PASAR MALAM DAN SEISINYA || UNIQIA SOLU

 Pasar Malam dan Seisinya

Gambar: Pixabay.com

Ini pasar malam langka pertama yang terkunjungi sepanjang sembilan belas tahun usia saya. Awalnya saya tidak percaya, kata teman-teman saya mereka tidak hanya menemukan kembang gula atau kue putu di sini, melainkan menemukan sepotong hati atau bahkan patahan tulang rusuk. Saya pikir ini mengerikan, tetapi teman-teman saya menolak opini itu. Hingga saya sendiri penasaran dengan isi pasar malam ini.

Ada banyak lapak di sini, masing-masing menyajikan hidangan yang jarang kutemui. Tentunya bukan kue molen atau kacang rebus. Aroma asapnya sama sekali asing dihirup. Saya pun masih tidak mengerti dengan apa yang mereka jual. Di mana penjual hati? Di mana penjual tulang rusuk? Saya terus celingukan mencari di mana letak kedai penjualnya, kata teman sih letaknya tidak terlalu terpencil dari penjual lainnya.

Nyaring suara-suara penjual menjajakan dagangan nyaris terdengar dari seluruh lapak.  Namun yang paling nyaring di sebelah barat saya berdiri. Letaknya, di dekat lapak yang sedang tutup. “Dipilih-dipilih cermin seratus ribu saja, bisa melihat seperti apa diri anda. Dipilih-dipilih.” Lapak itu dipadati muda dan mudi, saya melihat perempuan rambut pirang dengan kalung salip di leher putih jenjangnya, saya juga melihat perempuan berkerudung panjang sepinggang dengan tasbih yang diputarnya pelan, saya melihat pula lelaki bertindik dengan jaket Levis kumal sekaligus celana berlubang, dan saya melihat lagi lelaki bersarung, berjaket hitam sedang menyilangkan lengan. Saya tidak mengerti, bisa-bisanya mereka antusias sekali hanya untuk membeli sebuah cermin. Apa cermin-cermin di rumah mereka sudah buram, atau mungkin pecah? Apa istimewa cermin di kedai itu sehingga mereka tidak memilih membeli cermin di toko lain saja. Sampai berdesakan seperti itu pula. Saya berniat ikut gabung dengan mereka, tetapi karena antrean terlalu padat saya berubah pikiran.

Setelah meninggalkan lapak itu, tak sengaja saya bertemu kawan lama. Dia banyak melambungkan obrolan sampai-sampai jatuh juga pertanyaan buat apa saya berkunjung di pasar malam ini, sedangkan saya menjawab dengan sebenar-benarnya bahwa saya hanya penasaran akibat dijejali rumor oleh teman-teman bahwa ini bukan sembarang pasar malam.

"Pasti kau sedang mencari sesuatu untuk perasaanmu,'kan? Mungkin itu alasan mengapa temanmu menjejali rumor itu agar kau penasaran dan ke mari. Oh iya, kenapa tidak ikut memburu cermin di lapak itu? Cerminnya bagus loh. Menurutku cermin itu cermin yang jujur. Di sana kau bisa melihat dirimu tanpa memedulikan sisi cantik saat kau bercermin. Justru kau akan nyaman saat menangis di depannya," ucapnya panjang lebar. Sedang saya membatin, pantas saja antre ternyata cermin itu juga memiliki sisi istimewa bagi orang-orang di sini.

"Oh iya, omong-omong aku juga punya kedai untuk kauceritakan kembali pada temanmu itu. Menu di kedaiku sangat berbeda dan tidak dibayar dengan uang. Khusus kau, khusus orang-orang yang kusukai," imbuhnya lagi.

Lalu tanpa perizinan langsung dari saya, dia membawa saya ke kedainya dan saya menurut. Itu yang membuatnya yakin bahwa saya menyetujui. Sebab tidak ada sama sekali penolakan dari saya. Kedainya tidak jauh berbeda dari seluruh kedai di pasar malam ini, akan tetapi tidak ada daftar menu di kedai miliknya. Saya hanya duduk dan kawan lama saya itu tidak lama membawakan cemilan.

"Saya rasa ini bukan kedai, ini seperti gazebo yang sengaja kaudirikan di pasar malam ini. Saya tidak melihat daftar menunya, padahal saya kepingin sekali mencicipi menu yang kauolah. Dulu kau jurusan boga saat di sekolah kejuruan,'kan?"

"Tidak begitu Akasia. Cobalah kautenang di kedai ini. Sebab daftar menu itu akan muncul dengan sendirinya dari otakmu jika kautenang."

Dahi siapa yang tidak berkerut dengan pernyataannya, apa ini kedai paling mutakhir di penutupan akhir tahun dua ribu dua puluh satu? Apa sekarang daftar menu tidak dijadikan banner dan langsung diinstal ke otak para pengunjung? Sejauh ini saya rasa pasar malam ini memang aneh, termasuk kawan lama saya ini pula.

"Sudah berapa lama kaubuka kedai ini? Kenapa tidak mengundang saya sewaktu peresmian? Kau melupakan saya?" canda saya sebab tidak tahu lagi ingin melontarkan basa-basi apa.

"Baru saja. Semenjak aku putus. Tentu aku tidak mengundangmu, peresmiannya sangat penuh kesedihan. Aku takut kau tak senang."

