SAJAK MAWAR RUKAYA

Puisi||John Tanouf

SAJAK MAWAR RUKAYA

Gadis belia nan ayu datang merayu subuh. Menenteng sajak-sajak  galau. Aku terhanyut pada untaian sendu yang terurai mengalir dalam sungai Talau.

Kubingkiskan kata-kata ini, sekedar menyapa mawar yang tersenyum kusam mendorong pucuk fajar. Dapatkah kau membentangnya pada jagat? Aku benci pada fajar yang suka menghadiahkan kabut pekat. Aku cemburu pada mawar yang gemar menawarkan duri. Jika fajar dan mawar tak menyukai puisi jelatah, lantas asa yang bergelora tak akan pernah menggapai samudera.

 

Aku terdesak tepekur menatap kebisuan pesona fajar di ufuk Timur. Sembari mengulas larik-larik rindu yang terpajang miris.  

“Mawar duri yang kau berikan

Kini membuatku berdarah

Dan darah itu tidak bisa kubalut dengan kain.

Kuminta lepaskah hatiku yang kau lukai

Biarlah kupergi dengan darah

Yang terus mengalir di perjalanan pulang.”

 

Nama penyair subuh itu Rukaya. Aku jatuh cinta pada kata yang tergores pada mawar.  Lantas mengajakku menjumpai mawar yang bersolek kemilau di taman kehidupan.  Tirai kasih senantiasa terpancar pada kelopak mawar yang membuka diri menyongsong mentari pagi. Setangkai mawar tersingkap paras dalam bunga menawan sukma. Penopangnya adalah semerbak aroma yang dapat memantik kalbu.

 

Aku mengurai lagi sajak Rukaya yang membenci mawar. Katanya, mawar selalu menawarkan onak duri. Barangkali gadis jelita Rukaya tersandera gegabah. Padahal duri adalah setitik embun yang menyegarkan tapak-tapak lusuh. Duri hanyalah batu loncatan untuk membaca mentari pada hari esok. Ya. Seperti setangkai mawar yang dipotong dan dibenamkan lagi ke dalam lahan gembur tanpa curiga. Bukankah ia akan melahirkan tunas baru?   Ah, Rukaya. Terlampau pagi kau menolak mawar, apalagi fajar. Mungkin juga seribu satu peniru terkulai pada batu yang sama.  

 

Aku mematahkan setangkai mawar kesayangan yang senantiasa tertindih embun dan menjawabi dahaga makluk-makluk asing. Lalu pergi menjumpai penyair Rukaya di batas kota.

“Terimalah setangkai mawar ini. Lupakanlah duri yang pernah menikam sukma ataupun membuat sajak-sajakmu patah. Mawar ini sebagai penghormatan kepada sajak-sajakmu yang tergores di saat subuh. Aku bangga padamu, yang mulai menyukai kata. Tanpa kata, dunia ini hanyalah makluk bisu yang suka mengangguk kepala, membaca penindasan sebagai takdir. Bungkam adalah harta warisan kebanggaan tunggal.”

 

Aku menatap wajah Rukaya yang membelai mawar itu dengan manja. Butiran air matanya jatuh mengairi pijakan, menyirami kegersangan lubuk. Aku pun pamit dalam senandung gerah. Membiarkan Rukaya sendirian menyepi, mengurai kembali kata-kata penghormatan yang kubacakan. Berharap Rukaya mampu menyingkapnya. Bahwa mawar dan fajar adalah sajak-sajak bernafas. Keduanya adalah makluk semesta yang tak pernah menodai bumi, apalagi bersekongkol dengan makluk laknat. Sajak mawar rukaya adalah peretas jalan menuju keabadian.

Batas Kota Atambua, 27 Agustus 2021    

Baca juga: Mimpi-mimpi mama...

 

TATAPAN BOLONG

 

Kutatap langit-langit kenisah

Satu tanya melambung jauh

Mengenang  noktah hitam melintas luluh

Selepas membaca jasad kekasih merentang lusuh

Mengapa hidup hanyalah sepotong kasut

Lantas mematahkan keceriaan percakapan kalbu.

 

Sepenggal tatapan bolong menjenguk

Waktu terhempas tanpa jejak

Sesal membujur lamban merunduk

Memenggal asa hingga membusuk

Kata-kata terangkai bertikam mengembik

Meratapi hidup berselimutkan mimpi buruk.

