membisu di ketika itu. Kau pun hanya dapat
menatapnya dalam keheranan.
Apa
yang terjadi? Batinmu.
"Ibu!" Fikas tetiba berteriak.
Kau tersentak dan mendapati dirimu berpakaian
serba putih, sedang kau yakin betul terakhir kali kau memakai lurik. Kau
berdiri di dekat rumahmu yang telah ambruk ditelan longsoran, berdiri di antara
kerumunan. Fikas dan jasad yang penuh lumpur yang terus dipeluk dan
ditangisinya adalah pemeran utamanya. Siapa perempuan itu? Batinmu lagi.
Tetanggamu yang sempat memperingatkanmu tentang hari terjadinya hujan kemarin
juga ada di sana. Ia ada di dekat Fikas dan sesekali mengusap-usap punggung
Fikas, air matanya juga tak ingin kalah—mengalir begitu deras.
Kau mendekat demi melihat wajah perempuan dalam pelukan Fikas itu dan mengenalinya sebagai dirimu sendiri.
_______________________________________________________________________
Biodata : Aris Setiyanto lahir 12 Juni 1996. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah. Karyanya termuat di; Majalah Kuntum, Koran Purworejo, Koran BMR FOX, Majalah Raden Intan News, Harian Sinar Indonesia Baru, Radar Pekalongan, Majalah Elipsis, Majalah Apajake dll.
0 Komentar