Bagaimana mungkin saya terlihat sebagai orang paling normal di sini, ketika kawan lama saya sendiri berbicara melantur. Tempat macam apa sebenarnya ini? Mata saya berkeliling ke berbagai penjuru, melihat orang-orang itu berebut air di toples bertuliskan "Air Mata" selayak berebut gelato paling murah. Kasak-kusuk yang tertangkap di telinga saya, mereka telah kehabisan air mata ataupun ada juga yang air matanya telah kering akibat rindu yang menyiksa. Ada juga yang memborong rembulan. Saya tidak yakin itu rembulan sungguhan, pasti itu tiruan. Mereka bersorak dengan membawa rembulan itu; malam tidak akan pergi dan akan semakin panjang dengan rembulan yang kita bawa ini. Ada juga yang rela membayar mahal untuk sebuah janji. Saya pun tidak percaya malam ini melihat wujud janji, sayangnya janji itu telah dikemas. Saya hanya tahu bahwa lelaki itu bilang bahwa dia rela membeli janji dengan harga paling tinggi sebab pacarnya tidak tertarik dengan janjinya yang sudah rusak. Sekali lagi saya menelan ludah dari semua keanehan di pasar malam ini. Pasar malam yang dipamerkan di papan iklan dengan embel-embel kata istimewa itu menurut saya memang bukan pasar malam biasa.

"Akasia kausudah menemukan menu di kepalamu? Kausedang memilihnya,'kan?"

"Tidak Rosse, saya hanya mengamati mereka yang berebut air mata, membeli janji, membawa rembulan. Apakah ....."

"Bukannya kau ke mari juga untuk mencari seperti apa yang mereka cari?"

"Tentu tidak. Saya hanya penasaran, kalaupun saya ingin mencari, saya hanya akan mencari mendoan dan onde-onde hangat di sini.  Bukan apa yang mereka beli."

Kawan lama saya, Rosse, tersenyum simpul.

"Jujurlah, bukankah onde-onde dan mendoan itu kenanganmu bersama Roland saat berkencan?"

Sial. Bagaimana Rosse tahu. Apa di sini juga ada cctv kepala? Mati-matian saya menghindari nama itu, tetapi detik ini Rosse menunjukkannya pada saya lagi. Sial, betul-betul sial. Lama saya dan Rosse saling diam. Saya masih enggan melanjutkan percakapan yang berisi nama itu. Saya tidak siap untuk benci dari peranakan rindu padanya.

"Kau tidak harus membeli mendoan dan onde-onde sebagai kiasan kenangan. Cobalah mencari sepotong hati yang baru dimasak. Setidaknya itu kautemukan untuk dirimu. Bukan Roland juga."

"Kau tahu, kau sudah memilih menu yang tepat di kedai milikku ini, sebentar ya, aku akan ambilkan sepotong hati bumbu spesial untukmu. Kautinggal menaburkan garam bila rasanya terlalu hambar atau sedikit gula saat rasanya tawar."

"Sesungguhnya hati lebih layak dikonsumsi oleh orang dewasa, ketika kebanyakan dari mereka sudah biasa menelan yang pahit-pahit dan terbiasa memelihara rasa sakit. Namun kalau kau mencobanya sedikit saja kurasa tak masalah," ucap Rosse saat menyuguhi saya nampan yang katanya berisi hati yang baru matang.

"Kau tidak bertanya bagaimana cara menikmatinya? Harus kukatakan bahwa caranya sedikit berbeda dari menikmati bolu hangat dari mesin pemanggang. Namun tidak serumit menikmati kepiting dan kerang di resto terkenal, kok!"

Saya banyak diam dengan obrolan ini. Pasalnya saya baru kali ini akan mencicipi hati yang dihidangkan, saya tidak tahu apakah saya alergi atau tidak. Saya takut kalau rasanya getir di lidah, jujur saya belum pernah disuguhi hati senampan.

"Permisi, apa saya masih bisa pesan cinta?" tanya seorang pelanggan yang katanya ingin mencicipi cinta. Aku juga baru tahu kalau Rosse ternyata menjual menu-menu aneh.

"Tentu saja masih. Apa kau juga akan membeli potongan hati?" jawab Rosse sambil berjalan ke dapur, menyiapkan pesanan.

"Tentu saja. Jangan lupa selipkan tisu untuk air mataku yang sewaktu-waktu tumpah karena dua barang itu," balas pelanggan itu lagi.

"Baik. Jangan lupa ke mari lagi bila kau ketagihan, ya. Hanya di sini lapak yang menjual cinta dan hati paling enak."

Saya menyimak obrolan Rosse dan pelanggannya. Malam semakin larut, pasar malam semakin ramai dan kedai milik Rosse mulai banyak pembeli. Mereka membeli hati, cinta dan ada juga yang tidak memesan apa-apa. Ketika Rosse bertanya akan memesan menu apa, lelaki itu menjawab hanya ingin menikmati malam dan melerai keributan-keributan di pikirannya sejak tadi siang (*)

______________________________________________

BIODATA

Foto Penulis








Gadis dengan nama pena Uniqia Solu, gadis asal Madiun yang baru saja merenangi dunia literasi sejak tahun 2019 lalu. Statusnya kini sebagai mahasiswa di sebuah kampus literasi STKIP PGRI Ponorogo. Program studi yang diambilnya sangat mendukung sekali hobi menulisnya. Beberapa kali memenangkan lomba menulis cerpen dan puisi, tergabung dalam Competer Indonesia dan Kepul. Selain itu dia merupakan admin dari komunitas kepenulisan yakni Sarasayu Books Community dan Jamedia Publisher lini dari Elsage Publisher. Dia punya Mading kesayangan di kamar yang berisi harapan dan tulisan-tulisan lainnya. Sapa dia di Ig: Solu.ryka26 FB: Solu Rika Twitter: UniqiaS dan jangan lupa follow Ig keduanya yang memposting quotes-quotes, ya! @_aksara.uniq.

 

Posting Komentar

0 Komentar