 

Saat tatapan bolong melambai kenisah

Seutas doa melambung mengap-ngap

Mengejar malaikat di tepian jurang terjal

Lantaran bibir terusik melatah

Bisikan lirih terganjal gelisah

Melarang angin bergairah.

 

Sepenggal tatapan bolong menjenguk

Seribu hari terkapar pada kubangan becek

Satu tanya membahana pilu setitik

Mengapa teka-teki ini membungkus  dekil tengik

Barangkali tapak-tapak tertoreh tanpa pijak

Lantaran menggerutu tiada mata membidik.

 

Tatapan bersenandung bisu membolong

Nyanyian sukma terpenggal sepotong

Bersembunyi di balik untaian syair kosong

Seakan perjumpaan ini tak pernah bertolong

Menghapus daki usil bergelontong

Membenamkan wajah kusam dalam tong.

 

Batas Kota Atambua, 27 Agustus 2021


TERANTUK ELEGI PAGI

 

Sekian lama kita menapaki jalanan ini

Terlena dengan kisah manis perjumpaan kemarin

Membelenggu kalbu ini hingga tak bernyali

Terbungkus kedipan manismu merayu sepi

Aku tak berdaya di setiap tangan kanan mengembik.

 

Entahlah...

Fajar pagi jatuhkan pilu

Angan merajuk merunduk perlahan kabur

Menoleh sejenak pada lembaran berharga terulur

Ada tanya lirih memecah kesunyian pinus

Mengapa kau membungkus segudang rindu selepas mengurai langit biru?

 

Ah!

Terantuk elegi pagi membusung lusuh

Terbersit kabar pada alunan  singa merumput:

“Kita boleh berbagi senyuman.Tapi bukan berarti aku wajib mencium telapak kakimu.”

Nenuk, 24 Agustus 2021

 

SAMPAH KUSAM

 

Kau dan aku....

Semestinya mengulas teka teki ini

Membuang kotoran kotoran tengik

Bersama kata kata kusam insani

Menggotongnya ke mana pun pergi

Demi kebeningan jagat yang kian tercemari.

 

Kau dan aku....

Hanyalah sebuah sampah kusam

Yang kecanduan usil tanpa menatap cermin retak

Bersandiwara dibalik wajah malaikat kalam

Seolah terlahir dari mulut nirwana.

 

Ah, kawan....

Kita ini binatang-binatang puntung rokok

Yang menggantung nasib pada asap cerobong

Tertindis berkeping di dalam onggokan kotor.

 

Batas Kota Atambua, 30 Juli 2020

 

PAGI INI KAU BERTERIAK LANTANG

 

Pagi ini kau berteriak lantang

Membahana jagat, merobek cakrawala

Adakah secercah gelisah menerpa nian?

Ataukah hanyalah kuda tunggangan

Yang berpacu di atas kanvas maya?

 

Pagi ini kau berteriak lantang

Melintasi hunian jelatah

Membusung dada menjulang angkasa

Menyeret mangsa dekil bergentayangan

Lantas bersembunyi di balik wajah pahlawan.

 

Pagi ini kau berteriak lantang

Membahana jagat, merobek cakrawala

Membusung dada menjulang angkasa

Berdandan merah putih tak bercela

Mengukir patung elok tanpa nafas.

 

Pagi ini kau berteriak lantang

Adakah secercah gelisah menerpa nian?

Pada sepenggal syair tersobek sumbang

Pada sepotong pidato bersangkut di semak belukar

Menggotong tumbal-tumbal jelatah tak berjedah.

 

Pagi ini kau berteriak lantang

Bersolek apik pada ketiak zaman

Gemar berhuru-hara sendirian

Berparade pongah di pinggiran kota

Membiarkan jalanan berkabung nestapa.


Batas Kota Atambua, 17 Agustus 2021.

 

 ---------------------------------------------------

Penulis

John Tanouf adalah penulis buku puisi Rindu Jejak (2020). Sejak Juli 2020 tinggal di Biara St. Yosef Nenuk, Atambua, Belu.




Posting Komentar

1 Komentar

Edu Tanouf mengatakan…
Mantapp